SOLOPOS.COM - Pemred Suara Merdeka Gunawan Permadi (kiri), Prof. Budi Setiyono (tengah), dan Teguh Hadi Prayitno (kanan) tampil pada Diskusi Peran Jurnalisme pada Era Society 5.0 di Kampus Undip Tembalang, Semarang, Jawa Tengah, Selasa (10/12/2019). (Antara-Achmad Zaenal M.)

Solopos.com, SEMARANG — Wakil Rektor Bidang Akademik dan Kemahasiswaan Universitas Diponegoro (Undip) Semarang Prof. Budi Setiyono menilai sampai saat ini perguruan tinggi (PT) masih sulit mengajak industri menjadi mitra riset sehingga sukar melakukan hilirisasi hasil-hasil penelitian.

“Industri kita itu predatoris. Dalam hal riset, mereka tidak mau menjadi mitra perguruan tinggi,” katanya dalam Diskusi Peran Jurnalisme pada Era Society 5.0 di Kampus Undip Tembalang, Semarang, Jawa Tengah, Selasa (10/12/2019). Tampil sebagai narasumber dalam diskusi yang dipandu Ketua Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Jateng Teguh Hadi Prayitno itu Pemimpin Redaksi Suara Merdeka Gunawan Permadi.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Menurut Budi, alih-alih industri-industri besar tersebut bermitra dengan perguruan tinggi, mereka malah mendirikan perguruan tinggi sendiri. Dengan demikian tidak ada hilirisasi riset. “Bagaimana perguruan tinggi bisa ‘melempar’ hasil riset kalau tidak ada mitra, kecuali universitas mendirikan industri sendiri,” lanjutnya.

Ia menegaskan perguruan tinggi tidak bisa terus menunggu hasil riset digunakan oleh industri atau perusahaan. Sejauh ini yang bisa dilakukan setelah riset yakni mengirimkan hasilnya ke jurnal, agar mendapatkan sitasi (citation). “Kita tidak bisa menunggu jika perguruan tinggi memang tidak punya sinergi yang predictable dengan industri. Itu akan terlalu lama menunggu. Sifat industri kita itu predatoris,” sebutnya.

Budi menambahkan masih seringnya terjadi duplikasi objek penelitian padahal seharusnya bisa dihindari bila ada komunikasi. Budi juga menilai bahwa masyarakat Indonesia saat ini masih patriarkal, yakni cenderung menunggu perintah atau belum memiliki prakarsa yang cukup untuk menciptakan masyarakat yang partisipasi tinggi.

“Masyarakat patriarkal biasanya berada di level pendapatan per kapita sekitar US$3.500, sedangkan kita banyak meniru mode pembangunan dari masyarakat maju dengan pendapatan di atas US$20.000,” jelasnya.

Ia memberi contoh studi banding perundangan ke negara-negara maju padahal di balik terciptanya regulasi tersebut kondisi sosiologis dan antropologisnya sangat beda dengan Indonesia. “Bisa jadi sebelum undang-undang di negara maju sebelum terbit itu berdarah-darah, bahkan melalui perang. Jadi, kita tidak bisa meniru begitu saja produk undang-undang dari negara maju karena kondisi sosiologis dan antropologisnya beda,” terangnya.

Teguh menyatakan banyak perkerjaan saat ini yang membutuhkan soft kompetensi, bukan sekadar berlatar belakang akademik. Sekarang, katanya, adalah era di mana ijazah tidak terlalu dibutuhkan dibandingkan dengan kompetensi.

Gunawan Permadi menyatakan media arus utama saat ini dituntut mampu berkolaborasi dengan industri sejenis agar tetap eksis di tengah kian menjamurnya konten bersumber dari media sosial. “Kami bersama tiga media di Jawa sebulan lalu baru declare kolaborasi dalam jaringan Fakta Media Network,” kata Pemred Suara Merdeka tersebut.

KLIK dan LIKE di sini untuk lebih banyak berita Semarang Raya

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya