SOLOPOS.COM - Traveloka Paylater. (Istimewa)

Solopos.com, SOLO — Tingginya penjualan online shopping disusul dengan banyaknya tawaran metode pembayaran atau paylater

Metode pembayaran dengan sistem mencicil atau paylater dari beberapa e-commerce menjadi salah satu tren pembayaran yang jamak digunakan oleh masyarakat, tidak terkecuali di Kota Solo.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Metode pembayaran paylater ini membuat masyarakat bisa mendapatkan apapun yang mereka inginkan dan membayar agunannya dalam jangka waktu satu bulan.

Bahkan dalam data yang dihimpun Bisnis.com, secara Nasional, pada 2022 pertumbuhan pengguna paylater tiga kali lebih besar dibandingkan kartu kredit.

Secara nominal, kenaikan penggunanya mencapai Rp300 miliar pada rentang Agustus 2022 hingga September 2022.

Tetapi, paylater juga menciptakan sisi negatif, Rasio kredit bermasalah dari layanan paylater memiliki tunggakan yang terus meningkat. Pada 2022, kenaikannya mencapai 222,92 persen dibandingkan 2021.

Berdasarkan pelaporan yang dikutip dari Bisnis.com, debitur produk Buy Now Pay Later (BNPL) berusia 21–30 tahun sebanyak 53,54 persen pada pelaporan Agustus 2022.

Sementara itu, jika dilihat dari suku bunga, ungkap Yohanes, kebanyakan debitur memakai produk dengan suku bunga kurang dari 5 persen dan menyusul di belakangnya suku bunga 15–30 persen.

Solopos.com mencoba melihat fenomena ini lebih dekat di lapisan masyarakat di Kota Solo, bagaimana penggunaan paylater menjadi salah satu solusi untuk mendapatkan barang tertentu di saat keuangan tidak mencukupi.

Banyak dari mereka yang sangat terbantu, tetapi banyak dari mereka yang harus mendapatkan teror, karana gagal melakukan pembayaran.

Adimas Bayu merupakan salah satu pengguna paylater di beragam e-commerce, total dia memiliki total tenor paylater mencapai Rp18 juta di empat aplikasi berbeda.

Pria asal Klaten ini bercerita bagaimana dirinya harus mendapatkan teror ketika terlambat melakukan pembayaran.

“Saya itu punya tenor paylater cukup besar, di Go-jek itu Rp1 juta, di Shopee Paylater Rp15 juta dan di Kredivo Rp3 juta, angka ini sebenarnya akan terus meningkat kalau aplikasinya semakin sering digunakan. Mulai pakai paylater dari tahun 2020 atau saat pandemi, pekerjaan saat itu sedang sepi, sedangkan bosan karena pandemi di rumah terus, akhirnya implusif untuk beli barang-barang,” ujar Bayu pada Sabtu (28/1/2023).

Menurut pria berusia 28 tahun ini, yang terjadi total utang paylater-nya tidak terkendali, teror ia dapatkan setiap hari berupa telpon, hingga pesan berisi cacian ketika ia terlambat dalam membayar utangnya.

“Akhirnya justru enggak terkendali dan pengeluaran dalam membeli barang pakai paylater saya saat Juli 2021 itu sampai Rp10 juta dan saya harus bayar di akhir bulan, sedangkan pemasukan belum kembali normal karena masih pandemi. Terornya ngeri karena saya empat bulan enggak bisa bayar, telpon yang masuk untuk menagih utang bisa sampai 25 kali sehari, pesan whatsapp saya isinya umpatan semua,” tambah Bayu.

Ia kemudian bernegosiasi untuk membayar hutangnya di beragam aplikasi tersebut, walhasil, baru di Januari 2022 utangnya lunas di berbagai platform.

Pria yang bekerja sebagai karyawan swasta ini mengaku sempat merasa malu saat rumahnya didatangi oleh debt collector (DC) yang dengan kasar menagih ke rumahnya.

“Malunya setengah mati karena ada DC dari salah satu aplikasi yang datang ke rumah terus menagih hutang dengan kasar dan bahkan ngomong ke tetanggga. Akhirnya saya negosiasi dan mencicil hutangnya per bulan Rp2,5 juta dan baru lunas tahun lalu,” terangnya.

Sedangkan bagi Dian Santika, pay later bak pedang bermata dua baginya.

Sebagai ibu rumah tangga, paylater memudahkan dirinya dalam mendapatkan kebutuhan saat keuangan sedang menipis. Tetapi, ia tidak menampik paylater membuat dirinya lebih boros.

Paylater itu benar-benar membantu misal ada keinginan dari promo di akhir bulan pas uang sudah menipis jadi tetap bisa dapat barang yang diinginkan. Tetapi jadinya malah lebih boros dan menumpuk barang-barang yang enggak dibutuhkan,” tegas Dian.

Dian bercerita, ia sempat memiliki tagihan paylater mencapai Rp8 juta hanya di satu aplikasi, dan kesulitan membayar tagihan tersebut. Beruntung, suami dan keluarganya mau membantu melunasi hutang tersebut.

“Kan semakin sering pinjam, tenornya semakin meningkat, akhirnya saya kehilangan kontrol beli barang-barang dan sampai habis Rp8 juta. Sempat dapat teror sampai ada DC yang ke rumah, tetapi untungnya suami saya akhirnya ambil uang tabungan dan dibantu keluarga buat melunasi, sekarang saya kalau pakai pay later harus seizin Suami saya,” terangnya.

Kisah berbeda dialami oleh Mahesa Prawira yang justru merasa terbantu dengan adanya paylater, bagi pria berusia 24 tahun ini, paylater sangat membantu dirinya dengan gaji Rp2.700.000 untuk bisa memenuhi keinginannya.



Mahesa menyebut paylater bisa sangat bermanfaat jika memiliki keinginan.

“Gaji saya enggak besar dan kadang memang ada keperluan dan keinginan buat membeli barang, misalnya mau beli baju atau buat makan di kos. Saya cuman pakai Shopee paylater buat belanja itu, sebulan bisa sampai Rp800.000 tagihannya,” kisah Mahesa.

Mahesa yang setiap harinya bekerja sebagai karyawan ini mengaku pernah mendapatkan teror saat terlambat membayar, namun menurutnya masih lebih baik dibandingkan menggunakan pinjaman online (pinjol).

“Pernah dapat teror dari DC tetapi cuman ditelepon sehari paling banyak sembilan kali dan itu ditagihnya baik-baik. Mending lah dibandingkan pinjol, terornya lebih mengerikan,” tegasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya