SOLOPOS.COM - Museum Sangiran (Google/ wisatayo.com)

TACBN menyebut SK Gubernur tentang penetapan wilayah Sangiran sulit direvisi.

Solopos.com, SOLO — Ketua Tim Ahli Cagar Budaya Nasional (TACBN), Surya Helmi, menegaskan revisi Surat Keputusan Gubernur No. 430/197/2014 tentang Penetapan Satuan Ruang Geografis Sangiran Sebagai Kawasan Cagar Budaya Jawa Tengah dan Keputusan Mendikbud No. 019/M/2015 tentang Penetapan Satuan Ruang Geografis Sangiran sebagai Benda Cagar Budaya Peringkat Nasional sulit direalisasikan.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Revisi ini merupakan permintaan warga dari enam desa terdampak perluasan situs Sangiran, yakni tiga desa di Kecamatan Gondangrejo, Karanganyar (Jeruk Sawit, Wonosari, dan Rejosari) serta tiga desa di wilayah Kecamatan Plupuh, Sragen (Somomorodukuh, Sambirejo, dan Brangkal).

Desa-desa tersebut berada di zona penyangga, pengembangan, dan pendukung situs. Seperti diketahui, Keputusan Mendikbud No. 070/O/1977 tentang Penetapan Daerah Sangiran Sebagai Cagar Budaya menyebutkan luas situs Sangiran hanya berkisar 47 kilometer persegi. Sementara dalam Keputusan Mendikbud No. 019/M/2015, situs Sangiran diperluas menjadi 59,21 kilometer persegi. Ada penambahan luas sekitar 12 kilometer persegi.

Menurut Surya, merevisi SK berarti harus mengulang proses kajian dari awal. Apalagi dua SK itu antara SK Gubernur dan SK Mendikbud saling berkaitan. “Butuh waktu sangat lama. Menteri harus membuat permohonan lagi ke TABCN, mengulang lagi prosesnya dari awal. Revisi SK tentang cagar budaya semacam ini pernah kami lakukan di tempat lain dan hasilnya gagal. Jadi yang jadi permasalahan di Sangiran ini sebenarnya adalah bagaimana masyarakat sekitar Sangiran ini bisa memberdayakan diri karena potensi di sana luar biasa,” kata Surya dalam Focus Group Discussion (FGD) yang diselenggarakan Kemendikbud di Hotel Dana Solo, Jumat (6/10/2017).

Seorang perangkat Desa Jeruksawit, Wagimin, menolak SK tersebut dengan alasan ditemui banyak data error. “Kami sudah mengkaji isi SK itu, dan hasilnya banyak data yang tidak valid atau error, seperti batas wilayah dan penyebutan nama dukuh yang tidak sesuai,” ujar dia.

Warga Jeruksawit yang terkena dampak perluasan situs Sangiran bahkan sudah membentuk Gerakan Penolakan Pengembangan Situs (Gertak Paus) untuk upaya pengembalian batas situs seperti SK Mendikbud tahun 1977.

“Akibat perluasan situs ini warga tidak bisa memanfaatkan tanah mereka dengan maksimal karena dibatasi,” kata Wagimin.

Kepala Desa Wonosari, Waluyo, juga menuntut agar luas situs dikembalikan menjadi 47 km persegi seperti yang diakui UNESCO. Menurutnya, warga yang terdampak perluasan situs selalu dibayangi ketakutan saat akan memanfaatkan tanah mereka.

“Buat bangunan permanen tidak bisa, yang diperbolehkan katanya yang semipermanen. Bagaimana masyarakat bisa sejahtera sementara tanah di sana adalah tanah tandus yang tidak produktif untuk pertanian.”

Kades Sambirejo, Pri Handoko, juga menolak batas situs Sangiran yang lebih luas itu. “Walaupun dikasih kompensasi Rp1 miliar, kami tetap menolak.”

Sementara itu, desa di zona inti situs Sangiran menuntut adanya kesejahteraan bagi warga dengan adanya situs dan museum Sangiran. Kades Dayu, Sumarno, menjelaskan selama ini warga Dayu di zona inti situs Sangiran sudah berusaha taat melakukan kewajiban dengan selalu melaporkan temuan fosil kepada instansi berwenang.

Hla sekarang kami menuntut hak warga. Tolong hak masyarakat saya diperhatikan. Warga sudah berusaha bayar pajak tepat waktu tapi mau membuka usaha dilarang membuat bangunan permanen, mengeruk tanah agar bisa jadi sumber penghidupan enggak diperbolehkan.”

Kepala Bagian Hukum Setda Karanganyar, Zulfikar Hadidh, menuturkan persoalan kesejahteraan warga sekitar Sangiran berkaitan dengan masalah zonasi dan aturan pemanfaatan masing-masing zona. “Sejauh ini kami di daerah belum pernah tahu bagaimana zona dan aturan pemanfaatannya atau karakteristik kegiatan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan di masing-masing zona.”

Direktur Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman Kemendikbud, Harry Widianto, menjelaskan masalah pengembangan kawasan sekitar Sangiran seolah-olah hanya menjadi tugas Kemendikbud. Padahal, pada 2009, telah dilakukan MoU antara Kemendikbud, Pemprov Jateng, Pemkab Karanganyar, dan Pemkab Sragen.

MoU ini akan ditinjau lagi untuk dimintai komitmennya kembali. “Seingat kami, Kemendikbud hanya berwenang membangun museum termasuk membuat cluster di kawasan situs, sementara untuk pemberdayaan dan promosi pariwisata menjadi tugas pemprov, sedangkan pembangunan infrastruktur menjadi tugas pemerintah daerah.”

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya