SOLOPOS.COM - Pemilik Agrowisata Barro Tani Manunggal, Dwi Sartono (kiri), saat melayani pembeli produk pertanian yang dijualnya di halaman Kantor Dinas Pertanian dan Pangan Wonogiri, Rabu (22/6/2022). (Solopos.com/Luthfi Shobri M)

Solopos.com, WONOGIRI — Pemkab Wonogiri di bawah kepemimpinan Bupati Wonogiri, Joko Sutopo alias Jekek terus berkomitmen meningkatkan jumlah petani milenial. Berbagai upaya dilakukan di Wonogiri agar kawula muda bersedia terjun ke dunia pertanian.

Bupati Jekek mengatakan terdapat dua persoalan besar yang dihadapi petani di Wonogiri. Pertama, terkait pupuk bersubsidi yang penggunaannya dibatasi di era sekarang. Menyikapi persoalan ini, Pemkab Wonogiri terus mengedukasi pembelian pupuk disesuaikan rencana definitif kebutuhan kelompok tani (RDKK) dan berupaya mengubah gaya pemupukan petani.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

“Kalau masih menggunakan gaya lama, tidak akan terpenuhi karena penurunannya bisa 50-60%,” kata Bupati Jekek saat berbincang dengan wartawan, seusai apel perayaan Hari Krida Pertanian ke-50, di halaman Kantor Dinas Pertanian dan Pangan (Dispertan Pangan) Wonogiri, Rabu (22/6/2022).

Persoalan kedua, yakni standar harga pembelian pemerintah (HPP) gabah senilai Rp4.200/kg yang tak dapat dinikmati langsung oleh petani. Selama ini, HPP lebih menguntungkan tengkulak karena skema penjualan panen dimulai dari petani yang menjual hasil panenan ke tengkulak. Selanjutnya, tengkulak menjual ke Bulog dengan standar HPP.

Padahal, petani mestinya bisa menjual hasil panennya sesuai HPP asalkan langsung dijual ke Bulog. Guna mengatasi persoalan tersebut, Bupati Jekek mengaku bakal mengedukasi para petani melalui kelompok tani (Poktan) dan gabungan kelompok tani (Gapoktan).

Baca Juga: Hari Ini, 18 Pelaku Agribisnis di Wonogiri Gelar Lapak

“Semestinya Poktan dan Gapoktan diberi pelatihan bagaimana mengelola pascapanen yang baik. Minimal ada koordinator membangun sistem pertanian yang baik. Selain itu juga butuh diskusi bersama, berdialog, agar menghasilkan komitmen. Apa saja langkah konkret yang bisa diambil pemerintah dalam rangka menjembatani rendahnya komoditas petani khususnya di padi,” terangnya.

Selain pada ranah sistem, lanjut Bupati Jekek, masalah di bidang pertanian di Wonogiri juga dipengaruhi perubahan iklim yang menimbulkan bencana bagi petani. Munculnya hama dan penyakit serta bencana alam yang hadir di sejumlah wilayah mengakibatkan petani lebih banyak merugi. Sehingga diperlukan asuransi petani.

“Wonogiri sudah bekerja sama dengan asuransi Jasindo. Dengan mengenalkan asuransi itu, petani memiliki proteksi sampai di angka Rp7 juta per hektare (ha) dengan membayar premi hanya Rp49.000. Ini yang kami gaungkan terus karena bisa mengaver modal kerja awal jika usaha pertaniannya terkena bencana atau terserang hama. Metodenya dilakukan di tiap Poktan,” ucapnya.

Berbagai solusi tersebut diharapkan profesi petani dapat diminati masyarakat di waktu mendatang. Khususnya generasi muda agar melirik pertanian sebagai bidang pekerjaan yang potensial dan aman.

Baca Juga: Jumlah Petani Milenial di Wonogiri Ternyata Masih Minim, Alasannya?

“Petani milenial tidak akan tertarik kalau potensi ekonominya tidak ada prospek yang lebih baik. Kami akan mendorong terus. Walaupun kendalanya akan cukup berat tapi itu tantangan bagi kami. Kata kuncinya di potensi ekonomi,” ucapnya.

Pada peringatan Hari Krida Pertanian ke-50 tahun yang digelar di halaman Kantor Dispertan Pangan Wonogiri, petani milenial turut hadir mengisi stan di acara gelar lapak Agribisnis.

Kepala Dispertan Pangan Wonogiri, Baroto Eko Pujanto, menyebut ada empat kelompok petani milenial yang menghadiri acara tersebut.

Dua di antaranya, yakni Agrowisata Barro Tani Manunggal dari Desa Kepatihan, Kecamatan Selogiri dan Kelompok Petani Muda Bergaya dari Desa Jimbar, Kecamatan Pracimantoro.

Baca Juga: Petani Wonogiri Lintas Generasi Berkumpul di Selogiri, Bahas Apa?

Pemilik Agrowisata Barro Tani Manunggal, Dwi Sartono, membawa produk unggulan, yaitu jagung ketan, labu madu, dan golden melon. Dwi mengaku selama ini masih mengombinasikan tanaman pangan dan hortikultura.

“Lahan agrowisata 6.000 meter. Sedangkan lahan pertanian pangan 4.800 meter. Totalnya 10.800 meter,” ujarnya kepada Solopos.com.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya