SOLOPOS.COM - Ilustrasi warung hik di Solo. (Dok. Solopos.com)

Solopos.com, SOLO — Warung hik atau hidangan istimewa kampung dari Solo ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) oleh Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek).

Selain hik, kuliner khas Solo lain, seperti satai kere, satai buntel, roti kecik, serabi notosuman, dan timlo juga mendapat predikat sama. Sebenarnya budaya serupa hik tidak hanya ada di Solo. Warung yang juga akrab dengan sebutan wedangan tersebut saat ini bisa dijumpai di banyak daerah.

Promosi Selamat! Direktur Utama Pegadaian Raih Penghargaan Best 50 CEO 2024

Di Jogja ada angkringan, sementara di Semarang ada kucingan. Penjual hik atau angkringan biasanya menggunakan gerobak dengan tempat duduk dari bangku panjang. Gerobak hik sekaligus menjadi meja dengan menambahkan papan di sisinya.

Warung hik atau wedangan di Solo tidak hanya menjadi tempat orang mencari makan tetapi juga tempat menongkrong dan diskusi. Penetapan warung hik sebagai warisan budaya nasional mendapat apresiasi dari sejarawan Solo Heri Priyatmoko.

Baca Juga: Seleksi CPNS Solo: 318 Pelamar Lolos SKD, 12 Lowongan Kosong

Menurutnya, sudah selayaknya kuliner khas Kota Bengawan itu menjadi kekayaan budaya yang patut dilestarikan. “Sebenarnya masih banyak lagi kuliner asli Solo yang layak menjadi bagian dari itu, seperti nasi liwet,” katanya kepada Solopos.com, Selasa (2/11/2021).

Heri menuturkan warung hik dulunya bernama angkringan. Dalam pemahaman umum saat ini, angkringan dianggap berasal dari Yogyakarta. “Padahal aslinya Solo,” ujar Heri.

Bukti Angkringan Asli Solo

Artinya, dibandingkan dengan angkringan yang terkenal di Jogja, hik Solo sudah lebih dulu ada. Heri mengisahkan bukti angkringan asli dari Solo berdasarkan riset yang dilakukannya di Perpustakaan Nasional, beberapa waktu lalu.

Ia menemukan Koran Jawi Swara terbitan 1913 yang menyebutkan peristiwa pencurian, di mana malingnya bersembunyi di angkring. Masa itu ditandai dengan mulai digunakannya listrik di sekitaran Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat.

Baca Juga: Warung Hik – Sate Kere, 28 Budaya Solo Jadi Warisan Budaya Tak Benda

Warga sekitar Solo, terutama Klaten menangkap peluang itu dengan berjualan makanan keliling kampung. Nama angkringan berubah menjadi hik setelah angkringan meluber ke Yogyakarta.

“Dahulunya hik dijual berkeliling atau dipikul. Konsep angkringan meluber ke Yogyakarta yang membuat warga setempat mengubah namanya menjadi hik pada 1980-an. Ini terungkap dalam buku terbitan Pemkot Solo,” jelasnya.

Heri menambahkan angkringan kala itu adalah upaya bertahan wong cilik di kota raja dengan modal sedikit. Penetapan warung hik menjadi WBTB juga disambut antusias oleh Paguyuban Pasar Pawon.

Pemasok Barang

Paguyuban yang berlokasi di Kampung Baron Gede, Kelurahan Panularan, Laweyan, Solo, tersebut adalah pusat produsen atau pemasok barang dagangan warung hik atau angkringan di Solo yang eksis sejak 1970. Paguyuban pemasok dan pedagang angkringan terbentuk mulai 2003.

Baca Juga: Pemkot Solo Batalkan Larangan Anak Balita Masuk Mal dan Tempat Publik

Kini anggota tetap atau pemasok sebanyak 30 orang dan anggota tidak tetap atau pedagang hik sekitar 150 orang. “Dari semula dipikul, kemudian menjadi gerobak dorong yang menetap di satu lokasi, kami bersyukur akhirnya warung hik ditetapkan menjadi warisan budaya,” ucap salah satu pengurus Paguyuban Pasar Pawon, Agus Mulatoni.

Menurut Agus, sejarahnya hik dijual berkeliling karena saat itu tidak banyak moda transportasi seperti sekarang. Modernisasi juga bikin yang semula hanya hidangan murah jadi hidangan mahal karena dijual di semacam kafe.

“Tapi hik yang khas ya gerobak dorong, meski ada kafe atau hotel yang menghadirkan kuliner khas hik,” ujarnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya