SOLOPOS.COM - Tampilan depan Bringinan Mart I yang ada di perkampungan Bringinan, Kecamatan Jambon, Kabupaten Ponorogo. Toko ini menjadi salah satu unit usaha Bumdes Margo Mulyo yang dimiliki Desa Bringinan, Rabu (21/10/2020). (Abdul Jalil/Madiunpos.com)

Solopos.com, PONOROGO-- Jaimun sedang menunggu air kolam yang berisi ratusan ekor ikan lele terkuras di halaman rumahnya di Desa Bringinan, Kecamatan Jambon, Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur, Selasa (6/10/2020) sore.

Ada tiga kolam ikan lele yang sore itu dikuras dan siap dipanen. Jaimun berjalan berlahan-lahan menggunakan alat bantu kruk mengecek satu per satu kolam ikan tersebut. Sesekali pria bertubuh gempal ini menggunakan seser untuk mengambil sampah yang ada di kolam.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Dua pria yang akan membeli panenan ikan lele juga telah bersiap mengangkutnya dengan mobil pikap. Ikan-ikan tersebut akan dijual ke pasar-pasar di Ponorogo.

Kolam ikan tersebut sebenarnya bukan milik Jaimun pribadi. Ia hanya dipekerjakan oleh desa untuk mengelolanya. Pemerintah desa setempat melalui badan usaha milik desa memberikan pekerjaan untuknya melalui budidaya ikan lele itu.

Pria berusia 45 tahun itu menjadi salah satu warga difabel yang diberdayakan desa. Sebelumnya Jaimun merupakan seorang Pekerja Migran Indonesia (PMI) di Malaysia.

Kepada Solopos.com, Jaimun bercerita dirinya menjadi PMI sebagai buruh di perkebunan sawit di negara jiran Malaysia selama enam tahun. Mulai tahun 1991 hingga 1996.

“Saya pulang ke Indonesia itu tahun 1996. Saat itu mau mengurus permit [izin resmi]. Setelah dapat permit, saya berencana balik lagi ke Malaysia,” katanya.

Namun, nasib berkehendak lain. Sekitar bulan April 1996, ia menuju ke Pacitan dengan kendaraan untuk suatu urusan. Tetapi di perjalanan, ia mengalami kecelakaan hebat. Hingga menyebabkan satu kakinya terpaksa diamputasi. Rencananya untuk kembali ke Malaysia pun pupus. Sejak itu, ia hanya di rumah. Dan mengerjakan apapun yang bisa dikerjakan.

Jaimun mengingat pilihannya untuk bekerja ke Malaysia merupakan pilihan terbaik kala itu. Alasannya jelas untuk memperbaiki perekonomian keluarga dan membantu orang tua. Dengan ijazah sekolah dasar (SD), ia psimistis untuk mendapatkan pekerjaan jika hanya berada di rumah.

“Saat itu nyari pekerjaan di Malaysia itu kan sudah bagus. Banyak warga desa sini yang bekerja di sana. Nyari kerja di Indonesia sulit. Apalagi hanya lulusan SD,” kenangnya.

Sejak kakinya diamputasi sampai tahun 2017, Jaimun hanya bekerja serabutan. Apapun dikerjakan. Supaya dapur di rumahnya bisa tetap mengebul.
Baru pada 2018, Pemerintah Desa Bringinan menawarkan program budidaya lele kepadanya. Tawaran itu langsung diiyakan. Pada awal-awal itu, kolam ikan lele hanya dibuat menggunakan terpal saja. Ada sekitar 8.000 bibit ikan lele yang disebar saat itu.

Setelah usaha itu menunjukkan hasil, pemerintah kemudian membuatkan lima kolam ikan permanen. Masing-masing kolam yang berbentuk lingkaran itu berdiameter tiga meter dan kedalaman 110 cm. Satu kolam diisi 3.000 bibit. Saat panen, satu kolam bisa menghasilkan hingga 200 kg. “Pakan ikan dan semuanya dari pemerintah. Saya hanya mengelolanya saja,” ujarnya.

Untuk pembagian hasil, pria tersebut mendapatkan 10% dari total nilai penjualan. Dalam setahun, kolam itu diisi tiga kali pembibitan.
Meski hasilnya kecil, ia mengaku bersyukur karena diberdayakan oleh desa. Selain itu, juga bisa menjadi penopang hidup.

Beberapa tahun terakhir, Pemerintah Desa Bringinan memang sedang gencar-gencarnya membikin program pemberdayaan bagi purna PMI maupun keluarga PMI.
Cerita serupa disampaikan eks PMI lainnya, Sarni, 39. Warga Desa Bringinan ini sejak 1998 sudah mengadu nasib ke negeri jiran sebagai buruh di perkebunan sawit. Sama seperti Jaimun, Sarni merantau ke Malaysia juga karena persoalaan ekonomi. Mencari pekerjaan saat itu sulit, apalagi dengan ijazah sekolah rendah. Ia mengingat 15 tahun mencari rezeki di negeri orang.

“Sudah 15 tahun kerja di Malaysia. Ya pulang ke Indonesia, terus balik lagi ke Malaysia. Berkali-kali. Kalau duitnya sudah habis kembali lagi ke sana,” katanya, Rabu (21/10/2020).

Bapak yang memiliki anak satu ini kembali lagi ke Malaysia karena merasa bekerja di sana lebih mudah. Meskipun harus berjauhan dengan keluarga. Ia memantapkan niat untuk tidak kembali lagi ke luar negeri pada 2013.

Tidak Mudah

 

Seorang eks PMI, Jaimun, memanen ikan lele di kolam halaman rumahnya, Desa Bringinan, Kecamatan Jambon, Kabupaten Ponorogo, Selasa (6/10/2020). (Abdul Jalil/Solopos.com)
Seorang eks PMI, Jaimun, memanen ikan lele di kolam halaman rumahnya, Desa Bringinan, Kecamatan Jambon, Kabupaten Ponorogo, Selasa (6/10/2020). (Abdul Jalil/Solopos.com)

Dengan modal dari hasil bekerja di Malaysia, ia menggunakannya untuk menyewa sawah. Perjalanannya mencari nafkah di kampung halaman memang tidak mudah. Desanya memang termasuk desa kering yang hanya mengandalkan tadah hujan. Tak jarang, ia pun harus gigit jari karena sawahnya gagal panen.

Tetapi, kata pria yang kini menjadi Ketua Komunitas Pekerja Migran Indonesia (KOPI) Bringinan ini, kekurangan air di persawahan kini hanya menjadi cerita saja. Hal itu setelah pemerintah desa membangun sumur terintegrasi yang mengaliri areal persawahan sejak 2017.

“Sumur terintegrasi ini memanfaatkan sumber sumur dalam. Saat ini sudah ada sembilan titik sumur dalam. Tiga titik di Dukuh Kedung, dua titik di Dukuh Ngasem, dan empat titik di Dukuh Dondong,” jelasnya.

Bagi Sarni, program pembuatan sumur terintegrasi ini menjadi langkah cemerlang untuk mengentas kemisikinan. Warga di desanya yang mayoritas bekerja sebagai petani justru kesulitan saat menggarap sawah mereka karena tidak ada ketersediaan air.

“Kalau dulu ya, setahun paling dua kali tanam. Itu pun yang satu kali masa tanam pasti kesulitan mencari air. Ya karena di desa sini memang hanya mengandalkan hujan. Kalau musim kemarau, sebagian sawah ada yang ditanami palawija. Tetapi setelah ada sumur terintegrasi, masa tanam bisa tiga kali. Petani juga tidak perlu kesulitan mencari air untuk kebutuhan sawah,” jelasnya sambil memperlihatkan sawah penuh tanaman kacang hijau.

Dari sembilan titik sumur itu bisa menjangkau 36 hektare lahan persawahan. Sedangkan total lahan sawah di Bringinan ada sekitar 48 hektare. Sehingga masih diperlukan dua sampai tiga titik sumur lagi supaya seluruh sawah bisa teraliri air.

Sarni yang juga dipercaya sebagai koordinator program sumur terintegrasi ini menuturkan biaya yang dibebankan kepada petani juga lebih murah yaitu hanya Rp15.000 per jam. Dengan biaya itu, petani sudah bisa mengairi sawahnya hanya dengan membuka keran yang telah dipasang pengurus. “Kalau sebelum ada sumur terintegrasi ini, petani harus menyewa diesel untuk menyedot air. Itu sewanya lebih mahal.”

Dengan adanya program sumur terintegrasi ini menjadikan sawah menjadi harapan baru bagi warga desa. Terlebih bagi para purna PMI. Mereka tidak perlu lagi ke negara seberang untuk mencari penghidupan. Modal yang didapatkan dari luar negeri bisa digunakan untuk membeli sawah.

Untuk pengelola sumur terintegrasi ini ada 18 orang. Sebagian besar pengelola diambil dari para purna PMI dan sebagian lagi keluarga PMI yang masih aktif.
Seperti yang dikatakan eks PMI lainnya, M. Isnun, 48. Dia sekitar sepuluh tahun mengadu nasib di Malaysia. Saat ini ia lebih memilih bekerja di rumah sebagai petani dan peternak sapi.

Selain faktor usia, juga karena di kampung halaman sudah ada lahan yang bisa untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.“Sekarang sawahnya kan sudah bisa ditanami tiga kali dalam setahun. Kebutuhan air sudah tercukupi. Jadi saya ya mending di rumah,” kata dia.

Generasi Muda Enggan ke Luar Negeri

Kepala Desa Bringinan, Barno, menunjukkan penghargaan yang pernah diterimanya karena kepeduliaannya terhadap buruh migran, Selasa (6/10/2020). (Abdul Jalil/Madiunpos.com)
Kepala Desa Bringinan, Barno, menunjukkan penghargaan yang pernah diterimanya karena kepeduliaannya terhadap buruh migran, Selasa (6/10/2020). (Abdul Jalil/Madiunpos.com)

Jumlah pekerja migran Indonesia (PMI) di Desa Bringinan dari tahun ke tahun terus mengalami penyusutan. Sebelum tahun 2012, jumlah warga Bringinan yang bekerja di luar negeri mencapai 300 orang. Tetapi, saat ini PMI aktif yang masih berada di luar negeri sekitar 100-an orang saja.

Kepala Desa Bringinan, Barno, mengatakan tren warga yang bekerja ke luar negeri cenderung menurun. Pada tahun-tahun sebelum 2012, setiap tahun ada belasan hingga puluhan orang yang berangkat ke luar negeri untuk bekerja. Tetapi, sejak 2013 jumlah warga yang berangkat ke luar negeri bisa dihitung dengan jari.

“Kalau saya melihat yang generasi muda itu sudah jarang yang pergi ke luar negeri. Karena memang tingkat pendidikan juga berpengaruh. Generasi yang sekarang itu kebanyakan lulusan SMA bahkan kuliah,” ujarnya saat ditemui di rumahnya, Selasa (6/10/2020).

Seperti Ani Dwi Nuryani, 26, yang tidak ingin bekerja ke luar negeri. Perempuan alumnus IAIN Ponorogo tersebut memilih bekerja sebagai guru les privat dan ikut terlibat untuk mengelola Bringinan Mart, salah satu bidang usaha yang dimiliki desa. Ia juga dipercaya sebagai Sekretaris Badan Usaha Milik Desa (Bumdes) Bringinan.

Ditemui Solopos.com saat sedang menjaga Bringinan Mart, Rabu (21/10/2020) sore, gadis yang akrab dipanggil Ani menceritakan bapaknya merupakan seorang purna PMI Malaysia. Karena ayahnya seorang mantan pekerja migran, dirinya tidak diperbolehkan untuk bekerja ke luar negeri.

“Mungkin tahu susahnya bekerja di luar negeri, jadi tidak diperbolehkan sama bapak,” kata Ani.



Pemerintah desa, menurutnya, memberikan kesempatan yang luas bagi pemuda untuk berkreasi dan bekerja di desa sendiri. Ia tidak perlu repot-repot pergi ke luar kota maupun luar negeri untuk bekerja.

Meski gaji yang diterima tidak seberapa, tetapi Ani merasa senang karena bisa dekat dengan keluarga di rumah. Selain itu, juga bisa ikut memajukan kampung halamannya. Pemerintah desa juga mendorong supaya anak-anak muda di desa tidak pergi bekerja di luar negeri.

Saat ini, bekerja di luar negeri sudah bukan lagi menjadi idola bagi kaum muda di desanya. Ani menyebut satu angkatan sekolahnya hanya ada empat orang yang bekerja di luar negeri. Itu pun tiga di antaranya sudah pulang dan tidak kembali lagi.

Kades Bringinan, Barno, mengatakan pemerintah desa memang mengupayakan berbagai cara supaya generasi muda di desanya tidak tertarik lagi bekerja ke luar negeri. Salah satunya dengan menciptakan lapangan kerja baru di berbagai bidang.

Selain itu, para PMI yang masih aktif bekerja di luar negeri juga dimotivasi supaya mau menyekolahkan anaknya hingga perguruan tinggi. Begitu juga anak-anak yang ditinggal orang tuanya pergi ke luar negeri diberi motivasi supaya mau bersekolah. Bahkan, pemerintah desa turun tangan ketika ada anak-anak PMI yang mengalami permasalahan dalam dunia pendidikan dan keluarga.

Barno meyakini pendidikan menjadi salah satu jalan untuk memutus rantai supaya warganya tidak lagi mengidamkan bekerja di luar negeri. Karena dengan memiliki pendidikan tinggi, warganya bisa memiliki kesempatan untuk bekerja di berbagai bidang.

“Saya kalau sama anak-anak itu juga sering dibecandain, masak sudah sarjana mau jadi babu di luar negeri. Karena dulu banyak warga Bringinan yang ke luar negeri karena tingkat pendidikannya rendah, itu berdampak pada mencari pekerjaan sulit. Kalau pendidikannya sudah tinggi, minimal SMA lah, mereka kan bisa bekerja yang lain dan tidak harus ke luar negeri,” terangnya.

Barno teringat pada tahun-tahun 2010 ke belakang itu sulit mendapatkan warga desanya yang memiliki gelar sarjana. Tetapi, data tahun 2019 menunjukkan warganya yang sudah berpendidikan hingga ke perguruan tinggi mencapai 45 orang. Sedangkan untuk warga yang berpendidikan SMA/SMK mencapai 214 orang dan SLTP sebanyak 250.

Rombongan Pendaki Tinggalkan Temannya Yang Sakit Diberi Sanksi Sosial



Perdes Bringinan No. 6 tahun 2019

Dua petani di Desa Bringinan, Kecamatan Jambon, Kabupaten Ponorogo, berfoto dengan latar belakang sumur terintegrasi yang dimiliki oleh Bumdes Margo Mulyo Desa Bringinan, Selasa (6/10/2020). (Abdul Jalil/Solopos.com)
Dua petani di Desa Bringinan, Kecamatan Jambon, Kabupaten Ponorogo, berfoto dengan latar belakang sumur terintegrasi yang dimiliki oleh Bumdes Margo Mulyo Desa Bringinan, Selasa (6/10/2020). (Abdul Jalil/Solopos.com)

Barno mengaku terlena selama lima tahun menjabat sebagai Kepala Desa Bringinan karena tidak memerhatikan betul-betul nasib warganya yang sedang bekerja di luar negeri maupun yang telah purna. Padahal, ia juga pernah merasakan susahnya menjadi seorang PMI di luar negeri dan meninggal keluarga di rumah.

Menjelang periode kedua kepemimpinannya sebagai Kepala Desa Bringinan, Barno pun merancang dan mengesahkan Peraturan Desa Bringinan Nomor 6 tahun 2019 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia. Perdes ini menjadi payung hukum untuk melindungi calon PMI dan PMI dari Desa Bringinan.

Bukan hanya melindungi PMI-nya saja, Perdes ini juga sebagai instrumen untuk memberdayakan anggota keluarga PMI yang ditinggalkan. Semisal di BAB X Pasal 15, “Pemerintah desa wajib memeberikan pemberdayaan bagi pekerja migran dan anggota keluarganya. Pemberdayaan yang dimaksud mencakup aspek sosial dan ekonomi, yang meliputi penguatan kapasitas pekerja migran dan anggota keluarganya untuk mengatasi permasalahan-permasalahan yang ada di desa dan penguatan ekonomi pekerja migran dan anggota keluarganya melalui pengelolaan hasil kerja dari luar negeri.”

Pada tahun-tahun sebelumnya, Desa Bringinan termasuk desa yang menjadi kantong PMI di Ponorogo. Bahkan desanya sempat menjadi salah satu desa miskin. Kondisi tersebut membuat warga desa pergi ke luar negeri untuk bekerja.

Namun, kenyataannya setelah mereka pulang ke desa dan mendapatkan modal uang yang cukup banyak. Mereka justru tidak memanfaatkan modal itu dengan baik, sehingga setelah uangnya habis. Mereka kembali ke luar negeri lagi. Pola seperti itu berlangsung bertahun-tahun.

Keberadaan PMI ini sebenarnya menjadi potensi luar biasa yang harusnya pemerintah desa ikut melindungi keberadaan mereka. Melalui Perdes tersebut, Barno ingin memperbaikinya. PMI dan keluarganya harus dilindungi.

“Untuk itu, salah satu poin dalam Perdes itu ya terkait pendataan PMI. Saat ini, calon PMI yang akan pergi ke luar negeri harus melapor ke desa untuk dicatat. Ini supaya tidak ada lagi kasus pemalsuan dokumen,” terang Barno.

Dalam Perdes tersebut, PMI juga wajib menginformasikan perkembangan dan keberadaannya kepada pemerintah desa serta keluarganya. Informasi itu terkait alamat tempat kerja, jenis pekerjaan, nama majikan, besaran upah, waktu kontrak, nama agensi di negara penempatan, dan nama P3MI yang menempatkan.

Informasi tersebut penting untuk diketahui, karena ketika nanti ada permasalahan yang melibatkan PMI. Pemerintah desa bisa segera merespon dan memberikan perlindungan.



Karena sudah menjadi amanat dalam Perdes No. 6 tahun 2019 itu, kata Barno, pemerintah desa semaksimal mungkin memberikan akses pemberdayaan bagi para pekerja migran beserta keluarganya. Tidak mudah, tetapi pemberdayaan bagi mereka dilakukan mulai dari kecil.

Siswa Wajib Kirim Foto Bersama Keluarga Di Rumah Seusai Pembelajaran Tatap Muka, Ini Maksudnya

Menciptakan Lapangan Kerja

Pekerja mengangkut pupuk organik yang diperjual belikan oleh Bumdes Margo Mulyo, Desa Bringinan, Kecamatan Jambon, Kabupaten Ponorogo, Selasa (6/10/2020). (Abdul Jalil/Solopos.com)
Pekerja mengangkut pupuk organik yang diperjual belikan oleh Bumdes Margo Mulyo, Desa Bringinan, Kecamatan Jambon, Kabupaten Ponorogo, Selasa (6/10/2020). (Abdul Jalil/Solopos.com)

Barno sadar faktor utama yang menyebabkan warganya bekerja ke luar negeri karena permasalahan ekonomi. Rendahnya pendidikan menjadikan warganya sulit untuk mendapatkan pekerjaan di Tanah Air.

Atas permasalahan yang berlangsung bertahun-tahun ini, maka tidak mungkin kalau pemerintah hanya memberikan wacana penyelesaian tanpa memberikan solusi.

Dia bersama aparat desa lainnya pun berupaya untuk menciptakan lapangan pekerjaan dengan mamanfaatkan aset yang dimiliki desa. Tak hanya itu, PMI yang masih aktif bekerja pun diminta untuk menginvestasikan uangnya untuk kegiatan produktif di desa.

Melalui Badan Usaha Milik Desa (Bumdes) Margo Mulyo, pemerintah desa hadir untuk menyelesaikan sedikit demi sedikit permasalahan menahun itu. Bumdes Margo Mulyo dibentuk pada tahun 2017 dengan prinsip kegotongroyongan.

Supaya seluruh warga desa merasa memiliki Bumdes ini, maka setiap warga diwajibkan untuk menanam saham di badan usaha tersebut. Satu lembar sahamnya dinilai Rp100.000. Setiap warga hanya diperbolehkan memiliki 10 lembar saham atau menginvestasikan Rp1 juta di Bumdes itu.

Dari iuran warga itu terkumpul uang sekitar Rp33 juta. Kemudian dari pemerintah desa melalui Dana Desa (DD) memberikan penyertaan modal sekitar Rp60 juta. Sehingga total awal pembentukan Bumdes itu sekitar Rp93 juta.

“Dengan modal itu, kemudian Bumdes terbentuk dengan beragam jenis usaha. Seperti untuk modal usaha simpan pinjam, unit kredit rakyat, unit pertokoan, unit depo air isi ulang, unit katering, dan unit sumur terintegrasi. Bahkan saat ini aset Bumdes Margo Mulyo ini mencapai Rp3 miliar,” kata dia.



Barno menyampaikan Bumdes ini berdiri bertujuan untuk menstabilkan perekonomian masyarakat di Desa Bringinan. Prinsip yang dibagun dalam unit usaha ini adalah dari, oleh, dan untuk masyarakat Bringinan.

Sekretaris Bumdes Margo Mulyo, Ani Dwi Nuryani, mengatakan ada tujuh sektor usaha yang dimiliki Bumdes tersebut. Pertama, unit pertokoan.

Saat ini ada dua unit pertokoan yang dimiliki yaitu Bringinan Mart I dan Bringinan Mart II. Bringinan Mart (Bimart) I didesain seperti toko pada umumnya yang menjual segala kebutuhan hidup sehari-hari.

Seperti bahan pangan, jajanan, dan kebutuhan rumah tangga. Sedangkan Bimart II didesain seperti toko modern. Bimart II ini lokasinya cukup strategis yaitu di tepi Jalan Raya Ngumpul, Sumoroto. Di Bimart II ini juga menyediakan berbagai kebutuhan pokok yang dijual secara grosir maupun eceran.

“Untuk Bimart I memang dipertahankan dikelola secara konvensional karena berada di tengah-tengah perkampungan. Warga desa yang berutang saat membeli pun diperbolehkan. Ini berbeda dengan konsep yang diterapkan di Bimart II yang telah menerapkan sistem komputerisasi. Sehingga tidak boleh ada yang berhutang,” ujarnya.

Kedua, kredit rakyat. Usaha ini memang didedikasikan untuk membantu masyarakat Desa Bringinan supaya lebih mudah dan aman saat akan membeli barang secara kredit. Sehingga mereka tidak perlu lagi membeli barang kredit melalui leasing. Bunga yang ditawarkan unit usaha ini pun sangat terjangkau, hanya 0,1%. Bumdes siap membiayai pembelian barang seperti sepeda motor, elektronik, dan bahkan hewan ternak.

Ketiga, depo isi air ulang. Kebutuhan air minum masyarakat Bringinan dipenuhi melalui usaha ini. Sumber air yang diolah depo dari wilayah Pulung, Ponorogo. Setiap tiga bulan sekali, tim kesehatan dari Puskesmas Jambon rutin mengecek kandungan airnya.

Keempat, sumur terintegrasi. Saat ini air dari sumur terintegrasi hanya untuk memenuhi kebutuhan pengairan lahan pertanian. Sumber airnya berasal dari sumur dalam. Sehingga tidak mengganggu sumur konsumsi milik warga. Saat ini, sudah ada sembilan titik sumur dalam yang tersebar di tiga dukuh di Bringinan. Untuk unit usaha ini juga mengembangkan usaha dibidang pembudidayaan ikan lele.

Kelima, usaha katering. Unit usaha ini memberikan ruang bagi warga Bringinan yang memiliki produk usaha makanan maupun jajanan. Rata-rata warga yang menggelar hajatan akan mempercayakan hidangannya kepada unit usaha ini.  “Yang pasti, kalau ada kegiatan di desa, pasti ambil makanan ringannya dari kami,” ujar Ani.

Keenam, persewaan perlengkapan pesta. Unit usaha ini bekerjasama dengan Karang Taruna desa setempat. Warga yang memiliki hajatan dengan kapasitas tamu 1.000 orang biasanya menyewa di Bumdes. Tidak hanya menyediakan perlengkapan seperti piring, gelas, meja, kursi, maupun tenda pesta. Tetapi juga menyediakan rias pengantin.

Ketujuh, unit pemasaran pupuk organik. Unit usaha ini hanya menjualkan produk pupuk organik. Sedangkan produsen pupuk organik itu adalah Kades Bringinan, Barno.

Dari tujuh unit usaha tersebut, tenaga kerja yang diserap mencapai 40 orang. Sebagian besar merupakan eks PMI maupun anggota keluarga PMI.

“Untuk gaji yang diberikan memang masih di bawah UMK [Upah Minimum Kabupaten]. Tapi, minimal itu telah memberikan pilihan bagi warga untuk tetap berada di desa,” katanya.

Ani menuturkan motivasinya untuk terus bertahan di desa dan menghidupi Bumdes ini bukan hanya persoalan finansial saja. Tetapi, juga ada aspek sosial yang diberikan. Dirinya bisa ikut terlibat untuk membangun desa.

Kades Bringinan, Barno, menuturkan Bumdes Margo Mulyo ini telah menghidupi desa dan masyarakatnya. Meskipun gaji yang diterima pegawainya tidak seberapa, tetapi hal itu menjadi pilihan bagi warga supaya tetap bertahan di desa.

Penghasilan dari Bumdes ini juga menyumbang pendapatan asli desa. Tahun lalu, Bumdes ini menyumbang sekitar Rp11 juta untuk kas desa.

“Memang masih sedikit. Tapi itu sudah lumayan lah. Saya menekankan supaya kebutuhan di masing-masing unit usaha itu dipenuhi dulu. Setelah itu, baru keuntungannya bersihnya disampaikan ke desa,” terang dia.

Harus Tahu! Pemberian Vaksin Covid-19 Bisa Dilakukan Jika Penuhi Ketentuan Ini

PMI Berkontribusi Bagi Desa

Diakui atau tidak, keberadaan pekerja migran sangat mempengaruhi perwajahan dan perekonomian Desa Bringinan. Pekerja migran memiliki pengaruh terhadap perekonomian di desa.

Tetapi, kalau hal ini tidak ditangkap oleh pemerintah sebagai potensi. Tentu semua akan berjalan apa adanya. Tanpa arah yang jelas.

Barno menyebut kebiasaan warga Bringinan yang bekerja ke luar negeri sudah ada sejak tahun 1990-an. Tetapi, kondisi perekonomian di desanya tetap sulit dan ditetapkan sebagai desa miskin. Padahal uang yang dikirim para PMI ke keluarga di desa cukup tinggi.

“Keberadaan PMI ini berdampak pada perubahan wajah desa. Bisa dilihat, kalau orang yang bekerja di luar negeri, biasanya rumahnya langsung bagus. Untuk itu, pemerintah desa berupaya hadir melalui regulasi untuk melindungi mereka,” ujarnya.

Para PMI dari Desa Bringinan yang masih aktif juga membikin wadah yang diberi nama Lumbung Sedekah Peduli Umat (LSPU). Selain berisi PMI aktif, wadah yang berbasis di grup aplikasi perpesanan WhatsApp (WA) ini juga berisi perangkat Desa Bringinan, keluarga PMI, eks PMI, dan warga lainnya.

Melalui grup WA ini, berbagai informasi tentang Desa Bringinan akan dishare oleh siapa pun anggota. Tidak hanya informasi saja, melalui grui WA itu, para PMI juga menghimpun dana untuk bersedekah.

“Jadi di WA itu sudah ada rekening khusus untuk LSPU. Jadi siapa pun boleh bersedekah lewat rekening itu. Tidak ada pencatatan dan kita juga tidak tahu siapa saja yang mentransfer,” kata Barno.

Sekretaris Bumdes Margo Mulyo yang juga anggota KOPI Bringinan, Ani Dwi Nuryani, menambahkan setiap Jumat legi uang yang ada di rekening LSPU dibuka dan digunakan kegiatan sosial. Biasanya dana yang terkumpul pada Jumat legi itu akan dibelikan berbagai kebutuhan pokok dan dibagikan ke keluarga yang tidak mampu di Desa Bringinan.

“Untuk uang yang terkumpul tidak tentu. Kadang ya banyak, kadang ya sedikit. Berapa pun jumlahnya, uang itu akan digunakan untuk membeli sembako dan dibagikan kepada yang membutuhkan,” ujar dia.

Tidak hanya itu, para PMI juga berperan aktif untuk memberikan bantuan sosial ketika ada tetangganya yang terkena musibah. Terutama membantu dalam hal pendanaan.

Seperti yang terjadi pada September lalu, ada sepasang suami istri dari Bringinan yang mengalami kecelakaan lalu lintas. Pasutri ini pun mengalami kondisi yang cukup parah hingga harus dilakukan operasi.

Karena termasuk keluarga tidak mampu, warga pun akhirnya membuka donasi untuk meringankan beban pasutri ini. Saat ini telah terkumpul sekitar Rp20 juta untuk kebutuhan operasi pasutri tersebut.

“Jadi, melalui organisasi desa ini, kami tidak hanya diajari bagaimana untuk mendapatkan uang. Tetapi juga diajari untuk berlaku sosial. Saya sangat senang karena bisa berguna bagi desa kami sendiri,” kata Ani.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya