Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda
Hal tersebut disampaikan oleh Koordinator Unit Penanganan Kasus SPEK HAM, Nila Ayu Puspaningrum, Minggu (25/11/2012). Menurut dia, kemungkinan jumlah kekerasan tahun ini meningkat dibandingkan tahun lalu. “Tahun lalu kasus kekerasan berjumlah 110, tapi tahun ini baru satu semester saja sudah ada 83 kasus kekerasan. Jadi kemungkinan besar kasus kekerasan tahun ini naik,” ungkap Nila.
Menurut Nila, peningkatan jumlah kasus bisa disebabkan dua hal, yakni kesadaran masyarakat yang ketika mendapat perlakuan kekerasan mengadu kepada polisi atau lembaga swadaya masyarakat (LSM) atau memang semakin banyak kekerasan yang terjadi di masyarakat.
Pada kesempatan yang sama, sekitar 50 orang dari 10 organisasi melakukan aksi menentang kekerasan terhadap perempuan dan anak. Aksi dimulai dengan long march dari Plaza Sriwedari menuju bunderan Gladak sambil membawa poster bertuliskan kalimat penolakan dan penghentian kekerasan terhadap perempuan dan anak. Setelah itu, aksi dilanjutkan dengan pembacaan puisi tentang perempuan di dekat patung Slamet Riyadi. Aksi tersebut merupakan rangkaian acara memperingati 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak yang bertema Amemangun Jejeging Adil Tumrap Pawestri. Selain melakukan aksi, juga akan diadakan pameran foto dan diskusi pada Rabu (28/11/2012) di Balai Soedjatmoko.
Koordinator aksi, Maria Martha Sucia mengungkapkan perlu adanya perhatian khusus dari berbagai elemen masyarakat dan pemerintah terhadap kasus kekerasan terhadap anak. Pasalnya, angka kekerasan terhadap anak tergolong tinggi di Kota Solo. “Kasus yang terjadi tindakannya sudah lebih condong ke kekerasan seksual terhadap anak, tidak lagi pelecehan,” kata Maria.
Sementara itu, salah satu peserta aksi, Vera Kartika, menuturkan hari anti kekerasan terhadap perempuan dan anak dijadikan momen untuk mengingat bahwa kekerasan dekat dengan masyarakat. Vera mengungkapkan kekerasan terhadap perempuan terjadi karena perempuan dianggap sebagai manusia kedua. Peran perempuan sebagai ibu rumah tangga hanya dipandang sebelah mata karena tidak menghasilkan pendapatan bagi keluarga. “Orang yang mampu menghasilkan uang dan menghidupi keluarga masih dianggap sebagai yang lebih utama. Hal ini membuat perempuan yang berperan domestik kurang dihargai.”