SOLOPOS.COM - Dua pekerja mencap kain batik di salah satu industri batik Desa Pilang, Kecamatan Masaran, Sragen. (Istimewa-Vicky Amin)

Solopos.com, SRAGEN -- Akumulasi utang para pengrajin batik di Desa Pilang, Kecamatan Masaran, Sragen, selama dihantam pandemi Covid-19 mencapai angka yang fantastis yakni Rp3 miliar.

Persoalan utang itu diungkapkan salah satu pengusaha batik asal Pilang, Kecamatan Masaran, Sragen, Sugiyamto. Sugiyamto mengakui dampak pandemi Covid-19 terhadap bisnis usaha batik sangat mengerikan.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Hal itu karena batik menjadi kebutuhan ke sekian yang terpinggirkan dari masyarakat. Masyarakat lebih memilih menunda belanja batik demi menjaga kebutuhan pangan tetap tercukupi.

Hari Ini Dalam Sejarah: 29 September 522, Darius Kuasai Persia

“Karena pedagang yang disetori batik dari pengrajin itu tak bisa menjual barang, maka cek dan giro tidak bisa dicairkan. Tidak ada perputaran uang di sana. Para pengrajin ini sudah menagih pencairan cek dan giro itu kepada pedagang, tapi tidak bisa," ungkap dia, Senin (28/9/2020).

Dia menambahkan pihak bank pun mengizinkan penundaan pencairan cek dan giro itu selama 3-5 bulan.

"Saat ditagih, para pedagang itu malah mengancam mau mengembalikan barang yang telanjur dibawa karena tidak laku dijual. Padahal, kalau barang kembali nanti akan kesulitan lagi cari pedagang yang bisa memasarkan barangnya,” papar Sugiyamto.

Kacamata John Lennon Dilelang di London, Masih Ada Memorabilia Lain The Beatles

Karena cek dan giro tidak bisa dicairkan, para pengrajin kebingungan untuk menutup utang. Padahal, pencairan cek dan giro itu sedianya akan dipakai pengrajin untuk membayar bahan kain dan obat pewarna.

Membeli Kain dan Obat

Pemilik usaha kain dan obat pewarna pun terkena dampak akibat turunnya daya beli terhadap batik. Bahkan, berdasar informasi yang diterima Sugiyamto, akumulasi utang sekitar 90 pengrajin batik di Desa Pilang untuk membeli kain dan obat mencapai sekitar Rp3 miliar.

"Kebetulan pemilik usaha toko obat [pewarna kain] itu dekat rumah saya. Biasanya para pengrajin batik baik skala besar atau kecil ambil obat di sana. Pengrajin batik ini juga bayarnya pakai cek dan giro. Total tunggakan utangnya sampai Rp3 miliar," ucap Sugiyamto.

Peneliti China Sebut Radiasi Bulan 200 Kali Bumi, Apa Manfaatnya?

Karena menanggung banyak utang, kata Sugiyamto, para pengrajin batik rela menjual barang-barang berharga, termasuk tanah. Mereka juga menghentikan proses produksi karena batik yang sudah disetor kepada pedagang belum laku terjual.

"Sebelumnya para pengrajin memperkirakan pandemi akan terjadi selama 3-4 bulan. Ternyata, sampai sekarang malah berkelanjutan. Belum tahu sampai kapan akan berakhir," papar Sugiyamto.

10 Berita Terpopuler : ASN Sukoharjo Dilaporkan ke Bawaslu

Pada tiga bulan pertama, dampak terjadinya pandemi amat dirasakan para pengrajin batik. Sugiyamto mengakui omzet penjualan batik pada tiga bulan pertama turun drastis di angka 5-10% dari 100% penjualan sebelum terjadi pandemi.

"Sekarang omzetnya turun di angka 20% dari 100% penjualan sebelum pandemi. Itu lebih baik daripada tiga bulan pertama. Tapi, kini malah dihantam lagi oleh PSBB [pembatasan sosial berskala besar] di Jakarta," terang Sugiyamto.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya