Tentang Islam diasuh oleh H. Muhammad Amir, S.H., C.N., Ketua Majelis Pembina Yayasan Pendidikan Islam Al Mukmin Ngruki, Sukoharjo. Tentang Islam juga dimuat di subrubrik Ustaz Menjawab Khazanah Keluarga Harian Umum Solopos, setiap Jumat.
Solopos.com, SOLO — Pembahasan mengenai hukum pelaksanaan salat gaib untuk anggota keluarga yang meninggal di luar negeri, menjadi topik utama ulasan ustaz.
Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi
Jawaban ustaz mengenai hukum salat gaib dalam konteks permasalahan tersebut pernah dimuat di Harian Umum Solopos edisi Jumat (12/12/2014) lalu.
Pertanyaan
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Pak Ustaz, kakek saya bernama H. Partojumeno, umur 82 tahun. Meninggal dunia di Mekah setelah towaf wadak. Kakek saya disalatkan jenazah di Masjidil Haram di Mekah, sedang nenek saya usia 70 tahun, bisa pulang dengan selamat beserta rombongan dari Solo.
Apakah keluarga di Solo harus menyalatkan gaib terhadap kakek saya yang meninggal dunia di Mekah?
Bagaimana hukumnya salat gaib bagi jenazah yang meninggal dunia di luar negeri? Wajib atau sunah?
Mohon dijelaskan, terima kasih.
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh. [Kel. Alm. H. Partojumeno, Waru, Baki, Sukoharjo]
Ustaz Menjawab
Wa’alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh.
Keluarga H. Partojumeno (alm) yang dirahmati Allah. Di Negara kita Indonesia yang kebanyakan mengikuti Madzhab Syafi’i, maka apabila ada keluarga yang meninggal dunia maka salat jenazah hukumnya sunah muakat. Jadi apabila sudah ada sebagian umat Islam sudah melakukan salat jenazah, maka yang lain tidak wajib menyalatkan jenazah, jadi tidak berdosa.
Akan tetapi apabila ada saudara muslim meninggal dunia di luar daerah, maka salat gaib hukumnya sunah saja.
Dalam hal salat gaib, ada beberapa ulama yang berbeda pendapat. Di antara mereka ada yang berpandangan bahwa setiap ada orang Islam yang meninggal dunia, maka harus dilaksanakan salat gaib untuknya. Sedangkan ulama yang lain mengatakan, seseorang tidak salat gaib kecuali setelah mengetahui berita kematian seseorang. Sebagian lain ada yang berpandangan, harus menyalatkan jenazah yang diketahui, ia memiliki manfaat bagi kaum muslimin berupa ilmu dan amal. Pendapat yang lebih kuat adalah, mayit tidak disalatkan, kecuali oleh orang yang belum menyalatkannya.
Pada masa Khulafairrosyidin, banyak orang yang meninggal dunia dari kalangan kaum muslimin, namun mereka tidak disalatkan secara gaib, karena asal ibadah dalam Islam hukumnya haram (dilarang), kecuali ada contoh dan tuntunan dari Nabi Muhammad SAW, yaitu ada dalil yang memerintahkannya.
Jadi semua ibadah dalam Islam harus ada tuntunannya, ada dalilnya, maka ibadah yang diadakan, padahal di zaman Rasulullah SAW tidak ada, maka hal demikian disebut bit’ah.
Semua amal bit’ah adalah sesat dan semua amal yang sesat ditolak dan terkena sangsi masuk neraka.