Solo (Solopos.com) –Pegiat penanganan konflik dan pascakonflik Noor Huda menyatakan penanganan terorisme dan pencegahannya tidak bisa begitu saja diserahkan kepada aparat keamanan. Masyarakat sipil dengan berbagai lembaganya harus terlibat aktif dalam upaya rehabilitasi orang-orang yang pernah terlibat dalam konflik yang bisa mengarah kepada aksi radikalisme itu.
Promosi Kecerdasan Buatan Jadi Strategi BRI Humanisasi Layanan Perbankan Digital
Hal ini diungkapkannya dalam dialog mengenai deradikalisasi yang digelar SOLOPOS dan Solopos FM di Griya Solopos, Kamis (20/10/2011). Noor Huda yang juga menulis buku Temanku Teroris ini menyatakan, tantangan terbesar adalah bagaimana menangani orang-orang yang terpapar konflik setelah mereka keluar dari konflik itu. Mereka ini harus dipahami kondisi kejiwaan mereka agar tidak membawa dendam dan trauma ke masyarakat.
“Orang biasanya mudah menganggap semuanya teroris, seperti orang yang menganggap semua penyakit adalah masuk angin,” katanya. Dirinya mencontohkan cap-cap yang biasa dilekatkan pada kelompok-kelompok tertentu bahwa mereka adalah teroris. Padahal mungkin hanya ada beberapa orang saja yang sebenarnya merupakan kelompok sakit hati.
“Bagi orang yang terlibat langsung atau menjadi korban konflik, kelompok yang dicap sebagai teroris itu justru bukan seperti itu karena merekalah yang menjadi pelindung atau pembela warga setempat yang menjadi korban konflik,” ujar alumnus Ponpes Ngruki ini.
Pembicara lain, pengasuh Ponpes Al Muayyad Windan, Sukoharjo, Dian Nafi’, menyatakan jurnalisme damai sangat penting diterapkan untuk membuat masyarakat lebih memahami konflik yang ada. “Laporkan segala sesuatu dari sudut korban, bukan dari sisi pelaku sehingga media tidak terkesan memanas-manasi,” tegasnya.
bas