SOLOPOS.COM - Ilustrasi menghitung rupiah. (Rachman/JIBI/Bisnis)

Ekonom senior Faisal Basri mengungkapkan Indonesia dalam kondisi tidak aman mengingat jumlah utang yang sangat besar.

Solopos.com, JAKARTA — Ekonom Senior Indef Faisal Basri berpendapat utang pemerintah makin mengkhawatirkan, karena komposisi utang memberatkan beban yang ditanggung negara.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

“Jangan kaget kalau bunga utang pemerintah itu lebih tinggi, [karena komposisi utang pemerintah lebih bersandar pada SBN],” katanya dalam acara diskusi Indef, di Jakarta, Rabu (21/3/2018).

Berdasarkan paparannya, pada 2010 utang pemerintah dalam bentuk SBN hanya 36,3% dan utang dalam bentuk pinjaman luar negeri 63,7%. Sementara itu, pada 2010 utang dalam bentuk SBN meningkat menjadi 67,4% dan utang dalam bentuk pinjaman luar negeri 32,6%.

Menurut Faisal, komposisi utang tersebut tidak sama sekali aman seperti yang pemerintah sering sebutkan. Ada beberapa kondisi yang membuat situasi ini lebih kompleks daripada yang dijelaskan pemerintah. Baca juga: Utang Tembus Rp4.000 Triliun & Pelemahan Rupiah, Pemerintah Yakin Bisa Bayar.

Pertama, suku bunga yang dibayar pemerintah pada SBN jauh lebih tinggi dibandingkan pinjaman luar negeri dari organisasi internasional atau negara manapun. Bunga yang ditetapkan dalam SBN selalu meningkat dalam 3 tahun terakhir ini, yakni pada 2015 (8,6%), 2016 (9,8%), dan 2017 (10,9%).

Kedua, jangka waktu yang ditentukan dalam SBN jauh lebih pendek dibandingkan jangka waktu yang ditentukan dalam pinjaman luar negeri (PLN).

Ketiga, persayaratan dalam PLN jauh lebih rigid dibandingkan SBN. Artinya, proyek yang akan dibiayai oleh utang tersebut akan terjamin keberhasilannya, karena melalui proses audit yang lebih detail. Baca juga: Tembus Rp4.000 Triliun, Utang Indonesia Baru Lunas 9 Tahun Lagi.

“Kalau SBN itu kita bebas merdeka mau menggunakannya untuk segala hal, [yang mana dapat berujung pada ketidaktelitian dalam penjaminan keberhasilan proyek],” imbuhnya.

Keempat, SBN yang sangat mudah didapatkan berimbas pada perencanaan penggunaan utang yang kurang matang dan penurunan transparansi.

Kelima, SBN dapat menimbulkan dampak crowding out. Maksudnya, pemerintah meminjam dana dari negara lain untuk membiayai pengeluaran pemerintah biasanya melalui kebijakan fiskal ekspansif.

Sementara itu, jika menggunakan PLN, utang hanya akan diarahkan pada proyek yang memiliki multiplier effect yang tinggi. Adapun, kecenderungan crowding out pemerintah dapat dilihat dari yield yang ditawarkan pemerintah dalam SBN-nya lebih tinggi dibandingkan SBN negara yang memiliki rating yang sama.

Keenam, penggunaan SBN akan membuat kondisi makro ekonomi semakin tidak stabil karena pondasi ekonomi disandarkan pada keadaan pasar yang selalu fluktuatif. “Jadi kalau dulu menyandera diri sendiri ke negara donor, sekarang ke pasar. Sedangkan pasar sama sekali tidak bisa kita kendalikan,” imbuhnya.

Selain itu, Faisal juga mengomentari penerimaan pajak yang tak kunjung baik. Keadaan tersebut akan membuat pemerintah makin kesulitan untuk membayar utang-utangnya. Baca juga: Utang Rp4.035 Triliun, Amankah Indonesia?

Berdasarkan laporan Kementerian, tax ratio non migas plus PPh migas pada 2012 (10,15%), 2013 (10,14%), 2014 (9,76%), 2015 (9,1%), 2016 (8,9%), dan 2017 (8,4%).

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya