SOLOPOS.COM - Foto mendiang Sumarti Ningsih, TKW korban mutilasi di Hongkong, yang tersimpan di rumahnya di Desa Gandrungmangu, Cilacap, Jawa Tengah, Senin (3/11/2014). (Idhad Zakaria/JIBI/Solopos/Antara)

Solopos.com, CILACAP Jaringan Buruh Migran Indonesia (JBMI) Hong Kong dan Macau meminta pelaku mutilasi terhadap Sumarti Ningsih dan Seneng Mujiasih mendapat hukuman setimpal dari pengadilan Hong Kong. Diingatkannya pula kondisi buruh migran Indonesia di Hong Kong yang rentan overstay dan berbuntut pada insiden yang tidak diinginkan.

“Belum pulih duka atas meninggalnya Pitra Handayani pada tanggal 28 Oktober 2014 karena sakit dan Siswati yang diduga bunuh diri pada tanggal 24 Oktober 2014 akibat lilitan utang, kini masyarakat Indonesia di Hong Kong kembali dikejutkan dengan kabar kematian tragis dua perempuan berwarga negara Indonesia pada hari Sabtu (1/11/2014),” tulis Koordinator JBMI Hong Kong dan Macau Sringatin dalam siaran pers yang diterima Kantor Berita Antara di Cilacap, Jawa Tengah, Rabu (5/11/2014).

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Kedua WNI tersebut, menurut Sringatin ditemukan mati mengenaskan di apartemen Rurik George Caton Jutting, 29, pria kaya asal Inggris mantan karyawan Bank of America Merrill Lynch di daerah Wan Chai District. Jasad korban yang pertama teridentifikasi diketahui bernama Sumarti Ningsih ditemukan dalam kondisi terikat tangan dan kaki, dimutilasi, serta dimasukan di koper yang diletakkan di balkon selama empat hari. Jenazah kedua yang diduga bernama Seneng Mujiasih, 30, alias Jesse Lorena, ditemukan dalam kondisi luka parah akibat tusukan benda tajam di dada, pantat, dan lehernya.

Menurut dia, pembunuhan terkuak setelah pelaku sendiri menelepon polisi dan meminta untuk memeriksa apartemennya. “Bagaimanapun pembunuhan ini sadis dan biadab. Tak seorangpun berhak membunuh orang lain dengan cara seperti itu terlepas apapun kebangsaan, profesi, dan status visa mereka. Pemerintah Hong Kong harus menegakkan keadilan dan menghukum pelaku setimpal atas perbuatannya,” katanya.

Ekspedisi Mudik 2024

“Apapun kondisinya, mereka hanyalah korban kemiskinan dan keterpaksaan yang terpaksa ke luar negeri dan bertahan dengan cara apapun demi memberi nafkah bagi keluarga.”

Ia mengatakan berdasarkan sumber yang berhasil dihimpun JBMI, Sumarti Ningsih, 23, berasal dari Cilacap, Jawa Tengah, dan dulu pernah bekerja sebagai pekerja rumah tangga (PRT) di Hong Kong. Selanjutnya, lanjut Sringatin, Sumarti Ningsih pulang ke Indonesia dan bekerja sebagai disc jockey (DJ) di Jakarta.

“Kali ini dia kembali ke Hong Kong sebagai turis untuk menemui sahabat-sahabatnya. Menurut salah satu sahabatnya yang masih di Hong Kong, Sumarti Ningsih sudah memegang tiket penerbangan dan seharusnya balik ke Indonesia tanggal 2 November 2014, tetapi tiba-tiba dia sudah tidak bisa dihubungi sejak 26 Oktober,” katanya.

Korban yang diduga bernama Seneng Mujiasih, 30, alias Jesse Lorena, kata dia, telah berada di Hong Kong selama enam tahun. Menurut dia, Seneng berasal dari Jawa namun keluarganya telah pindah ke Sulawesi.

Gara-Gara Overstay
Ia mengatakan Seneng sempat bekerja sebagai PRT selama tiga tahun pertama dan kemudian overstay selama tiga tahun berikutnya. “Sahabat Seneng yang sudah pulang di Indonesia mengatakan bahwa Seneng terpaksa menjadi overstay karena majikan terakhirnya tidak baik sehingga terjadi pemutusan kontrak kerja. Dia tidak ingin pulang dan dikenakan potongan gaji lagi selama berbulan-bulan jika ingin kembali bekerja ke Hong Kong,” katanya.

Sringatin mengatakan dari kasus-kasus yang diterima dan diteliti JBMI, alasan umum buruh migran menjadi overstay karena menjadi korban majikan atau agen yang tidak baik. Sementara itu, kata dia, pemerintah Hong Kong mewajibkan PRT asing untuk meninggalkan 14 hari pekerjaannya setelah pemutusan kontrak dan melarang mereka pindah ke jenis pekerjaan lain. Di sisi lain, kata dia, pemerintah Indonesia mewajibkan seluruh tenaga kerja Indonesia (TKI), baik TKI baru maupun TKI purna, untuk mendaftar melalui perusahaan penempatan tenaga kerja Indonesia swasta (PPTKIS) atau agen untuk bisa bekerja ke Hong Kong.

Menurut dia, rata-rata TKI dikenakan biaya keberangkatan yang mahal, yakni berkisar 16.000-18.000 dolar Hong Kong atau setara Rp25 juta-Rp28 juta melalui sistem potongan gaji selama enam bulan atau lebih. “Apapun kondisinya, mereka hanyalah korban kemiskinan dan keterpaksaan yang terpaksa ke luar negeri dan bertahan dengan cara apapun demi memberi nafkah bagi keluarga. Persoalan utama di sini adalah mereka dibunuh terlepas apapun spekulasi yang berkembang di luar tentang status dan kepribadian mereka,” katanya.

Meskipun jumlah TKI yang overstay di Hong Kong tidak signifikan, dia mengatakan bahwa JBMI meminta kepada pemerintah Hong Kong dan Indonesia untuk memberi perhatian, khususnya alasan-alasan yang menyebabkan mereka rentan overstay dan menjadi korban eksploitasi. “Agar tidak jatuh korban, aturan-aturan yang merugikan PRT migran harus diubah. Pemerintah Hong Kong harus mencabut aturan yang membatasi hak tinggal dan melarang PRT untuk ganti majikan secara langsung, begitu juga pemerintah Indonesia jangan memaksa TKI untuk proses kontrak kerja kami melalui PPTKIS atau agen, khususnya mereka yang sudah di luar negeri. Langkah ini akan menjadi perlindungan bagi 148.000 PRT Indonesia,” katanya.

Hingga saat ini, JBMI sedang berkomunikasi dengan sahabat dan keluarga korban dan akan terus memantau proses penanganan kasus tersebut hingga pelaku dihukum dan keadilan bagi kedua korban ditegakkan.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya