SOLOPOS.COM - Kondisi Gedung Wayang Orang (GWO), Sriwedari, Solo, Kamis (6/1/2022). (Solopos-Nicolous Irawan)

Solopos.com, SOLO —  Taman Sriwedari yang berada tepat di jantung Kota Solo, bak kawasan mati bagi sebagian orang. Pembangunan Masjid Taman Sriwedari di bekas Taman Hiburan Rakyat (THR) dihentikan sementara sejak 2021 dengan pengerjaan 80%.

Gapura bagian depan masih ditutup dengan banner bekas dan seng yang ditata berdiri. Akses tersisa yakni gapura belakang dan sisi samping yang menjadi jalan keluar masuk alat berat untuk pembangunan masjid.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Ruang sunyi bekas Bonrojo (Kebon Rojo) yang dibangun pada masa Paku Buwana X ini justru terasa hidup saat malam hari. Ramai pentas dan tepuk tangan penonton terdengar dari dalam Gedung Wayang Orang (GWO) setiap Kamis, Jumat, dan Sabtu. Militansi pemain wayang orang di gedung wayang tertua Kota Solo itu seolah memberikan energi baru.

Ekspedisi Mudik 2024

Baca juga: Pemerhati Budaya: Kawasan Sriwedari Solo Harus Kembali ke Fungsi Awal

Didik Wibowo, 45, merupakan pemaian senior yang hampir tak pernah meluruhkan semangatnya nguri-uri seni tradisi di sana. Januari ini merupakan tahun ke-16 dia mengabdi sebagai seniman andalan GWO. Selama itu dirinya jarang absen pentas kecuali jika sakit atau ada kepentingan mendesak.

Seperti biasa, Didik yang ditunjuk sebagai wakil koordinator pemain latihan setiap Senin hingga Rabu. Ia datang pagi-pagi dan selesai menjelang sore. Jam kerjanya sebagai pegawai Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Solo mulai berubah tiap Kamis hingga Sabtu karena jatah pentas.

Pertunjukan wayang dimulai pukul 19.30 WIB dan selesai sekitar pukul 21.00 WIB. Selama pandemi, pentas memang hanya digelar tiga hari dengan penonton maksimal 50% dari kapasitas gedung.

Saat ditanya mengenai sengketa tanah Sriwedari yang tak kunjung selesai, Didik, bergeming. Pencinta wayang sejak kecil ini mengatakan konflik tanah di kawasan tersebut tak sekalipun menyurutkan semangatnya dan pemain lain. Jadwal mereka sama sekali tak terganggung. Hanya, ambiens sekitar GWO benar-benar berubah.

Baca juga: Bikin Melongo, Nilai Tanah Sriwedari Lebih Besar dari APBD Solo!

Bangunan Masjid yang mangkrak sedikit banyak membuat kawasan sekitar GWO terkesan mangkrak. Akses menuju gedung pertunjukan juga terganggu. Meski masih diizinkan pentas, mereka seolah hanya numpang. Akses satu-satunya yakni gapura belakang dengan jalan masih tanah.

Anak Muda Gandrungi Seni Tradisi

Bagi pendatang, tak ada yang menyangka jalan tersebut bisa mengantarkan mereka menuju gedung wayang orang. Mengingat tidak ada petunjuk arah yang jelas.

“Iya. Kami pastinya tetap semangat. Kami manut perintah dinas. Tapi ya tentu saja ada harapan. Semoga konflik segera selesai, pembangunan segera berjalan maksimal,” harap Didik . “Semoga tidak ada pemindahan. Wayang orang adalah identitas Sriwedari,” kata dia lagi, Kamis (6/1/2022).

Hal senada disampaikan salah satu pemain muda, Tri Ageng Giyatno Mukti, 27. Sekarang menurutnya semakin banyak anak muda yang menggandrungi seni tradisi. Tak sekadar menyaksikan, namun juga menggeluti.

Baca juga: Kuasa Hukum Ahli Waris: Mbangun di Sriwedari Solo Bisa Dipenjara!

Kondisi tersebut harus ditangkap dengan baik oleh semua pihak. Jangan sampai konflik sengketa justru menyurutkan semangat anak muda yang mulai bergairah hidupkan seni budaya di sana.

“Pada era sekarang anak muda masuk memberi warna baru. Sekarang banyak sekali terobosan yang ada. Ini harus ditangkap dengan baik. Jangan sampai disia-siakan hanya karena adanya konflik. Meski bagi saya sendiri itu [konflik] sama sekali tidak berpengaruh pada semangat saya untuk pentas,” kata dia, Kamis.

Kenangan dengan Taman Sriwedari

Sekilas, riuh pentas wayang orang tiap akhir pekan membuat keadaan seolah baik-baik saja. Namun, naik turun tensi menyaksikan seni tradisi di depan panggung berubah menyedihkan setelah keluar gedung.

Salah satu pencinta wayang orang, Tiyas, 34, merasa sedih tiap kali melihat bangunan masjid yang tak kunjung selesai, sisa reruntuhan pendapa depan GWO, serta sudut lain yang tak terurus. “Kalau lihat Sriwedari sekarang rasanya singup. Bahkan bikin males juga untuk nonton wayang. Enggak kayak dulu,” kata dia, Jumat (7/1/2022).

Baca juga: Warga Solo Diajak Ikut Menjaga dan Merawat Kawasan Sriwedari

Perempuan penyuka sejarah ini memiliki kenangan yang kuat dengan Taman Sriwedari. Dulu saat masih duduk di Taman Kanak-Kanak (TK) hingga Sekolah Menengah Pertama (SMP) sering diajak ke THR Sriwedari untuk lomba pentas seni. Kadang di kompleks THR, kadang di pendapa depan GWO.

Beranjak dewasa, dia beberapa kali main ke THR Sriwedari untuk melihat pertunjukan seni dengan harga relatif murah. Disusul kunjungan ke Perpustakaan Radya Pustaka, kompleks penjual lukisan, dan yang paling baru adalah Museum Keris Nusantara.

Kenangannya dengan Taman Sriwedari tak pernah lepas dari ingar bingar seni tradisi. Tiyas ingat betul selain untuk pentas, Sriwedari tak hanya jadi panggung pentas. Namun juga ruang egaliter yang berhasil menumbuhkan sejumlah kelompok seni tradisi.

Sebut saja komunitas pecinta musik Koes Plus, Himpunan Artis Musik Keroncong (Hamkri), dan banyak lagi. Tak berlebihan kalau akhirnya Tiyas melihat Taman Sriwedari yang sekarang seolah hilang arah dan tanpa tujuan. “Ya konflik nggak hanya menghancurkan bangunan, tapi ekosistem kesenian,” kata dia.

Baca juga: Ahli Waris: Penataan Kawasan Sriwedari Solo Bentuk Kepanikan Pemkot

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya