SOLOPOS.COM - Masjid Gedhe Kauman Sragen. (Solopos.com/Moh Khodiq Duhri)

Solopos.com, SRAGEN — Ada empat masjid kuno di Kabupaten Sragen, Jawa Tengah yang bernilai sejarah penting. Tidak hanya menjadi simbol syiar Islam di Tanah Jawa, keberadaan masjid kuno itu juga berhubungan erat dengan perjuangan ulama di Tanah Air dalam melawan penjajah Belanda.

Berikut Solopos.com sajikan empat masjid kuno yang memiliki nilai sejarah penting di Sragen:

Promosi Pegadaian Resmikan Masjid Al Hikmah Pekanbaru Wujud Kepedulian Tempat Ibadah

Masjid Mujahidin Bulu

Masjid Mujahidin Bulu berdiri pada 1829 tepatnya saat pecah Perang Jawa antara pasukan Pangeran Diponegoro dengan pasukan Belanda pada 1825-1830. Masjid yang berlokasi di Dukuh Bulu, Desa Karanganyar, Sambungmacan ini dibangun oleh pengikut Pangeran Diponegoro bernama Imam Syafi’i.

Pengikut setia Pangeran Diponegoro itu berhasil melarikan diri dari kejaran pasukan Belanda dan bersembunyi di Dukuh Bulu. Tempat persembunyiaan Imam Syafi’i itu kemudian dibangun masjid dan sebuah gubuk sebagai tempat tinggal. Di gubuk itu, Imam Syafi’i turut menyiarkan agama Islam kepada warga sekitar.

Masjid Mujahidin Bulu pernah beberapa kali dipugar. Namun, konon beduk dan mimbar yang dipakai khatib buat khutbah pada Salat Jumat masih asli atau diklaim sudah ada sejak kali pertama masjid itu dibangun.

“Di belakang masjid itu ada makam Imam Syafi’i, pengikut Pangeran Diponegoro. Bagian kubah ada logo bulan dan bintang. Di samping masjid ada jembatan yang Dukuh Maron-Dukuh Bulu di Desa Karanganyar,” ujar Amin, 63, warga setempat kala berbincang dengan Solopos.com belum lama ini.

Masjid Gedhe Kauman

Masjid Besar Kauman menjadi tempat bersejarah yang menjadi saksi masuknya agama Islam ke Bumi Sukowati. Masjid yang berlokasi di Kampung Kauman, RT 26/RW 08, Kelurahan Sragen Wetan, Sragen. Masjid kuno di Sragen ini didirikan KH Hasan Zainal Mustofa pada 1826.

Hasan Zainal Mustopa merupakan salah satu tokoh penyebar agama Islam di Bumi Sukowati asal Jawa Timur. Bangunan fisik dari Masjid Besar Kauman sudah mengalami banyak perombakan.

Masjid Besar Kauman Sragen kental dengan tradisi budaya Nahdliyin. Masjid ini rutin dipakai untuk kegiatan zikir tahlil dengan pengajian umum setiap malam Jumat dan Minggu pagi. Bagi yang ingin menjalankan Salat Tarawih dan Salat Witir di Bulan Ramadan dengan 23 rekaat, bisa datang ke Masjid Kauman Sragen. Tradisi Nahdliyin juga tampak dalam kegiatan Salat Jumat yang memakai dua kali panggilan azan.

“Disebut Masjid Kauman karena dulu masjid itu menjadi tempat tinggal kaum santri yang belajar agama Islam. Ini sama persis dengan Masjid Kauman Masaran. Dulu, dua masjid itu memang digunakan untuk kepentingan menyebarkan agama Islam di Bumi Sukowati,” terang Kasi Cagar Budaya dan Permuseuman, Disdikbud Sragen, Anjarwati Sri Sayekti, kepada Solopos.com pada pertengahan 2019 silam.

Meski menjadi salah satu masjid tertua di Sragen, Masjid Besar Kauman tidak ditetapkan sebagai benda cagar budaya (BCB). Hal ini karena bangunan arsitektur dari masjid ini sudah berubah total sejak direnovasi pada 2014 silam.

Masjid Jami Kaliyoso Jogopaten

Masjid Jami Kaliyoso Jogopaten berlokasi di Kaliyoso, Desa Jetiskarangpung, Kecamatan Kalijambe, Sragen. Masjid kuno yang didirikan oleh Bagus Turmudhi bergelar Kiai Abdul Jalal 1 ini sudah ditetapkan sebagai benda cagar budaya (BCB) oleh Disdikbud Sragen pada 2018 silam.

Di dalam masjid terdapat 12 saka guru. Menariknya, salah satu saka guru itu sengaja dibuat dengan konstruksi miring. Masjid ini dibangun pada tanah pemberian PB IV.

“Ke-12 saka guru, pintu utama, mimbar kayu dan lain-lain merupakan pemberian PB IV. Di salah satu saka guru, dekat mimbar, terdapat sebuah pusaka berupa tombak pemberian PB IV,” papar Kasi Sejarah dan Tradisi, Disdikbud Sragen, Johny Adhi Aryawan, kepada Solopos.com, Selasa (7/9/2021).

Pada masa kolonial Belanda, Masjid Jami Jogopaten menjadi pusat pengembangan agama Islam. Seorang pejuang bernama Syech Imam Tabbri pernah berlindung di Blagungan, yang masuk Perdikan Kaliyoso, setelah dikejar-kejar pasukan Belanda. Di Perdikan Kaliyoso ini, Syech Imam Tabbri disambut hangat oleh para ulama yang menjadi pengikut setia dari Pangeran Diponegoro.

“Karena masuk wilayah perdikan, para ulama pejuang cenderung aman bersembunyi di Kaliyoso. Siapa sosok Syech Imam Tabbri pernah dikupas dalam Dialog Budaya Sragenan yang digelar Disdikbud Sragen di Masjid Kalioso Jogopaten pada 12 Juli lalu,” jelas Johny.

Masjid Sepuh Ki Ageng Butuh

Di wilayah Gedongan, Plupuh, Sragen terdapat Masjid Sepuh Ki Ageng Butuh atau lebih dikenal dengan nama Masjid Butuh. Lahan masjid itu menjadi bagian dari lahan milik Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat dengan total luas 4.225 m2.

Terdapat lahan permakaman umum seluas 1.673,5 m2, dan permakaman khusus kerabat Ki Ageng Butuh seluas 380 m2. Sisanya untuk parkir dan perumahan juru kunci seluas 995,5 m2.

Bangunan utama masjid berbentuk tajuk dengan kubah di bagian puncaknya. Bangunan serambi masjid berbentuk limasan. Struktur bangunan menggunakan kerangka kayu jati. Soko guru masjid terdiri atas empat pilar setinggi 6 meter dengan ukuran sisi 30 cm.

Empat soko guru itu dikelilingi 12 pilar dengan ukuran tinggi 4 meter dan setiap sisinya 25 cm. Belasan pilar itu terhubung ke empat soko guru dan saling mengunci.

masjid kuno sragen
Masjid Ki Ageng Butuh Sragen. (Solopos/Tri Rahayu)

Di sebelah utara tempat imam salat terdapat mimbar tua terbuat dari kayu berukir. Model mimbar itu seperti model mimbar di Masjid Agung Surakarta atau Masjid Al Wustho Mangkunegaran, Solo. Di bagian atas pintu mimbar terdapat tulisan Arab melengkung yang di tengahnya ada angka tahun berangka Arab pula, 1852.

Ketua Takmir Masjid Butuh,  Muh. Aziz, 40, menyampaikan angka tahun itu merupakan tahun Masehi sebagai penanda mimbar itu ada di Masjid Butuh, yakni 1852 Masehi.

“Mimbar itu memang pemberian dari Keraton Surakarta pada masa pemerintahan Paku Buwono VII,” ujar Aziz saat berbincang dengan Solopos.com, pada April 2021 lalu.

Aziz mengungkapkan bangunan masjid saat ini merupakan bangunan hasil rehab pada masa pemerintahan PB VII. Bangunan masjid yang asli buatan Ki Ageng Butuh pada sekitar awal abad XVI atau sekitar tahun 1500-an Masehi setelah dia meninggalkan Keraton Pengging di wilayah Pengging, Banyudono, Kabupaten Boyolali.



Masjid tersebut terletak di pinggir Bengawan Solo, hanya berjarak 50 meter dari bibir sungai. Di masjid itulah, kata Aziz, Ki Ageng Butuh menyebarkan agama Islam kepada para penduduk di wilayah Dukuh Butuh. Aziz meyakini Masjib Butuh menjadi bukti syiar Islam oleh Ki Ageng Butuh yang membangunnya pada tahun 1500-an Masehi.

“Pada 1966, masjid ini mendapat perbaikan lagi.  Yang membangun para peziarah,” ujar Aziz.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya