SOLOPOS.COM - Pendukung Donald Trump merayakan kemenangan calon Presiden AS dari Partai Republik, di Manhattan, New York, AS, Selasa (8/11/2016). (JIBI/Solopos/Reuters/Brendan McDermid)

Rupiah anjlok selama tiga hari terakhir karena efek analisis terhadap kebijakan Donald Trump.

Solopos.com, JAKARTA — Bank Indonesia (BI) menilai volatilitas pergerakan rupiah disebabkan oleh aksi jual valuta asing di pasar. Hal ini dipicu pengaruh analis global yang membuat penelaahan mengenai kebijakan proteksionisme di Amerika Serikat setelah terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden AS.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Deputi Gubernur Senior Mirza Adityaswara mengatakan kebijakan porteksionisme AS akan membuat ekspor dari negara berkembang ke AS terhambat. Hal itu membuat negara-negara yang memiliki keterkaitan langsung dengan AS dalam kegiatan ekonomi seperti kita mata uang Meksiko mengalami pelemahan 10% dalam sehari ketika Trump terpilih, walaupun kemudian pelemahan itu menurun menjadi 7%.

Hingga saat ini, kebijakan yang proteksionis masih mempengaruhi pasar di negara berkembang seperti Brazil yang mata uangnya mengalami pelemahan 4,9%, Afrika Selatan 4,8%, dan mata uang Meksiko yang akhirnya terdepresiasi 3,5%.

“Pasar Non-Delivarable Forward melemah tanpa melihat fundamental Indonesia, pokoknya melihat currency yang lain melemah. Maka para trader yang karena lihat pembukaan Rp13.400/dolar AS karena semalam mengikuti apa yang terjadi di Meksiko, Brazil, dan lain-lain,” ucapnya, di Jakarta, Jumat (11/11/2016).

Saat kurs rupiah hingga Jumat (11/11/2016) siang sudah mencapai level psikologis Rp13.700 per dolar AS, bank sentral telah melakukan stabilisasi di dua pasar sekaligus yaitu valas dan Surat Berharga Negara (SBN). BI telah mengumumkan ke peserta pasar bahwa otoritas moneter itu siap membeli SBN dan melakukan lelang.

Mirza menyatakan setelah pasar melihat BI hadir di pasar valas dan SBN, rupiah bisa kembali ke level kisaran Rp13.500 per dolar AS. Dia menegaskan bahwa Indonesia tidak akan membatasi pasar valas di pasar uang antarbank sehingga pasar bisa berjalan seimbang baik dari sisa suplai dan permintaan.

“Dan para eksportir juga sudah mulai masuk untuk suplai valas itu yang membuat kembali stabil,” ucapnya.

Mirza menambahkan Indonesia lebih terpengaruh terhadap kondisi perekonomian di China ketimbang di AS. Perlambatan ekonomi China yang terjadi sejak 2012 telah menyeret harga komoditas menurun sehingga membuat ekonomi di Sumatra dan Kalimantan jatuh.

Namun, faktor eksternal dari The Fed justru bisa membuat rupiah bergejolak terutama ketika bank sentral AS itu memilih untuk menaikkan suku bunga acuannya. Menurut dia, beberapa analis menyatakan perkiraan The Fed justru tidak akan menaikkan suku bunganya di akhir tahun ini.

“Ya, tentu itu wilayah kewenangan The Fed, kita hanya bisa membaca situasi saja. Malah jika mungkin Fed enggak akan naikkan [suku bunga] Desember, justru akan bagus buat emerging market,” ujarnya.

Senior Economic Analyst Kenta Institute Eric Alexander Sugandi menuturkan ada dua persepsi yang berkembang mengenai kebijakan di AS. Pertama, kebijakan fiskal yang ekspansif Trump akan membuat tekanan inflasi AS sehingga The Fed akan lebih agresif menaikkan suku bunga.
Persepsi kedua, defisit anggaran yang membengkak di AS akibat fiskal yang ekspansif akan diiringi pemangkasan pajak. Dampaknya, AS mesti menambah surat utang.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya