SOLOPOS.COM - Cahaya, 8, bocah SD kelas III tinggal bersama buyutnya di sebuah gubuk di RT 001/ RW 004 Dukuh Gunungan, Desa Ngesrep, Ngemplak, Boyolali. Cahaya tak lagi memiliki ayah dan ibu. (Aries Susanto/JIBI/Solopos)

Bocah 8 tahun di Ngesrep, Ngemplak, Boyolali ini yatim piatu dan hanya diasuh nenek dan buyutnya di sebuah gubuk reyot.

Solopos.com, BOYOLALI — Sejak lahir, bocah ini sudah tak lagi melihat paras wajah ayahnya. Ketika usianya menginjak 3 tahun, ia kembali kehilangan orang tercintanya. Ibunya pergi ke alam keabadian akibat penyakit kanker.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Bocah yang kini berusia delapan tahun itu sekarang diasuh oleh nenek dan buyutnya (ibu dari nenek) di sebuah gubuk reyot di RT 001/ RW 004 Dukuh Gunungan, Desa Ngesrep, Ngemplak, Boyolali. “Cucu saya ini setiap hari kami asuh di gubuk ini. Rumah dan pekarangan orang tuanya sudah dijual semua untuk biaya berobat ibunya,” ujar Sulasmi, nenek bocah itu saat berbincang dengan Solopos.com di rumahnya, Selasa (1/11/2016).

Bocah malang itu bernama Cahaya. Meski lahir sebagai orang miskin dan tak memiliki ayah-ibu, namun Cahaya masih memiliki secercah harapan. Nenek dan buyutnya setiap hari menumpahkan kasih sayangnya itu kepada Cahaya tanpa putus. Cahaya tetap bisa mengenyam bangku sekolah dasar (SD) meski dengan cara mengangsur biaya masuk sekolah.

Cahaya juga bisa memiliki tas dan buku-buku tulis meski hasil pemberian orang-orang dermawan. Cahaya juga tetap bisa belajar dan bermain di rumah meski dengan kondisi ala kadarnya. “Pendapatan kami ya hanya dari usaha bikin kerupuk singkong ini. Untungnya, pihak sekolah bisa memahami keluarga kami,” jelas Sulasmi.

Pendapatan nenek dan buyut Cahaya tak lebih Rp20.000/ hari. Saban hari, aktivitas mereka ialah membikin kerupuk singkong lalu menjemurnya. Harga kerupuk singkong kering per kilogram Rp12.000. “Kadang sehari bisa bikin 2 kg kerupuk, kadang lebih. Nanti kalau sudah kering dipunduti [diambil] pedagang,” jelasnya.

Cahaya sehari-hari tinggal di gubuk berlantai tanah bersama nenek dan buyutnya itu. Tak ada kartu Jamkesmas atau Kartu Indonesia Pintar (KIS) bagi Cahaya dan keluarga itu. Meski demikian, Cahaya tak kehilangan cahaya hidup. Prestasinya di sekolahnya terbilang cukup gemilang.

Putra mendiang Agus Sulistya dan Ratih Puji Astuti ini tak kalah berprestasi dengan siswa-siswi lainnya. Dengan kondisi ekonomi pas-pasan, Cahaya selalu masuk lima besar siswa berprestasi di SD Ngesrep. “Alhamdulillah, anak wedok ini pinter sekali di sekolahnya. Dia juga anak cukup blater,” sahut buyut Cahaya, Kasminah.

Cita-cita Cahaya ingin menjadi guru Bahasa Indonesia. Saat berbincang dengan Solopos.com, tampak sekali kecakapan Cahaya berbicara. Raut wajahnya juga senantiasa semringah bercahaya. Cahaya seakan ingin membuktikan bahwa anak orang miskin pun harus tetap sekolah.

“Saya senang pelajaran bahasa Indonesia. Cita-cita saya ingin jadi guru bahasa Indonesia,” tutur bocah bernama lengkap Sena Cahaya Agus Pratama itu.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya