SOLOPOS.COM - Warga berebut ayam persembahan yang dilemparkan ke atap Pendapa Dusun Pancot saat Upacara Mondosiyo di Dusun Pancot, Kalisoro, Tawangmangu, Karanganyar, Selasa (10/3/2020). (DokumentasiSolopos)

Tradisi Karanganyar Mondosiyo masih eksis hingga kini sebagai wujud syukur warga.

Solopos.com, KARANGANYAR – Ratusan warga Dusun Pancot, Kelurahan Kalisoro, Tawangmangu berebut ayam pada puncak Upacara Adat Mondosiyo, Selasa (1/3/2016). Mereka meyakini akan memperoleh berkah dan terhindar dari malapetaka apabila memiliki ayam itu. Mereka percaya ayam itu bertuah.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Warga mendapat kebebasan menggunakan berbagai cara mengambil ayam yang dilempar ke atap bangunan pasar dusun. Ada yang berusaha menggiring ayam dengan memanjat langit-langit bangunan. Ada yang memukul-pukul atap bangunan terbuat dari seng. Warga lainnya menggunakan galah umbul-umbul untuk mencegat ayam agar tidak menjauh dari jangkauan.

Warga berebut ayam diiringi gamelan berirama rancak. Itu makin memantik semangat warga berebut ayam. Gesekan fisik antarwarga sering terjadi tetapi tidak membuat warga berkelahi. Namun, sejumlah anggota kepolisian dan linmas berjaga-jaga apabula situasi memanas. Berebut ayam menjadi sajian utama bersih desa yang digelar setiap tujuh lapan sekali atau pada Selasa Kliwon Wuku Mondosiyo.

“Mondosiyo itu memperingati hari lahir Dusun Pancot. Intinya mengucap syukur kepada Tuhan atas rezeki yang telah diberikan,” kata Kepala Lingkungan Dusun Pancot, Sulardiyanto, saat ditemui wartawan, Selasa (1/3/2016).

Warga menyiapkan uba rampe upacara adat sejak tiga hari sebelum acara. Prosesinya diawali atraksi sejumlah kelompok Reog. Mereka berjalan dari gerbang desa menuju situs batu gilang. Atraksi Reog berhenti setelah kenong dipukul. Selanjutnya, pemangku adat akan menyiramkan air badek atau tape ke situs batu gilang.

Sulardiyanto menceritakan awal mula ritual Mondosiyo. Menurut dia, Mondosiyo berasal dari cerita rakyat setempat. Alkisah Dusun Pancot dikuasai raksasa jahat pemangsa manusia, Prabu Boko. Raja lalim itu takluk kepada Pangeran Putut Tetuko melalui pertempuran sengit. Singkat cerita, Pangeran Putut Tetuko memenggal dan melemparkan kepala raksasa (Prabu Boko) ke batu. Lantas batu ini dikeramatkan warga dan dikenal sebagai batu gilang.

Sulardiyanto menceritakan bahwa Mondosiyo terus dilaksanakan meskipun kondisi warga paceklik. Sejumlah warga menyimpan doa saat menyerahkan ayam untuk upacara adat. Seperti dilakukan Jiman, 40.

“Nazar supaya doa terkabulkan. Saya membawa ayam dua ekor. Saya berdoa semoga orangtua saya sehat dan lekas sembuh dari sakitnya,” ujar dia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya