SOLOPOS.COM - Ahmad Ubaidillah (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO – Video  ceramah budayawan Emha Ainun Nadjib alias Cak Nun viral di media massa dan media sosial. Dalam video tersebut, Cak Nun menyebut beberapa orang berkuasa di Indonesia sebagai Firaun, Haman, dan Qorun.

Respons masyarakat atas pernyataan Cak Nun beragam. Ada yang membela, ada yang mencela. Esai ini tentu saja tidak mendedahkan pembicara dan penulis prolifik yang dimiliki bangsa Indonesia itu.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Esai ini juga tidak membahas tanggapan pro dan kontra atas pernyataan Cak Nun, sebagaimana gencar dikabarkan media massa dan media sosial akhir-akhir ini. Esai singkat ini membabar peran intelektual dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang, saya kira, sudah mulai dilupakan, bahkan ditinggalkan.

Antonio Gramsci, filsuf Italia, dalam buku The Prison Notebook, mengatakan semua manusia adalah intelektual, tetapi tidak semua orang dalam masyarakat memiliki fungsi intelektual.

Fungsi intelektual tidak hanya menafsirkan realitas di sekitarnya, tetapi juga berkeinginan kuat mengubah keadaan yang bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan.

Artinya, ketidakadilan, penindasan, kekuasaan korup, dan semacamnya akan menjadi perhatian serius seorang intelektual. Fungsi intelektual yang tak kalah mencerahkan dikemukakan Noam Chomsky, linguis dan filsuf Amerika Serikat, dalam The Responsibility of Intellectuals.

Chomsky mengatakan intelektual dengan status istimewa berkewajiban memajukan kebebasan, keadilan, kemanusiaan, dan perdamaian. Kaum intelektual tidak hanya bertugas membongkar kebohongan penguasa, tetapi juga menjelaskan sejauh apa kita terlibat dalam kejahatan itu dan bagaimana menghentikannya.

Julien Benda, filsuf Prancis, dalam buku The Treason of the Intellectuals memandang intelektual sebagai tokoh universal yang memperjuangkan nilai-nilai yang dihormati di tempat mana pun nilai-nilai itu dilanggar dan tidak merasa terikat secara khsusus pada suatu negara, bangsa, atau kebudayaan.

Dalam literatur filsafat ada istilah parrhesia. Istilah tersebut saya temukan dalam buku Parrhesia karya Michel Foucault, filsuf Prancis. Foucault menjelaskan parrhesia umumnya diterjemahkan sebagai “berbicara bebas” (dalam bahasa Inggris free speech, dalam bahasa Prancis franc-parler, dan dalam bahasa Jerman feimuthigkeit).

Parrhesiates adalah orang yang menggunakan parrhesia, yaitu seseorang yang membicarakan dan menyuarakan kebenaran. Kata perrhesia muncul kali pertama dalam kesusastraan Yunani pada karya-karya Euripides, sekitar tahun 484-407 SM.

Kata ini selanjutnya berkembang luas di dunia kesusastraan Yunani antik sejak akhir abad kelima SM. Orang yang melakukan parrhesia, parrhesiates, adalah orang yang mengatakan segala sesuatu yang ia pikirkan.

Ia tidak menyembunyikan apa pun, tetapi membuka hati dan pikirannya kepada orang lain melalui wacananya. Dalam parrhesia, pembicara menyampaikan paparan lengkap dan tepat tentang apa yang ia pikirkan sehingga pendengar mampu memahami secara utuh apa yang dipikirkan oleh pembicara.

Keberanian

Orang dikatakan menerapkan parrhesia dan layak dianggap sebagai parrhesiates hanya jika terdapat risiko atau bahaya yang menimpanya dalam mengungkap kebenaran. Kita ambil contoh seorang guru tata bahasa Indonesia mungkin menyampaikan kebenaran kepada anak didiknya dan tidak diragukan lagi bahwa apa yang ia sampaikan adalah benar.

Walakin, ia bukan seorang parrhesiates. Mengapa? Karena aktivitas pengungkapan kebenarannya tidak mengandung risiko dan bahaya.  Ketika seorang intelektual menyampaikan bahasa eufemisme seorang penguasa yang tiranik dan menegaskan kepada masyarakat bahwa bahasa halus sang penguasa bertujuan membohongi rakyat dan menutupi informasi yang sebenarnya, sang intelektual itu telah menjadi parrhesiates yang berani mengambil risiko.

Bisa saja sang tiran menjadi murka, yang boleh jadi menghukum, mengasingkan, bahkan membunuh sang intelektual. Parrhesia adalah sebentuk kritik, baik kepada pihak lain maupun kepada diri sendiri.

Kritik selalu dilakukan dalam situasi tatkala pembicara berada pada posisi rendah di hadapan lawan bicara. Parrhesiates selalu kurang berdaya dan bertenaga ketimbang mitra wicara. Parrhesiates datang dari “bawah” dan mengarah ke “atas”.

Parrhesia adalah sebentuk aktivitas yang memiliki hubungan khusus dengan kebenaran melalui keterusterangan, hubungan tertentu atas hidupnya sendiri melalui bahaya, jenis hubungan tertentu kepada dirinya atau orang lain melalui kritik (kritik diri dan orang lain), dan hubungan khusus dengan hukum moral melalui kebebasan dan kewajiban.

Parrhesia adalah aktivitas seseorang yang mengungkapkan hubungan pribadinya dengan kebenaran dan kesediaaan untuk menanggung risiko hidup sebab ia mengakui pengungkapan kebenaran adalah kewajiban untuk meningkatkan atau membantu orang lain.

Cak Nun, sebagai intelektual, sedikit mengungkapkan kebijakan yang dikeluarkan pemerintah sebagai wakil negara yang hingga kini masih menunjukkan ketidakberpihakan kepada rakyat.

Tindakan, pilihan, strategi, atau keputusan terkait ekonomi-politik yang seharusnya untuk kebaikan bersama telah disalahgunakan untuk kesejahteraan segelintir orang. Kebijakan tersebut menjadi remeh, tidak memprioritaskan kepentingan rakyat.

Cak Nun telah sekilas membeberkan kongkalikong antara pelaku ekonomi dan aktor politik yang telah melahirkan tatanan ekonomi dan politik yang hanya menguntungkan kepentingan diri dan kelompok, tanpa memedulikan kepentingan rakyat banyak.

Inilah banalitas kebijakan ekonomi dan keputusan politik yang masih mengganggu kemajuan bangsa Indonesia yang harus mendapat perhatian serius dari intelektual. Akhirnya, tidak cukup intelektual hanya memiliki kepandaian dan kecerdasan dalam ilmu pengetahuan. Intelektual  juga harus memiliki keberanian menyuarakan kebenaran dan keadilan atas nama kemanusiaan meskipun harus menghadapi risiko dan bahaya.

Saya yakin, Indonesia kini sedang hamil tua untuk melahirkan banyak parrhesiates baru: intelektual-intelektual yang tak kenal takut menyuarakan kebenaran di Indonesia tercinta. Inilah tanggung jawab intelektual yang wajib ditunaikan secara terus-menerus.  Emha, menurut saya, melakukan itu.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 28 Januari 2023. Penulis adalah dosen Ekonomi Syariah di Fakultas Agama Islam Universitas Islam Lamongan, Jawa Timur)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya