SOLOPOS.COM - Seorang guru membimbing calon siswa dalam mengisi formulir pendaftara siswa baru (PSB) di SMPN 25 Solo. (Sunaryo Haryo Bayu/JIBI/Solopos)

Solopos.com, SOLO — Kerap kali, sesuatu yang dipaksakan, tidak akan baik hasilnya. Demikian juga soal sekolah. Orang tua sebaiknya tidak memaksa anak untuk menuruti kehendak orang tua yang ingin menyekolahkan anaknya di sekolah tertentu.

Pengamat pendidikan yang juga Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo M. Furqon Hidayatulloh mengungkapkan jika pilihan sekolah anak sudah baik, maka orang tua tinggal mendorong. Tetapi jika pilihan anak dirasa belum tepat, orang tua sebaiknya bukan memaksakan, melainkan mengompromikan kehendak anak dengan masa depan anak.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Ia mencontohkan, ketika anak menginginkan sekolah A sebagai tempat menuntut ilmu, orang tua bisa mengajak anak berdiskusi untuk memberikan pertimbangan-pertimbangan. Jika perlu mencari orang kedua atau orang ketiga untuk memberikan pemahaman kepada anak soal pilihannya itu.

“Model pendekatan itu lebih tepat daripada orang tua langsung memaksa anak. Anak pun akan memiliki motivasi lebih ketika menjatuhkan suatu pilihan sekolah. Jika langsung dipaksa, anak akan menjadi korban,” katanya saat ditemui Solopos.com di ruang kerjanya, Selasa (20/5/2014).

Orang tua, katanya, juga tak boleh terjebak untuk memilih sekolah favorit bagi anaknya. Menurutnya, tidak semua anak akan lebih optimal hasilnya jika disekolahkan di sekolah favorit. Ada anak yang ketika bersekolah di sekolah biasa, dia lebih semangat belajar sehingga hasilnya lebih baik dibandingkan ketika dia di sekolah favorit. “Kenyamanan anak ketika belajar harus menjadi pertimbangan utama,” katanya.

Senada, Ketua Dewan Pendidikan Kota Solo (DPKS) Joko Riyanto mengungkapkan jika orang tua memaksa anak menuruti kehendaknya, biasanya sejak awal anak kurang bergairah dalam belajar. Akibatnya anak kurang konsentrasi sehingga bisa berakibat keberhasilannya tergadaikan. Ia mencontohkan, mungkin ada orang tua ingin anaknya menjadi dokter, tapi anak ingin menjadi notaris sehingga kuliah di Jurusan Hukum. “Jika keterusan anak menjalani hidup dalam keadaan terpaksa, tidak menutup kemungkinan anak akan stres. Terlebih jika nanti anak gagal, orang tua yang akan menjadi kambing hitam,” ungkapnya.

Ia menekankan jangan sampai orang tua memilih sekolah karena mengejar prestis, tanpa mempertimbangkan kondisi anak. Demikian juga ketika umur seorang anak sebenarnya belum waktunya masuk SD, terangnya, sebaiknya jangan dipaksa tetap dimasukkan ke jenjang SD. Pasalnya, tidak semua anak memiliki tingkat kematangan yang sama. Ia menerangkan sesuai aturan dari pemerintah, siswa SD itu umurnya antara 6-12 tahun. Jika umur anak kurang dari enam tahun, seharusnya masih taman kanak-kanak. Kecuali jika ada rekomendasi khusus dari psikolog bahwa memang anak tersebut sudah siap masuk SD, bisa tetap didaftarkan ke SD.

Joko juga berpendapat, menghadapi kondisi zaman saat ini, anak seharusnya dididik bukan hanya untuk menjadi anak yang pintar, tapi juga anak yang berkarakter. Masa-masa anak usia SD dan SMP sangat penting dalam penanaman karakter. Oleh karena itu orang tua sebaiknya memilihkan sekolah yang kuat dalam menanamkan soal keimanan, ketakwaan dan budi pekerti.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya