SOLOPOS.COM - Ilustrasi aktivitas Pelabuhan Peti Kemas Tanjung Priok Jakarta (Dwi Prasetya/JIBI/Bisnis)

Utang luar negeri perusahaan-perusahaan Indonesia dan Malaysia sudah mengkhawatirkan. Nilainya terbesar pasca-krisis moneter 1997.

Solopos.com, JAKARTA — Kecenderungan sejumlah negara di Asia Tenggara dalam mengajukan utang luar negeri diperkirakan akan berdampak negatif selama bertahun-tahun ke depan. Pasalnya perusahaan akan terbebani oleh pembayaran obligasi yang disertai oleh merosotnya mata uang domestik pada masa mendatang.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Perusahan-perusahaan di Indonesia, Malaysia, Filipina dan Thailand tercatat telah menjual obligasi sebesar 38% pada tahun ini, naik dibandingkan tahun lalu yang hanya mencapai 27%. Bloomberg dalam surveinya memperkirakan, akibat dari kebijakan itu, perusahaan di negara-negara tersebut harus terbebani pembayaran obligasi dalam bentuk dolar AS, yen, dan euro sebesar US$45 miliar selama lima tahun mendatang.

Kondisi tersebut akan memecahkan rekor yang terjadi setelah krisis moneter Asia 1997. Kala itu, ekonom Barry Eichengreen dan Ricardo Hausmann menciptakan istilah “dosa asal” untuk menggambarkan bahaya pinjaman luar negeri.

Ekspedisi Mudik 2024

Dalam survei Bloomberg, rupiah di Indonesia akan turun 4,3% pada akhir tahun depan dan ringgit Malaysia kehilangan 1,6% pada periode yang sama. Situasi tersebut juga akan diperparah oleh suku bunga AS yang akan lebih tinggi, pelemahan harga komoditas, dan kondisi ekonomi Tiongkok yang tidak akan menunjukkan tanda-tanda perbaikan.

Indeks Bank of America Merrill Lynch’s Original Sin menunjukkan, kerentanan Indonesia akan berada pada tingkat yang tertinggi dalam satu dekade. Sementara itu, kerentanan Malaysia akan meningkat dua kali lipat dari posisi saat ini setelah pemerintah setempat berpaling ke pasar utang global untuk mengisi cadangan devisa negara.

“Kami memperkirakan indeks Original Sin akan kembali meningkat pada 2016. Hal itu didukung oleh kondisi keuangan global yang semakin ketat, yang disertai dengan surutnya arus modal yang masuk ke negara Asia Tenggara,” kata Hak Bin Chua, ekonom Bank of America, Selasa (15/12/2015).

Total pinjaman luar negeri, yang dikumpulkan dari perusahaan di empat negara berkembang terbesar di Asia Tenggara pada tahun ini telah mencapai US$12,3 miliar. Kondisi tersebut menambah rekor tujuh tahun pesta pinjaman luar negeri di kawasan ini, sejak the Federal Reserve mulai menerapkan suku bunga acuan mendekati nol.

Perusahaan-perusahaan asal Malaysia telah mengumpulkan pinjaman US$6,6 miliar pada 2015. Nilai tersebut menjadi yangpaling tinggi pada tahun ini di kawasan Asia Tenggara. Sementara itu, perusahaan-perusahaan Indonesia berada di posisi kedua dengan jumlah total pinjaman mencapai US$3,3 miliar.

Seluruh perusahaan tersebut dijadwalkan untuk membayar pinjaman tersbeut sebesar US$5,6 miliar pada 2016, US$10,3 miliar pada 2017, US$ 7,8 miliar pada 2018, US$12 miliar pada 2019 dan US$ 8,8 miliar pada 2020. Ringgit dan rupiah adalah dua mata uang berkinerja terburuk di Asia tahun ini, dengan kerugian masing-masing 19% dan 12%. Kemerosotan harga komoditas telah merugikan ekspor kedua negara ini. Peso Filipina melemah 5,7% dan baht Thailand turun 8,8%.

Sementara itu cadangan mata uang internasional Filipina dan Thailand sebagian besar telah stabil tahun ini. Malaysia justru tercatat merosot 19% menjadi US$ 94,6 miliar dan Indonesia menyusut 10,4% menjadi US$100,2 miliar.

“Keduanya menonjol di Asia-Pasifik karena memiliki likuiditas eksternal yang lebih lemah, sehingga mereka berpotensi terkena dampak kenaikan paling parah akibat kenaikan suku bunga The Fed,” kata Andrew Colquhoun, Kepala analis Fitch Ratings, Senin (15/12).

Fitch Rating memeproyeksikan, profil kredit kedua negara ini akan cenderung stabil, karena langkah strategis keduanya di sektor moneternya. Malaysia berencana meningkatkan pajak penjualan mereka tahun ini, untuk menambah keuangan dalam negeri. Sementara itu Indonesia akan menjaga kebijakan moneternya yang ketat, demi memperlambat permintaan impor serta mempersempit current account deficit-nya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya