SOLOPOS.COM - Yohanes Chandra Tambayong (JIBI/SOLOPOS/Dwi Prasetya)

Yohanes Chandra Tambayong (JIBI/SOLOPOS/Dwi Prasetya)

Yohanes Chandra Tambayong cukup istimewa sebagai anak muda. Di usianya yang terbilang muda, 24 tahun, Yohanes mampu membangkitkan kehidupan di salah satu mal baru di Kota Solo. Ia tercatat sebagai salah satu direktur berusia muda di Indonesia dengan jabatannya sebagai direktur PT Sunindo Gapura Prima, perusahaan pengembang Solo Paragon Mall.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Yohanes adalah putra kedua pengusaha properti Chandra Tambayong. Darah pebisnis yang dimiliki sang ayah mengalir deras tubuhnya. Solo Paragon Mall adalah proyek pertama yang ia garap semenjak lulus kuliah dari California State University of Northridge, AS. Bagaimana Yohanes mengawali kariernya ini? Sejak kecil ia mendapat doktrin yang cukup tegas dari sang ayah. Saat SD, ia sudah terbiasa dengan kehidupan kantor ala pebisnis. Di Bandung, ia tinggal di sebuah rumah yang juga kantor ayahnya.

Mulai SMP, ia bahkan sering mengikuti meeting yang diselenggarakan oleh perusahaan ayahnya. “Memang disuruh ikut sama bapak. Disuruh menemani dan mendengarkan saja. Awalnya sih, saya diam saja, dan dalam hati bertanya-tanya, ini ngapain sih,” kata Yohanes, saat ditemui Espos. Kini ia baru memahami apa yang diajarkan ayahnya saat kecil dulu. “Ternyata, meeting itu ya seperti yang sering bapak lakukan dulu. Bagi pebisnis baru, perlu dibiasakan dengan agenda meeting karena penting untuk memprogram apa yang akan dikerjakan,” katanya.

Dengan rutinitas semacam itu, Yohanes sama sekali tidak merasa kehilangan masa bermainnya. Ia juga tidak merasa tertekan. Saking terbiasa dengan kehidupan bisnis, Yohanes pun akhirnya mengikuti terus rutinitas yang ditanamkan sang ayah. “Ada doktrin tapi tidak ada tekanan. Semua bisa saya jalani dengan rileks. Saya tidak pernah dituntut harus ini dan itu, yang jelas bapak saya selalu menanamkan kepada saya karakter rajin, tekun dan ulet. Dengan demikian, kerja pasti benar dan hubungan dengan relasi atau teman tetap oke.”

Sementara, di masa sekolah Yohanes pun mengaku tidak terlalu banyak menikmati masa-masa liburan. Masa liburan di sekolah internasional yang bisa mencapai satu atau dua bulan, justru dimanfaatkannya untuk masuk ke sekolah swasta. “Masuk sekolah swasta baru, hanya satu atau dua bulan saja, terus keluar, melanjutkan studi lagi di International School. Jadi, saya nyaris tidak pernah menikmati masa liburan sekolah,” paparnya. Pertimbangannya, tutur dia, akan sangat disayangkan jika waktu dua bulan tidak dimanfaatkan untuk belajar. Pertimbangan selanjutnya, Yohanes perlu bergaul dengan banyak teman, mengingat komunitas di sekolah internasional sangat tertutup.

Yang kedua, saat menempuh studi perguruan tinggi di Amerika Serikat, Yohanes pun diharuskan pulang ke Indonesia minimal setiap enam bulan. “Saat sekolah di Amerika, setiap enam bulan saya diharuskan pulang ke Indonesia. Untuk update culture asli. Karena, jika berlama-lama di negeri orang, pasti dari sisi bahasa dan kebiasaan pasti sudah berbeda.” Dan begitu sudah berkumpul dengan keluarga, kata dia, lagi-lagi yang dibicarakan adalah seputar bisnis. “Karena kalau berkumpul keluarga pada saat akhir pekan, justru lebih banyak sharing seputar bisnis, me-review lagi dan membahas apa yang akan dilakukan pekan depan,” ujarnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya