SOLOPOS.COM - Dian Yuanita W. (Istimewa/Dokumen pribadi)

Solopos.com, SOLO -- Kontroversi panjang tentang ekspor benih lobster di Indonesia menemui babak baru. Tempo hari Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo ditangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atas dugaan korupsi dalam pengaturan dan praktik ekspor benih lobster.

Penangkapan tersebut seolah-olah memberi ruang refleksi pada kita tentang keputusan Edhy membuka keran ekspor benih lobster pada Mei 2020 lalu. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat sejak ekspor benih lobster dibuka terjadi lonjakan ekspor mencapai senilai US$6,43 juta atau Rp 94,5 miliar (kurs Rp14.700) pada Agustus 2020.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Negara tujuan ekspor benih lobster yang utama adalah Vietnam senilai US$6,43 juta dengan berat total berkisar 4.216 kilogram. Ekspor pada Agustus 2020 tersebut melejit 202,95% dibandingkan bulan sebelumnya. Hal yang menjadi perhatian banyak kalangan yaitu nilai ekspor sangat tinggi dalam beberapa bulan saja.

Syarat diizinkan mengekspor benih lobster yabng harus dipenuhi pengusaha adalah merealisasikan panen hasil budi daya secara berkelanjutan terlebih dahulu. Budi daya benih lobster membutuhkan waktu delapan bulan hingga 12 bulan.

Selain itu, pengusaha juga harus melepasliarkan hasil budi daya sebanyak 2% ke kawasan tempat benih semula ditangkap. Dalih pembukaan izin ekspor benih lobster yang diputuskan Edhy yaitu untuk menyejahterakan nelayan penangkap benih lobster di pelosok Nusantara.

Dia meyakini kebijakan tersebut dapat meningkatkan devisa karena harga jualnya berkisar Rp130.000-Rp140.000 per ekor benih dan ada banyak nelayan yang menjadi penangkap benih lobster. Sebenarnya pemikiran tersebut dapat dipatahkan dengan fakta nilai ekspor lobster dewasa yang harganya bisa mencapai Rp4 juta hingga Rp5 juta per ekor.

Edhy juga beralasan pentingnya mengizinkan ekspor yaitu hanya sekitar 1% benih lobster dari total populasi yang bisa berkembang di alam karena Indonesia belum memiliki teknologi budi daya lobster yang mumpuni.

Dengan demikian, sudah semestinya Kementerian Kelautan dan Perikanan bersama pemangku kebijakan terkait justru mempercepat pengadaan teknologi budi daya lobster, bukan terburu-buru membuka keran ekspor.

Tantangan

Berdasarkan rilis dari Food and Agriculture Organization (FAO) pada 2018, Indonesia berada di urutan keenam sebagai negara produsen lobster tangkap dunia setelah Kanada, Amerika Serikat, Inggris, Australia, Chili, dan Irlandia.

FAO mencatat selama periode 2010-2016 sekitar 96,91% produksi lobster Indonesia bersumber dari perikanan tangkap (alam) dan hanya berkisar 3,09% dari budi daya. Hal serupa juga terjadi pada total produksi lobster dunia periode 2010-2016, sebanyak 99,54% berasal dari perikanan tangkap, dari budi daya hanya menyumbang sekitar 0,46%.

Artinya, pasokan benih lobster dan lobster konsumsi secara global masih sangat bertumpu pada ketersediaan di alam. Data dari FAO itu secara implisit juga mengisyaratkan bahwa agenda ekspor benih lobster berpotensi mengancam keberlanjutan (Iife cycle) lobster di alam.

Semakin banyak benih lobster yang ditangkap, akan semakin sedikit peluang lobster tumbuh dan berkembang biak di alam, khususnya di perairan Indonesia. Lobster termasuk plasma nutfah yang harus dilindungi negara karena rentan menjadi langka.

Jika ekspor benih lobster menjadi suatu hal yang urgen, budi daya yang berkelanjutan menjadi strategi yang tidak bisa ditawar lagi. Asumsinya, jika hanya 1% benih dari total populasi yang dapat bertahan hidup di alam, budi daya lobster sangat penting dilakukan untuk mempertahankan bahkan meningkatkan populasi lobster.

Beberapa orang nelayan yang menangkap benih lobster memilih memelihara benih tersebut sampai dewasa di keramba. Sayangnya pembesara tersebut dilakukan bersamaan dengan pembesaran jenis ikan laut lainnya. Akibatnya, pembesaran lobster hanya sebagai sambilan, padahal nilainya cukup tinggi.

Berbeda halnya yang dilakukan oleh nelayan di Vietnam yang secara masif membesarkan lobster dalam satu kawasan, tidak bercampur dengan jenis ikan yang lain. Pembesaran lobster dalam satu kawasan sangat penting untuk mempermudah perawatan dan pemantauan.

Kendala yang juga sering dihadapi dalam budi daya lobster yaitu ketersediaan pakan. Sejauh ini pakan lobster masih menggunakan ikan rucah yang gizinya terbatas. Indonesia juga masih belum menguasai pembiakan buatan (artificial breeding).

Pakan maupun pembiakan buatan adalah dua hal krusial yang membutuhkan riset yang lebih dalam. Penggunaan teknologi tepat guna yang mendukung pengembangan pakan dan pembiakan buatan juga sangat penting dikaji untuk mencapai efisiensi waktu dan biaya.

Pemerintah juga seharusnya mendorong komoditas ekspor agar punya nilai tambah, tidak sekadar mengekspor komoditas mentah seperti benih. Hal tersebut dapat dimulai dengan membentuk kelompok nelayan dan memberi mereka pembekalan berupa pelatihan intensif untuk pembudidayaan lobster.

Langkah ini penting agar masyarakat dapat membudidayakan lobster yang berkualitas dan memperoleh profit margin yang lebih besar. India menjadi salah satu negara yang getol melakukan riset pembudidayaan lobster.

India betul-betul melihat peluang permintaan lobster di pasar dunia yang terus meningkat dan bernilai jual tinggi. Pembudidayaan beberapa spesies lobster seperti P. homarus, P. polyphagus, P. ornatus, P. Longipes, dan P. versicolor telah berhasil dilakukan.

Lobster dipelihara dalam sistem indukan. Kawin dan berkembang biak didukung dengan kondisi lingkungan yang optimal. Pembiakan berulang juga telah dilaporkan berhasil di negara tersebut. Berkaitan dengan konteks ini, sepertinya Indonesia perlu belajar banyak dengan India.

Tidak Kompetitif

Pembukaan keran ekspor benih lobster mulai memberi disrupsi pada kondisi sosial budaya masyarakat pesisir. Beberapa media memberitakan alih pekerjaan tengah terjadi. Nelayan yang semula menangkap ikan lebih memilih menangkap benih lobster.



Sebagian masyarakat yang dulu bertani diberitakan mulai banyak yang mendaftar menjadi nelayan penangkap benih lobster. Tanpa disadari hal tersebut dapat menimbulkan ketidakpastian mulai dari harga hingga ketersediaan benih lobster di alam.

Orang juga akan mulai enggan membudidayakan lobster karena tidak sebanding dengan waktu dan biaya yang dikeluarkan. Ekspor benih tidaklah kompetitif untuk nelayan penangkap, daya saing usaha lobster, maupun devisa negara.

Ekspor benih dalam jangka panjang berpeluang memicu terjadinya kebocoran ekonomi dan kehilangan potensi lapangan kerja. Alih-alih mempercepat ekspor, akselerasi budi daya lobster justru lebih urgen, khususnya dalam konteks penyerapan tenaga kerja yang berkelanjutan pada masa pandemi ini.

 

 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya