SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Solopos.com, SUKOHARJO–Deretan genteng memenuhi halaman rumah-rumah penduduk kala memasuki wilayah kampung Nandan, Desa Demakan, Kecamatan Mojolaban, Minggu (6/1/2019).

Genteng ini diletakkan berjajar tak hanya di halaman rumah, namun juga memenuhi pinggir-pinggir jalanan kampung. Hampir di tiap rumah pun terlihat aktivitas warga dari tengah mengolah tanah liat, mencetak hingga membakar genteng di tobong. Seolah mereka tak mengenal hari libur, para warga tetap beraktivitas memproduksi genteng.

Promosi Lebaran Zaman Now, Saatnya Bagi-bagi THR Emas dari Pegadaian

Seperti yang dilakukan pasangan suami-istri, Sunardi, 50 dan Muslikhah, 47 pagi itu. Mereka mencetak satu per satu genteng dengan menggunakan alat cetak. Sang istri memutar alat dan mencetak, sedangkan Sunardi merapikan dan mengangkat hasil cetakan lalu menatanya di rak kayu. Industri kecil dan rumah tangga dalam pembuatan genteng ini merupakan warisan turun temurun yang sudah digelutinya sejak 20 tahun silam.

“20 tahun lebih sudah memproduksi genteng. Produksi genteng ini tergantung cuaca, jika cuacanya bagus sehari bisa 400-an genteng. Kalau tidak panas ya paling hanya 200-an genteng,” katanya ketika berbincang dengan Solopos.com, Minggu (6/1/2019).

Sama halnya bisnis industri kecil lain, produksi genteng miliknya juga mengalami pasang surut. Kondisi ini dipengaruhi berbagai faktor, selain permintaan konsumen, cuaca juga ketersedian bahan baku untuk pembuatan genteng. Beruntung sejauh ini ketersediaan bahan baku berupa tanah liat sangat berlimpah. Bahan baku bagi para pengrajin genteng di wilayahnya sebagian besar  dipasok dari wilayah Mulur, Bendosari, Sukoharjo.

“Bahan baku tidak ada masalah. Kendala utamanya hanya cuaca saja. Kalau cuacanya bagus ya hasilnya berlimpah,” katanya.

Pengrajin genteng lain sekaligus Ketua RW 009 Kampung Nandan, Desa Demakan, Mojolaban, Suparno, 41, mengatakan industri genteng tanah liat masih eksis hingga saat ini. Daerah Nandan memang selama ini dikenal sebagai salah satu sentra penghasil genteng, bahkan dari luar daerah banyak yang membeli di sini.

“Hampir 90 persen penduduk di sini adalah pengrajin genteng, sehingga Nandan dikenal sebagai sentra genteng sejak puluhan tahun lalu,” katanya.

Kerajinan ini menjadi keahlian turun temurun, sehingga tetap terjaga sampai di masa modern saat ini. Meski harus bersaing dengan genteng hasil pabrikasi yang menggunakan genteng sintetis, spandek dan asbes. Dia sendiri menggeluti kerajinan genteng ini sejak  masih bujang.

“Sudah dari tahun 1992 saya produksi genteng. Rata-rata dalam sebulan pendapatan dari hasil penjualan genteng bisa Rp10 juta lebih,” katanya.

Produksi genteng yang telah lama berjalan di kampung Nandan ini telah menjadi salah satu potensi desa diperhitungkan. Warga mengandalkan pendapatannya dari hasil industri genteng tersebut. Pemasarannya pun kini telah menembus lintas provinsi karena memiliki harga pasaran yang lebih murah di banding harga genteng di wilayah lain. Genteng tersebut dibanderol dari Rp 900 hingga Rp1.300 per buahnya. Karena harga yang relatif lebih murah ini sehingga cukup banyak diminati untuk penggunaan oleh masyarakat lokal. Sebagai salah satu potensi desa, tentunya akan lebih baik jika proses produksi di pabrik genteng tersebut didukung oleh peralatan yang lebih modern agar mampu meningkatkan produktivitas, terutama dalam sistem pengeringan genteng yang masih dilakukan secara manual sehingga memerlukan waktu tunggu yang lebih lama jika dibandingkan menggunakan ruangan khusus.

“Butuh waktu minimal dua hari untuk dijemur. Belum kalau cuacanya mendung dan hujan, bisa lebih lama lagi,” katanya.  

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya