SOLOPOS.COM - Ketua BAN-S/M, Toni Toharudin, saat menyampaikan materi kepada peserta dan mentor FJP 2021 Batch 2 melalui aplikasi Zoom, Selasa (15/6/2021). (Istimewa/Dokumentasi Panitia FJP 2021 Batch 2)

Solopos.com, KARANGANYAR — Kebijakan pemerintah menerapkan sistem zonasi pada masa penerimaan peserta didik baru (PPDB) diharapkan bisa “memaksa” sekolah berupaya meningkatkan kualitas pendidikan dan mutu tenaga pendidikan.

Namun sebagai efek samping yang buruk, kebijakan zonasi bisa mengancam nasib lulusan pendidikan dasar yakni sekolah menengah pertama (SMP) dan sederajat.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Mereka terancam tidak bisa melanjutkan pendidikan ke jenjang menengah atas, yakni sekolah menengah atas (SMA), sekolah menengah kejuruan (SMK), maupun sederajat.

Baca juga: Sipp Pakde, Cara BKD Karanganyar Cegah Kebocoran Potensi Pajak Daerah

Salah satu penyebabnya belum tersedia fasilitas pendidikan dalam zonasi terdekat dengan rumah peserta wajib belajar. Sementara sekolah yang ada dalam jangkauan transportasi termudah berada dalam zonasi di luar wilayah administrasi pemerintahan tempat mereka tinggal. Efek samping negatif ini juga dituturkan oleh Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo.

Tujuan Baik Zonasi

Tujuan baik zonasi yang “memaksa” sekolah supaya berupaya meningkatkan kualitas pendidikan dan mutu tenaga pendidikan itu disampaikan oleh Ketua Badan Akreditasi Nasional-Sekolah/Madrasah (BAN-S/M) Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi (Kemendikbud Ristek), Toni Toharudin, dalam bincang-bincang tentang akreditasi sekolah di depan 15 peserta dan mentor Fellowship Gerakan Wartawan Peduli Pendidikan Jurnalisme (GWPP) Batch 2 secara virtual, Selasa (15/6/2021).

Ekspedisi Mudik 2024

Dalam bincang-bincang yang dipandu oleh Direktur Eksekutif GWPP Nurcholis M Basyari, Toni menyampaikan materi Pentingnya Penjaminan Mutu Pendidikan Guna Meningkatkan Daya Saing Global Menuju Sumber Daya Manusia Indonesia Emas 2045.
Toni membuka diskusi dengan memaparkan data dalam bentuk grafik statistik.

Salah satunya, Toni menyebut persentase sekolah akreditasi A dan B tingkat Sekolah Dasar (SD) hingga SMA/SMK untuk sekolah umum maupun madrasah meningkat pada periode tertentu, tahun 2015-2019.

“[Di sisi lain] grafik ujian nasional tahun 2015-2019 menurun. Setelah itu naik lagi karena diberlakukan ujian tulis berbasis komputer, tetapi secara general menurun. Capaian PISA [Programme for International Student Assesment] dari waktu ke waktu, 2003-2015, menurun. Grafik ini membuat BAN-S/M merefleksi terhadap data empirik,” tutur dia.

Baca juga: 10 SMK Negeri Terbaik Nasional, Soloraya Juga Masuk Daftar

Salah satu bentuk refleksi adalah BAN-S/M di bawah pimpinan Toni berkomitmen mereformasi sistem akreditasi. Dia melihat kualitas pendidikan agak lamban dalam kurun waktu 15 tahun terakhir.

“Reformasi sistem akreditasi terdahulu tidak menggunakan platform dashboard monitoring untuk mengontrol kualitas sekolah/madrasah dari waktu ke waktu. Reformasi lain tentang perubahan paradigma instrumen yang dulu berbasis complaint [aduan] sekarang performance [prestasi],” jelas dia.

BAN-S/M berkeyakinan penerapan sistem akreditasi menggunakan instrumen prestasi atau performance dapat memacu sekolah/madrasah meningkatkan mutu kualitas pendidikan.

Persoalan muncul saat pemerintah pusat menggunakan pendekatan zonasi untuk PPDB. Pada awal kemunculan, masyarakat menanggapi beragam kebijakan itu. Rata-rata menilai zonasi merugikan siswa dengan kemampuan di atas rata-rata dan sekolah berlabel favorit.

Siswa dan orangtua tidak bisa memilih sekolah dalam kategori favorit saat mendaftar melalui jalur zonasi. Sekolah pun tidak bisa mengharapkan siswa yang diterima akan memiliki kriteria nilai dan kemampuan tertentu.

Sekolah Meningkatkan Akreditasi

Di sini, Toni memiliki pandangan berbeda perihal kebijakan pemerintah menerapkan zonasi. Dia melihat dari kacamata akselerasi kualitas pendidikan.

“Kami, lembaga akreditasi gembira dengan penerapan zonasi. Dengan zonasi malah memotivasi sekolah di zona tertentu untuk meningkatkan akreditasi. Sekolah yang belum berlabel favorit akan termotivasi meningkatkan kualitas,” ujarnya optimistis.

Toni juga mengakui langkah pemerintah menerapkan zonasi ini menimbulkan konsekuensi. Idealnya, kata dia, pemerintah bisa menerapkan zonasi saat standar kualitas pendidikan di Indonesia sudah setara.

Tetapi, dia juga menilai bahwa pemerintah tidak bisa menunggu kualitas pendidikan standar terlebih dahulu kemudian menerapkan zonasi.

Baca juga: Jalan Solo Purwodadi Dicor Bikin Macet, Bus Masuk Kampung Cari Jalur Alternatif

Menurut dia, strategi itu membutuhkan proses panjang dan waktu lama untuk melihat dampaknya terhadap peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia.

“Sekolah favorit menjadi tidak luar biasa. Saya juga lihat orang tua menjadi tidak melulu memiliki keinginan memasukkan anak ke sekolah favorit. Menurut kami program zonasi sangat baik. Bisa memacu sekolah meningkatkan kualitas,” tutur dia.

Untuk itu, Toni menyebut pemerintah daerah memiliki andil dalam usaha memenuhi standar kualitas sekolah yang belum berlabel favorit menjadi nyaris setara dengan sekolah favorit. Tujuannya agar masyarakat tidak was-was menyekolahkan anaknya ke sekolah terdekat.

“Pemerintah menyebarkan guru-guru berkualitas ke seluruh sekolah yang kualitasnya masih di bawah rata-rata. Sekarang mulai diimpelemtasikan. Jadi nanti masyarakat mau sekolah dimanapun akan sama. Ya dalam proses ada hambatan. Tetapi, kami berkomitmen dengan zonasi bisa menstandarkan kualitas sekolah. Kalau dijalankan dengan baik maka kesadaran orang tua akan makin baik,” jelas dia.

Baca dia: 45 Calon TKI Asal Karanganyar Dapat Rekomendasi dari Disdagnakerkop, Langsung Berangkat?

Kebijakan zonasi juga diharapkan membawa dampak positif bagi guru dan tenaga pendidik. Mereka tidak lagi bergantung pada label favorit saat PPDB.

“Dulu siswanya terpilih, sekarang diisi siswa terdekat sekolah sehingga variasi [kemampuan siswa] tinggi. Dulu guru mudah mengajar karena input bagus, sekarang guru harus punya upaya kuat supaya hasilnya berkualitas. Harapannya demikian,” jelasnya.

Akses Fasilitas

Gubernur Jawa Tengah (Jateng), Ganjar Pranowo, melihat kebijakan zonasi dari sudut pandang lain, yaitu standar pemenuhan fasilitas pendidikan hingga tingkat daerah. Faktanya, akses masyarakat ke fasilitas pendidikan ini belum merata di sejumlah daerah di Jateng. Terutama pemenuhan fasilitas pendidikan pada jenjang pendidikan menengah, seperti SMA, SMK, dan sederajat.

Dampak nyata di depan mata terkait hal itu adalah lulusan sekolah menengah pertama (SMP) dan sederajat terancam tidak bisa melanjutkan sekolah karena tidak memenuhi syarat zonasi. Contoh nyata di kawasan wisata Kecamatan Tawangmangu, Kabupaten Karanganyar.

Kecamatan Tawangmangu menjadi salah satu dari beberapa kecamatan di Jawa Tengah (Jateng) yang belum memiliki sekolah menengah negeri. Biasanya, lulusan SMP di Tawangmangu mendaftar ke SMA/SMK negeri terdekat, salah satunya SMAN Karangpandan.

Sayangnya, pemberlakuan zonasi membuat pelajar asal Tawangmangu kesulitan. Tempat tinggal mereka tidak termasuk zonasi SMAN Karangpandan.

Baca juga: Mulai 1 Juli, Karanganyar Kembali Terapkan Hajatan Banyumili

Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jateng berupaya merealisasikan pemenuhan akses masyarakat ke fasilitas pendidikan secara bertahap, seperti pada Sabtu (12/6/2021), Gubernur Jateng mengawali pembangunan SMAN Tawangmangu.



Kala itu, Ganjar Pranowo menyampaikan kebanggaannya sebagai orang yang lahir di Tawangmangu. Dia berharap SMAN Tawangmangu bisa mulai beroperasi tahun depan.

“Waktu [saya] kecil, belum ada SMA. Bismillah, hari ini kami bulatkan tekad membangun. Ini tanah Pemprov Jawa Tengah. Mudah-mudahan tahun ini selesai sehingga tahun ajaran 2022 bisa dipakai," kata Ganjar.

Orang nomor satu di Pemprov Jateng itu menyebut SMAN Tawangmangu akan menjadi sekolah percontohan center of excellence. Tetapi, Ganjar menyebut prioritas pembangunan bukan hanya gedung yang futuristik dengan pemandangan Gunung Lawu.

“Ini akan jadi model bahwa di lereng Gunung Lawu ada sekolah yang melahirkan anak-anak hebat. Kami harapkan tidak hanya desain arsitektur yang futuristik, tapi konsep, kurikulum, dan guru-guru akan disiapkan menjadi satu model center of excellence sejak dari awal,” ungkap dia.

Baca juga: Bakal Punya Bangunan Futuristik, SMAN Tawangmangu Jadi Percontohan Center Of Excellence

Selain Tawangmangu, Ganjar menjelaskan Pemprov Jateng masih akan membangun sejumlah SMA/SMK di wilayah lain. Dua di antaranya di Kabupaten Banjarnegara dan Kabupaten Purbalingga.

Di dua kabupaten itu, menurut Ganjar, masih ada kecamatan yang belum memiliki SMA/SMK negeri.

“Kami akan petakan terus. Bicara zonasi maka harus ada sekolah di situ supaya anak-anak bisa mengakses. Kalau model zonasi, tetapi tidak ada sekolah di situ ya kasihan. Pemerintah harus fair dengan membuat lebih banyak sekolah,” tutur Ganjar.

Salah satu pelajar asal Tawangmangu, Resta Surya, menceritakan kesulitannya mendapatkan sekolah tahun lalu karena terbentur zonasi. Resta dan teman-temannya mendaftar ke SMAN Karangpandan saat itu tetapi tidak diterima.



“Teman-teman saya melanjutkan ke sekolah swasta. Ada juga yang pilih masuk ke pondok pesantren. Susah mendaftar ke sekolah negeri tahun lalu. Sekarang dibangun SMAN di Tawangmangu. Senang, ada sekolah dekat rumah. Biaya sekolah lebih irit. Anak-anak Tawangmangu tidak perlu sekolah jauh karena ada yang lebih dekat di sini,” ujar dia.

Saat ini, Resta dan sejumlah temannya bersekolah di SMA Kelas Jauh. SMA tersebut di bawah pengelolaan SMAN Karangpandan.

Pengelolaan SMA/SMK

Pemprov Jateng mengeluarkan kebijakan darurat untuk memfasilitasi puluhan siswa asal Tawangmangu agar bisa sekolah.
Kala itu, siswa asal Tawangmangu terancam tidak bisa sekolah pada tahun pertama pemberlakukan PPDB dengan sistem zonasi.

Ditemui secara terpisah, Bupati Karanganyar, Juliyatmono, berharap pemerintah pusat bisa mengambil kebijakan strategis terkait pemenuhan pendidikan. Kebijakan tersebut tidak hanya melihat kondisi di wilayah terdekat, tetapi juga hingga daerah.

“Jangan sampai lulusan SMP ini tidak bisa sekolah gara-gara zonasi. Yang terjadi di daerah itu mereka terancam tidak bisa sekolah karena tidak ada sekolah di lingkungan terdekat. Atau ada sekolah terdekat, tetapi mereka tidak masuk zonasi. Urusan pendidikan itu wajib, amanat konstitusi harus mendapat prioritas,” tutur dia saat berbincang dengan wartawan, Selasa (14/6/2021).

Baca juga: Begini Kesiapan 6 SMPN di Karanganyar Gelar PPDB Offline Tahun Ini

Dia juga menyinggung kebijakan pemerintah pusat memindahkan pengelolaan SMA/SMK ke pemprov.

“Saya tidak setuju dengan kebijakan pengelolaan SMA/SMK ke provinsi. Ya betul masih dalam rangkaian negara, tapi kan kontrol evaluasi ini terlalu jauh. Padahal yang sekolah warga Karanganyar,” tuturnya.





Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya