SOLOPOS.COM - Narasumber FGD dari Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, Prof. Ike Janita Dewi (kanan) duduk sebagai pemateri dalam FGD bertema Rebranding Gunung Kemukus yang digelar BOB di Hotel Surya Sukowati Sragen, Sabtu (16/7/2022). (Solopos.com/Tri Rahayu)

Solopos.com, SRAGEN — Gunung Kemukus dan Sangiran itu ternyata lebih terkenal daripada Sragen. Orang Jogja ketika mendengar Gunung Kemukus dan Sangiran akan mengira keduanya berada di Solo, bukan Sragen.

Fakta ini disampaikan akademisi Universitas Sanata Dharma Yogyakarata, Prof. Ike Janita Dewi, dalam focus group discussion (FGD) yang digelar Badan Otorita Borobudur di Hotel Surya Sukowati Sragen, Sabtu (16/7/2022).

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Dia mengungkapkan traffic paling tinggi pencarian Gunung Kemukus di Internet terjadi pada Desember 2017. Dia bertanya-tanya apa yang terjadi saat itu sehinga traffic pencarian Gunung Kemukus di Internet naik signifikan.

Prof Ike lantas menemukan kata kunci paling populer masih menggunakan frasa “pesugihan”, seperti pesugihan Gunung Kemukus, pesugihan, kemudian baru menyebut ritual Gunung Kemukus.

Dilihat dari data, warganet yang mengakses Sangiran di Internet kebanyakan datang dari Sulawesi. Sementara pencarian Gunung Kemukus banyak diakses oleh orang Jakarta, Banten, Jawa Barat, dan Papua.

Baca Juga: Kunjungan ke Gunung Kemukus Hanya Ramai di Triwulan Pertama

Ia menilai hal ini menunjukkan potensi pasar. Sayangnya, potensi sejarah tentang Pangeran Samudra hingga Nyi Ageng Serang belum menjadi produk yang bisa dijual.

“Jangan sampai orang lihat di Internet itu wow tetapi saat didatangi menjadi wah [tidak sesuai ekspektasi]. Gunung Kemukus ini wisata religi atau wisata keluarga? Kalau wisata religi maka narasi barunya bukan istilah demenan tetapi diubah dengan menyesuaikan targetnya. Narasi ini penting dan kalau bisa dikodifikasi supaya tidak menjadi bumerang,” saran Prof Ike.

Dia menambahkan untuk membangkitkan wisata religi maka harus mengangkat nilai lokal atau local value yang universal. Contohnya, Jogja punya nilai Memayu Hayuning Bawana dan Bali punya Tri Hita Karana.

Jika Pemkab Sragen ingin mengangkat Gunung Kemukus sebagai wisata keluarga, menurut Prof Ike, harus dibedakan dan diberi batas antara yang profan di prominade dan sakral di kompleks menuju makam Pangeran Samudra. Dengan membawa dua konsep destinasi wisata itu sebenarnya strategi pemasarannya agak sulit, tetapi bisa dilakukan.

Baca Juga: BOB: Hasil Pencarian Google soal Gunung Kemukus Masih Berbau Negatif

Rebranding Bukan Sekadar Logo

Lebih jauh ia mengungkapkan mengubah brand atau rebranding sebuah objek wisata itu bukan sekadar bikin logo dan slogan. Tetapi harus ada pengunjung, produk, layanan, seni budaya, lanskap, dan seterusnya. Kalau produknya payah dan aksesnya buruk maka promosi sebagus apa pun tidak akan berhasil.

Logo yang sederhana tetapi produknya bagus dengan strategi pemasaran yang luar biasa maka branding produk pun bisa luar biasa.

Rebranding itu berkaitan kualitas layanan kepada orang [pengunjung]. Apa yang dirasakan itu tergantung dengan apa yang dipikirkan sehingga semua itu ditentukan kepala,” jelasnya.

Citra destinasi wisata menjadi menarik bagi investor. Dalam konteks Gunung Kemukus, lanjut Prof Ike, rebranding diupayakan sejak 2019 tetapi citra negatif yang berkembang ternyatak terjadi sejak 1934.

Baca Juga: Dicari, Formula untuk Rebranding Gunung Kemukus Sragen

“Untuk mengubah citra negatif itu perlu upaya dan akselerasi. FGD ini diadakan dalam rangka akselerasi itu,” jelasnya.

Ia mengaku rebranding terhadap Gunung Kemukus lebih sulit daripada rebranding objek wisata yang tidak dikenal menjadi terkenal.

 

Sementara itu, Sekretaris Dinas Pariwisata Pemuda dan Olahraga (Disparpora) Sragen, Darmawan, menyampaikan wisata religi biasanya memiliki basis massa pengunjung dalam konteks agama. Seperti makam Sunan Kudus yang memiliki target pengunjung yang jelas.

Sementara Gunung Kemukus, menurut Darmawan, sulit melihat segmen pasarnya. Ini karena sosok Pangeran Samudro ini bukan ulama besar seperti Sunan Kudus, ditambah lagi  ada balutan kisah keliru soal perselingkuhannya.

“Untuk mengangat religi dan keluarga itu, bisa dibuat pernik-pernik tentang Pangeran Samudro di prominade supaya akar sejarahnya tetap ada,” ujarnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya