SOLOPOS.COM - Ilustrasi Pelecehan Seksual (Solopos/Whisnupaksa)

Solopos.com, KARANGANYAR — Tekanan ekonomi jamak menjadi penyebab utama terjadinya kekerasan dalam rumah tangga atau KDRT yang menimpa banyak rumah tangga di Karanganyar.

Meskipun begitu, kasus-kasus tersebut seringkali disembunyikan dan tak terlaporkan lantaran dilakukan oleh orang terdekat korban.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Adanya wabah Covid-19 semakin memperburuk keadaan lantaran dampak ekonomi yang dirasakan berpengaruh pada potensi terjadinya KDRT.

Hal tersebut diungkapkan oleh Kepala Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana (DP3AKB) Karanganyar, Agam Bintoro, ketika berbincang dengan Solopos.com di ruangannya Jumat (23/10/2020).

Dia membeberkan jumlah angka KDRT yang terdeteksi selama semester I 2020 mencapai 31 kasus. Dari 31 kasus tersebut terdapat 35 jenis kekerasan yang dialami oleh korban.

“Memang saat wabah Covid-19 ini laporan kasus KDRT terhadap perempuan dan anak cenderung meningkat. Tahun kemarin itu, tidak sampai 31 kasus, tahun ini baru sampai Oktober sudah mencapai 31 kasus. Bisa dirasakan sendiri, dampak ekonomi itu salah satu pemicu terjadinya kasus tersebut. Banyak yang dirumahkan, dan kehilangan pekerjaan. Contohnya, yang biasanya keluarga itu bisa membeli apa pun sekarang harus hidup terbatas yang bisa menimbulkan cekcok dan berujung KDRT,” jelas dia.

Ironinya, berdasarkan laporan yang ditangani DP3AKB Karanganyar, korban kekerasan terbanyak merupakan anak sejumlah 21 orang diikuti korban dewasa sebanyak 10 orang.

Berdasarkan bentuk kekerasan, sebanyak 15 kasus merupakan kekerasan fisik, kekerasan psikis sebanyak lima kasus, kasus kekerasan seksual sebanyak 14 kasus, dan penelantaran sebanyak satu kasus.

Dijuluki Si Pencuri Penglihatan, Ini Indikasi Dan Penyebab Glaukoma

Dari sekian banyaknya kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak yang ditangani selama semester I 2020, Agam meyakini di luar sana masih banyak kasus yang belum terdeteksi.

Faktor pelaku kekerasan yang merupakan orang dekat menjadi alasan utama kasus-kasus tersebut tak bisa diintervensi oleh Pemkab maupun lembaga lainnya yang bergerak di bidang perlindungan anak dan perempuan.

Agam berharap masyarakat lebih berani dalam bertindak apabila menemui kasus KDRT dan tidak ikut menutupi kasus tersebut.

“Meskipun lumayan banyak yang kami tangani, tapi saya yakin masih banyak yang belum terlaporkan. Seperti gunung es. Masalahnya kasus KDRT itu biasanya dilakukan oleh orang terdekat, contoh suami melakukan kekerasan fisik kepada istrinya atau kalau kasus anak itu dilakukan oleh orang tua sendiri. Sedangkan orang lain merasa tidak bisa mengintervensi karena menganggap itu urusan internal keluarga. Itu yang harus diubah,” imbuh dia.

Budaya Patriaki

Terpisah, Direktur Yayasan Spekham, Rahayu Purwaningsih, juga mengatakan laporan KDRT ke pihaknya mengalami peningkatan selama pandemi Covid-19.

Berdasarkan catatan laporan yang dimiliki Spekham, pada 2019 sebanyak 65 kasus KDRT ditangani. Sedangkan pada semester I 2020 yaitu selama Januari hingga Juni, kasus KDRT yang ditangani sudah mencapai angka 65 kasus juga.

“Memang ada peningkatan dan dampak pandemi ini sangat berpengaruh menjadi salah satu pemicu adanya KDRT. Kemungkinan untuk tahun ini bisa meningkat kasus yang kami terima, tapi sepertinya tidak sebanyak pada semester I,” jelas dia ketika dihubungi Espos Senin (26/10/2020).

Wabah Covid-19 sebagai salah satu pemicu dinilai karena budaya patriarki di Indonesia yang membebani perempuan dengan banyak tugas di rumah. Tekanan ekonomi dirasa membebani psikologis perempuan dalam rumah tangga yang semakin kompleks dan menimbulkan adanya KDRT.

Bukan Hanya Air Putih, Ini Minuman Tersehat Di Dunia

“Pastinya pandemi itu berpengaruh dengan adanya tekanan ekonomi saat beban meningkat dan pendapatan menurun bisa menimbulkan konfilk yang berujung pada KDRT. Beban mengajari anak belajar di rumah juga diserahkan kepada perempuan juga yang akhirnya membuat situasi semakin memanas,” tutur dia.

Menurut Ayu, panggilan akrabnya, kasus-kasus KDRT masih banyak yang belum terungkap. Hal ini lantaran minimnya sosilasiasi oleh pemerintah. Sehingga, banyak korban yang tidak tahu harus mendapatkan perlindungan dan pembelaan di mana ketika menerima kekerasan.

“Banyak yang belum terdeteksi. Pemerintah harus bisa lebih giat sosialiasi. Jadi masyarakat itu bisa tahu ke mana harus cari perlindungan, kemana harus cari pembelaan. Korban banyak yang diam karena tidak tahu harus mengadu ke mana,” jelas dia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya