SOLOPOS.COM - Umat Konghucu membakar kertas bertuliskan nama leluhur, replika mobil dan replikasi pakaian saat upacara Ching Bing di Rumah Duka Thiong Ting, Jebres, Solo, Minggu (10/4/2022). (Solopos/Nicolous Irawan)

Solopos.com, SOLO — Umat Khonghucu menggelar upacara tradisi Ching Bing di Rumah Duka Thiong Ting, Kelurahan/Kecamatan Jebres, Solo, Minggu (10/4/2022) sekitar pukul 11.00 WIB. Tradisi tersebut dijalankan kembali setelah sempat vakum saat pandemi Covid-19.

Tradiri ini maknanya kurang lebih sama dengan tradisi Sadranan di masyarakat Jawa. Tradisi ini merupakan bentuk penghormatan kepada para leluhur. Namun berbeda dengan Sadranan yang dilakukan menjelang Ramadan, tradisi Ching Bing dilakukan setiap awal April. Ching artinya cerah dan Bing bermakna penghormatan.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Ching Bing jatuh setiap 5 April namun pelaksanaan tradisi 10 hari sebelumnya atau 10 hari sesudahnya. Penghitungan 5 April dari 104 hari setelah sembahyang Ronde 22 Desember atau saat sembahyang musim dingin di China.

Umat beribadah menghadap ke altar Tuhan di depan Klenteng di sekitar halaman Thiong Ting. Pengasuh Lithang Gerbang Kebajikan, Adjie Chandra, memimpin jalanya sembahyang. Khusus tradisi Ching Bing, umat Konghucu di Solo memakai lima dupa untuk sembahyang.

Baca Juga: Asal Usul Tugu Cembengan Jebres Solo, Ternyata Dulu Pintu Masuk Kuburan

Hal ini mencerminkan lima benih kebaikan yang diberikan Tuhan kepada manusia, yakni kasih sayang, kebenaran, sopan santun/adat istiadat/kesusilaan, kecerdasan, dan dapat dipercaya.

Rohaniawan dan petugas masuk ke klenteng untuk berdoa. Selanjutnya umat melantunkan lagu puji-pujian lalu mendengar sejarah mengenai Ching Bing. Umat melantunkan kidung lagi sebelum berdoa lalu membakar kertas bertulis nama leluhur, replika mobil-mobilan, dan replika pakaian.

Altar Umum dan Vegetarian

Barang yang akan dibakar dikumpulkan di sekitar altar umum dan altar vegetarian. Altar umum berisi sesaji wajib yakni ayam ingkung. Ayam sudah mencari makan sebelum terbit matahari yang bermakna orang harus rajin.

Kemudian ada hidangan ikan bandeng dalam tradisi Ching Bing masyarakat Tionghoa Solo. Orang memakan ikan menyisakan tulangnya. Maknanya orang yang mendapatkan rejeki tidak harus dihabiskan tetapi disisakan dengan cara ditabung. Kemudian ada olahan kepala babi.

Baca Juga: Sembahyang Ching Bing, Potret Tradisi Sadranan Warga Tionghoa di Solo

Babi merupakan simbol celengan. Orang yang rajin bekerja, berhemat, dan menabung akan lebih baik pada masa depan. Sesaji lain yang wajib, antara lain jeruk yang bermakna berkah dan mengundang rejeki.

Biji jeruk bermakna rezeki bisa diturunkan. Lalu ada buah pisang. Buah pisang tidak mengenal musim yang bermakna rezeki bisa didapatkan kapan pun. Kemudian ada jajan pasar berupa wajik dibentuk tumpeng.

Wajik bersifat lengket dengan harapan semua anggota keluarga tak terpisahkan namun akrab. Ada kue berbentuk kura-kura yang bermakna berumur panjang.

Kue mangkuk atasnya merekah artinya rejeki setiap umat dapat merekah. Sesaji vegetarian disediakan sebab ada leluhur yang tidak makan daging-dagingan.

Baca Juga: 5 Makanan Khas Solo Ini Ternyata Warisan Tionghoa

Pengasuh Lithang Gerbang Kebajikan Solo, Adjie Chandra, menjelaskan umat Konghucu diwajibkan menghormati leluhur karena mereka merupakan orang yang berjasa semasa hidupnya lewat tradisi Ching Bing. Umat memberikan penghormatan dengan menyediakan sesaji yang memiliki makna.

Kuburan Korban Geger Pecinan

“Sebelum dibangun Thiong Ting dulu sekitar sini banyak kuburan Tionghoa yang terlantar. Mereka merupakan korban perang saat Geger Pecinan. Saat itu orang China dibunuh lalu dimakamkan di sini,” katanya.

Dia menjelaskan makam dibongkar lalu badan jenazah dikremasi dan abunya dipindahkan ke Taman Memorial Delingan, Karanganyar. Namun jenazah yang dimakamkan di Delingan kini bukan hanya umat Konghucu namun juga agama lainnya.

Baca Juga: Napak Tilas MN VI: Radya Pustaka Solo, Thiong Ting, dan Astana Oetara

“Di sini merupakan rumah duka dan kami berkewajiban melakukan tradisi Ching Bing. Yang bisa menyembahyangi dari Konghucu. Walaupun makam telah dibongkar dan tulangnya dikremasi lalu dipindah. Kami tetap menjalankan di sini karena tradisinya begitu,” ujarnya.

Menurutnya, uma Konghucu pernah mengadakan tradisi Ching Bing di Delingan namun tidak banyak yang mengikuti upacara tersebut. Selain lokasinya lumayan jauh dari Solo, keluarga/ahli waris selain umat Konghucu tidak menjalankan tradisi Ching Bing.

“Ibadahnya hampir sama dengan di China namun di sini disesuaikan dengan budaya Indonesia. Lahan Thiong Ting sudah diwakafkan ke PMS [Perkumpulan Masyarakat Surakarta],” jelasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya