SOLOPOS.COM - Srigandring, 60, warga Dukuh Bunderjarakan, Desa Bandungan, Kecamatan Jatinom, Klaten, mengonsumsi air hujan hasil elektrolisis di rumahnya, Selasa (14/3/2017). (Taufiq Sidik Prakoso/JIBI/Solopos)

Warga Bunderjaraka mengembangkan air hujan untuk dikonsumsi.

Solopos.com, KLATEN – Warga Dukuh Bunderjarakan, Desa Bandungan, Kecamatan Jatinom, Kabupaten Klaten, ingin membikin sekolah sebagai media pembelajaran terkait air. Beberapa tahun terakhir, warga dukuh setempat melakukan penelitian dan pengembangan air hujan untuk konsumsi setelah melalui proses elektrolisis.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Salah satu warga Bunderjarakan, Gunawan, mengatakan gagasan membuat sekolah muncul salah satunya lantaran banyak warga luar daerah yang belajar soal pengelolaan air hujan di dukuh setempat. Selain itu, masih minim penelitian terkait air hujan.

“Kami menggagas membuat sekolah sebagai tempat penelitian serta tempat menimba ilmu tentang air. Bagaimana memelihara air dan seperti apa air hujan itu. selama ini masih sedikit sekali penelitian tentang air hujan termasuk dari pemerintah sendiri. Kami dari Kandang Banyu Udan ingin mengedukasi terkait hal itu,” ungkap dia, Jumat (17/3/2017).

Gunawan menjelaskan sekolah itu juga menjadi media untuk memperluas warga pengguna air hujan. Alasannya, air hujan dinilai lebih baik ketimbang air tanah. Hal itu dibuktikan melalui penelitian warga setempat setelah mendapat transfer ilmu dari Romo V. Kirjito, rohaniawan dari Magelang pada 2012 lalu.

Dari hasil penelitian warga setempat, kandungan total dissolced solid (TDS) atau jumlah total larutan padat yang terkandung dalam air tanah relatif tinggi. Padahal standar TDS menurut WHO kurang dari 50 part per milion (ppm). TDS air hujan hasil penelitian berkisar 30-60 ppm. Sementara, air tanah memiliki TDS lebih tinggi bahkan ada yang mencapai 180 ppm. Kondisi itu terjadi lantaran air tanah mengandung banyak zat serta sangat dimungkinkan banyak pencemaran di tanah.

Sekitar empat tahun terakhir, warga Bunderjarakan mengembangkan penelitian dengan memisahkan unsur basa dan asam air hujan melalui sistem elektrolisis dengan mengaliri listrik searah. Air hasil elektrolisis itu dikonsumsi warga. Selain layak konsumsi, air hasil elektrolisis yang dikenal dengan banyu setrum berkhasiat menyembuhkan penyakit.

“Kami ingin budaya menangkap air hujan menjadi tradisi. Seperti diketahui, air tanah sekarang sudah banyak tercemar. Memang sudah banyak sekali yang datang ke daerah kami untuk belajar tentang air hujan. Latar belakangnya ada yang dokter, pramugari, pengusaha, karyawan, atau penulis. Di Bali kami membina selama dua tahun dan mereka merasakan ada manfaat dari konsumsi air hujan,” katanya.

Sementara itu, Romo V. Kirjito mengatakan warga Bunderjarakan secara perlahan ia ajak melakukan penelitian terkait air hujan. Dari situ, warga mulai mengenal manfaat air hujan serta merasa lebih percaya diri dengan konsumsi air hujan yang sudah dilakukan selama bertahun-tahun.

Salah satu warga Bunderjarakan, Srigandring, 60, menuturkan sekitar empat tahun terakhir ia mengonsumsi air hujan setelah melalui proses elektrolisis. “Yang saya konsumsi air yang bersifat basa. Memang ada manfaat yang dirasakan seperti capai hilang meski sudah bekerja di ladang seharian,” kata dia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya