SOLOPOS.COM - Ilustrasi balita yang berisiko kena stunting jika dilahirkan dari ibu muda yang sistem reproduksinya belum siap. (Freepic).

Solopos.com, BOYOLALI –  Kepala Dinas Pengendalian Penduduk, Keluarga Berencana, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP2KBP3A) Boyolali, Ratri S. Survivalina, mengatakan pernikahan dini di Boyolali berkorelasi dengan penurunan gizi pada anak atau stunting.

Ratri menjelaskan rata-rata anak yang menikah dini belum memiliki kesiapan baik fisik, mental, dan ekonomi untuk membangun sebuah keluarga yang sehat dan sejahtera.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

“Anak-anak yang masih di bawah umur itu biasanya kedewasaannya masih kurang, sehingga sering terjadi perceraian. Kemudian, pola pengasuhan anak jadi tidak optimal karena mereka masih belum mampu baik secara mental dan sosial,” jelas Lina.

“Aspek lain seperti agama, lingkungan, dan kebudayaan juga belum cukup,” jelas Lina saat menjelaskan mengenai dampak pernikahan dini di Boyolali, Solopos.com, Sabtu (17/9/2022).

Sebab, pengasuhan anak yang belum maksimal tersebut, lanjut Lina, menyebabkan anak-anak yang dilahirkan cenderung mengalami masalah. Baik masalah terkait pola asuh ataupun masalah gizi.

Baca juga: Dana Desa Jadi Andalan Atasi Stunting pada 2.000 Anak Sukoharjo

“Pada akhirnya banyak terjadi kasus-kasus anak balita [bawah lima tahun] yang kurang gizi,” jelasnya.

Saat membahas soal pernikahan dini di Boyolali, Lina mengatakan anak-anak yang belum berumur 21 tahun sebenarnya belum memiliki sistem reproduksi yang matang. Sehingga, perempuan belum memiliki rahim yang sempurna untuk hamil dan melahirkan.

Sementara, ketika organ reproduksi belum sempurna maka sel-sel dalam tubuh anak belum matang dan berpotensi menimbulkan kanker serviks.

“Jadi anak-anak yang menikah dini itu memang rentan terhadap banyak masalah kesehatan baik untuk diri sendiri maupun bayi yang mau dilahirkan,” terangnya.

Di Kabupaten Boyolali sendiri, angka pernikahan dini berdasarkan pengajuan dispensasi menikah terus mengalami penurunan.  Pada 2020 ada 458 pengajuan dispensasi nikah kemudian pada 2021 ada 334-an.

Baca juga: 149 Anak Karanganyar Ajukan Dispensasi Nikah, Mayoritas karena Hamil Duluan

Arief mengatakan jika ada calon pengantin berusia di bawah 19 tahun dan akan mengajukan pernikahan ke Kantor Urusan Agama (KUA), maka KUA otomatis akan menolaknya.

Kemudian, calon pengantin yang belum berusia di bawah 19 tahun harus mengajukan dispensasi nikah ke Pengadilan Agama.

“Harus disidangkan dulu, majelis hakim akan memberikan dispensasi atau enggak. Kalau memberikan [dispensasi nikah] baru bisa menikah,” ungkap dia.

Arief mengatakan biasanya pengajuan pernikahan dini di Boyolali yang diterima bersifat darurat.

Arief mencontohkan hal darurat tersebut seperti hamil di luar nikah dan pasangan muda yang setiap hari bersama ke mana-mana dan dikhawatirkan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.

Baca juga: Pernikahan Dini hingga Kesehatan Mental Remaja Jadi PR Duta Genre Sukoharjo

Sementara, upaya Pemprov Jawa Tengah untuk menekan angka pernikahan di usia anak terus digencarkan dengan beragam program.

Di antaranya melalui program Jokawin Bocah. Program tersebut memfasilitasi akses pendidikan gratis, pendidikan pranikah, serta pemberdayaan ekonomi dengan melibatkan berbagai organisasi dan komponen masyarakat.

Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo juga menegaskan soal larangan pernikahan dini di Boyolali dan sekitarnya atau lewat program Jokawin Bocah bagi anak muda.

Hal itu Ganjar sampaikan saat menjadi pembina upacara dalam peringatan ulang tahun (HUT) Ke-61 Pramuka di Kebun Raya Indrokilo Boyolali, Rabu (31/8/2022).

“Jangan sampai usia dini yang harusnya sekolah, menimba ilmu, dan menggapai cita-cita, malah terbelenggu karena pernikahan dini,” kata Ganjar saat memberikan sambutan.

Baca juga: Pernikahan Dini hingga Kesehatan Mental Remaja Jadi PR Duta Genre Sukoharjo



Dilansir dari Jokawinbocah.net, Perwakilan dari Yayasan Kesehatan Perempuan, Zumrotin turut menegaskan perkawinan anak berdampak pada terganggunya kesehatan reproduksi, hingga menyebabkan kanker serviks atau kanker leher rahim.

Zumrotin juga mengecam oknum yang melakukan ajakan kepada para perempuan untuk menikah di atas usia 12 tahun hingga maksimal 21 tahun.

Menurutnya, tindakan tersebut tidak bertanggung jawab dan tidak bermoral. Oleh karenanya, ia menekankan pentingnya pendidikan kesehatan reproduksi yang komprehensif di sekolah-sekolah.

“Namun sayang, masih banyak pihak yang menganggap pendidikan kesehatan reproduksi merupakan hal tabu, sehingga materi kesehatan reproduksi di sekolah-sekolah hanya dijadikan materi sisipan di satu mata pelajaran atau muatan lokal, padahal dampaknya luar biasa,” kata Zumrotin.

Baca juga: Ingin Nol Kasus Stunting Terwujud, Ini Upaya Pemkab Boyolali

Zumrotin juga mendorong agar konselor dan psikolog Pusat Pembelajaran Keluarga (Puspaga) juga memberikan bimbingan terkait kesehatan reproduksi yang komprehensif kepada para orang tua agar bisa memberikan bimbingan kepada anak-anaknya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya