SOLOPOS.COM - Susantini/Istimewa

Solopos.com, SOLO -- Saat mengunjungi toko buku Gramedia, kemudian ke bagian rak buku sosial politik yang berisi biografi tokoh-tokoh penting, terlihat lebih banyak tokoh laki-laki yang menjadi gambar sampul buku dibanding tokoh perempuan.

Dari sampul buku bergambar perempuan, seperti Susi Pudjiastuti, Dita Soedarjo, Sri Mulyani Indrawati, R.A. Kartini, dan Dewi Sartika tak ada yang membawa buku atau sambil membaca. Ada gambar satu tokoh laki-laki yang berdiri sambil membawa buku di tangan kiri dan membacanya dengan menyandarkan saksofon di bahu kanan. Njoto Peniup Saksofon di Tengah Prahara, begitu judul buku tersebut.

Promosi Kisah Pangeran Samudra di Balik Tipu-Tipu Ritual Seks Gunung Kemukus

Buku-buku parenting, buku anak, buku sastra, dan buku remaja jarang bergambar perempuan sedang membawa atau membaca buku. Majalah National Geographic dengan tema Perempuan Seratus Tahun Perubahan dengan sampul gambar para perempuan dari berbagai negara juga tidak satu pun yang membawa buku.

Ketika majalah itu saya buka hanya ada satu foto perempuan yang membuka buku dikelilingi anak-anak. Gambar itu seolah-olah menguatkan anggapan bahwa mendongeng untuk anak-anak adalah hanya tanggung jawab seorang perempuan atau ibu. Melihat fenomena tersebut, perempuan membaca atau bahkan sekadar membawa buku bukan hal umum. Perempuan dikenal dengan aktivitas domestik. Membaca buku masih dianggap kenikmatan elite. Di deretan rak buku anak, saya merasakan diskriminasi.

Ekspedisi Mudik 2024

Setidaknya ada dua buku yang menceritakan seorang gadis yang gemar membaca dan menyukai buku, Belle’s Discovery dan Minutes Princess Stories. Dua buku itu adalah cerita dari Disney, bukan cerita lokal. Dalam buku Belle’s Discovery yang diterbitkan Gramedia terlihat dalam sampul tokoh Belle sedang tengkurap, jarinya mengapit kuas untuk menulis kisah perjalanan. Di samping Belle ada sebuah buku yang menemani.

Jamak Diceritakan Menderita

Buku Minutes Princess Stories: Kisah-kisah 5 Menit Putri Disney terbitan Gramedia. Tokoh-tokoh perempuan Disney jamak diceritakan begitu menderita, menunggu dijemput oleh pangeran, dengan pakaian yang begitu anggun. Akhirnya mereka juga menjadi pahlawan.

Kisah tokoh Belle berbeda dengan kisah putri lainnya itu. Selain anggun, dia tokoh yang intelek, gemar membaca, gemar menulis, dan menyukai petualangan. Seperti yang dikisahkan dalam buku itu, Belle melakukan perjalanan mengunjungi Perpustakaan Nasional Prancis dengan begitu menyenangkan.

Ada satu buku berjudul Rayu untuk Kamu garapan Septian A.S. di rak buku-buku sastra. Gambar sampul adalah pasangan laki-laki dan perempuan yang sedang duduk saling membelakangi, membawa buku dan membaca. Isi buku ternyata tidak ada kaitan dengan gambar sampul. Buku itu berisi puisi-puisi cinta rayuan kepada kekasih.

Ternyata buku juga bisa menjadi properti untuk saling merayu dan berasmara saat remaja. Romantis sekali. Kondisi perempuan dalam hal ini dipengaruhi oleh anggapan sosial yang masih bertahan hingga sekarang. Perempuan tidak usah berpendidikan tinggi dan tidak perlu belajar.

Pepatah Jawa untuk kaum perempuan adalah macak, masak, manak. Pepatah ini masih cukup sering kita dengar dari para orang tua.  Laki-laki dianggap punya tanggung jawab besar dalam keluarga sehingga punya kesempatan bersekolah dan bisa lebih dekat dengan buku.

Bisa terlihat dari perkembangan sastra Indonesia yang dikelompokkan dalam beberapa angkatan, mulai dari Pujangga Lama, Balai Pustaka, Pujangga Baru, hingga angkatan 2000-an. Penulis perempuan muncul baru-baru ini,  sebelumnya memang ada perempuan penulis namun laki-laki penulis tetap paling banyak dan diagungkan.

Kenapa kaum perempuan sedikit yang memiliki karya tulis atau buku? Apakah prestasi perempuan tidak mampu menyamai laki-laki? Dalam melakukan aktivitas membaca dan menulis harus meluangkan waktu, memiliki ruangan privasi, dan sebuah tempat untuk berpikir.

Perempuan dalam anggapan sosial (Jawa) adalah sosok yang tidak independen, milik suami, dan milik anak-anaknya. Bisa dibayangkan perempuan dengan aktivitas domestik setelah itu di sela-sela waktu baru menyempatkan membaca. Saya yakin tidak akan kuat menahan rasa lelah dan kantuk.

Buku tidak lebih menjadi penyangga rasa lelah daripada menjadi teman berpikir atau bacaan ketika luang saja. Laki-laki dalam cerita atau novel sering kali ditampilkan begitu superior, seperti dalam cerita Rumah Kertas garapan Carlos Maria Dominguez (2016). Laki-laki begitu mendominasi kepemilikan buku.

Buku di Rumah Delgado

Tokoh Delgado memenuhi ruang utama lantai I dengan buku-buku. Dia dan keluarganya tinggal di lantai atas. Dia berpendapat buku tidak seharusnya bercampur dengan kehidupan rumah tangga dan akan lekas kotor.

”Saya dulu berpikir bagus kiranya kalau bisa membangun tangga dalam rumah yang akan menghubungkan dua lantai ini, tapi untungnya sebelum kebablasan, saya sadar bahwa buku tidak seharusnya bercampur dengan kehidupan rumah tangga. Mereka akan cenderung lekas kotor,” kata Delgado.

Secara tidak langsung dia menganggap pekerjaan perempuan itu rendahan dan kotor. Begitu juga dengan Carlos Brauer. Hanya karena kekecewaan pada suatu hal rela menyemen buku-buku yang dia kumpulkan bertahun-tahun dan menguras banyak uang. Hingga mantan istrinya sampai menuntut uang darinya. Perempuan lagi-lagi tidak mendapat tempat yang sejajar dan semestinya.

Berbeda dengan Rumah Kertas, novel garapan pengarang perempuan Muriel Barbery  dengan judul yang di terjemahkan ke bahasa Indonesia Kemolekan Landak  (2017) menceritakan seorang perempuan penjaga gerbang di sebuah apartemen di Prancis bernama Rene. Seorang perempuan yang berumur 54 tahun. Membaca buku dan menonton film adalah kegemarannya. Perempuan yang intelek namun memilih terlihat bodoh dan konyol.

”Terhadap yang cantik, orang memaafkan segalanya, bahkan tingkah-tingkah seronoknya. Sebaliknya, bagi orang yang kurang beruntung dalam tampilan tubuh, kecerdasan tidak pernah jadi kompensasi penyeimbang yang dikarunia alam dan ia pun diperlakukan bagai mainan untuk mempertajam kontras. Yang buruk selalu tertuduh. Dan aku mengabdikan diri pada nasib tragis ini, dengan kesedihan yang mendalam, sebab aku bukan orang bodoh,” kata Rene.

Sepintar ap apun kaum perempuan dalam novel jika tidak memiliki fisik yang enak dipandang maka keberadaannya tak dianggap. Sebaliknya, meski bodoh asal rupawan akan memiliki derajat lebih tinggi. Rene memilih diam. Tidak jauh berbeda dengan kondisi sekarang ini.

Produk Kecantikan Lebih Laku

Bisa kita amati tukang parkir di toko kecantikan Monita dekat Pasar Gede, Solo, lebih sibuk dibanding tukang parkir di toko buku Togamas yang masih bisa leyeh-leyeh dan tiduran sambil minum es teh. Ini menandakan produk-produk kecantikan wajah lebih laris manis seperti kacang goreng daripada buku yang hanya bisa mempercantik pikiran.



Kabar yang tidak mengagetkan dari pemberitaan Harian Solopos edisi 25 November 2019 tentang pemilihan duta baca Solo dengan judul Hari ini, Semifinalis Seleksi Wawancara. Dalam pemilihan duta baca itu Dinas Arsip dan Perpustakaan Daerah Kota Solo menetapkan salah satu kategora, yaitu Bunda Baca.

Hal ini membuktikan perempuan atau ibu punya tanggung jawab terhadap intelektualitas anak, namun kenapa perempuan membaca masih dianggap tidak biasa? Perempuan boleh melawan keangkuhan para laki-laki. Mereka dapat menantang dengan cara yang sama, membaca buku-buku yang dibaca oleh laki-laki.

Mereka juga berhak menjadi penulis yang profesional, bukan sekadar sambilan atau menghabiskan waktu. Saya berharap para figur publik seperti Najwa Shihab, Sinna Sherina Munaf, dan Velove Vexia tak bosan memamerkan pose-pose membaca yang begitu anggun dan seksi. Saya sebagai perempuan jelata yang tak cantik ingin juga terlihat intelek seperti mereka. Begitu juga perempuan-perempuan lainnya.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya