SOLOPOS.COM - Komisaris Utama BPR Artha Sari Sentosa, Sih Yuanti. (Istimewa)

Solopos.com, SUKOHARJO-- Sih Yuanti, 51, menghadapi tantangan demi tantangan menakhodai usaha perbankan bukan perkara mudah. Ia harus menghadapi krisis ekonomi dengan kredit menembus 55 persen dan bersaing dengan bank konvensional yang menggarap sektor mikro. Lolos dari kemelut itu ia masih harus bersaing dengan financial technology (Fintech).

Terakhir, ia juga harus bertahan menghadapi dampak multidimensi gelombang pandemi Covid-19. Komisaris Utama BPR Artha Sari Sentosa ini membagikan cerita, kiat, dan pengalamannya jatuh bangun mengelola BPR kepada Solopos.com. Berikut cuplikannya.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Bagaimana awal mula mendirikan BPR Artha Sari Sentosa?

Pada akhir kuliah, saya tertarik ke bisnis. Kebetulan juga karena lingkungan [orang tua berlatar wirausahawan]. Orang tua saya pada waktu itu menawarkan tiga unit bisnis: wartel, SPBU, dan BPR [Bank Perkreditan Rakyat]. Bapak [almarhum Sri Joko] minta pertimbangan saya. Waktu itu modalnya di angka yang sama.

Dulu Bapak kan dagang hasil bumi. Jadi sering lihat petani kalau panen banyak didatangi rentenir. Dari situlah terus dipilih BPR agar petani tak lagi terjerat rentenir.

Baca Juga: Neraca Jahe Dalam Negeri Masih Positif, Ini Penjelasan Kementan

Bagaimana Anda membangun product knowledge kepada para karyawan?

Memang seharusnya ada yang namanya HRD [Human Resources and Development]. Menyusun kurikulum untuk training. Di kami belum ada. Begitu masuk, [karyawan baru] ketemu senior yang membimbing.

Saya punya mimpi, HRD itu kan seperti kawah candradimuka. Itu masuk dan diajar orang-orang yang mumpuni, kompeten. Ini belum tersistem.

HRD di kalangan BPR juga belum jamak. Itu sudah saya lontarkan [di Paguyuban Pemegang Saham/Komisaris BPR/BPRS Solosaya]. Kadang, HRD dianggap pekerjaan sampingan. Padahal, HRD ini think tank.

Saat bank-bank konvensional ramai-ramai menggarap sektor mikro, mereka merekrut karyawan BPR. Bahkan Anda kehilangan separuh lebih karyawan. Apa yang Anda lakukan setelah itu?

Kami buka rekrutmen. Saya wawancara sendiri dari karyawan. Setiap dua pekan sekali ada meeting besar. Saya keliling ke kantor-kantor besar. Ketika ada senior-senior ditarik bank besar, saya sampaikan kepada mereka, justru di sini tantangan buat kalian jadi pemimpin di sini.

Berapa sih insentifnya mereka? Ya kami buat juga. Kami alokasikan di situ bonus-bonus. Ada target di mana pencapaian karyawan 70 persen akan mendapatkan bonus.

Selain itu, ada asosiasi pemegang saham/komisaris BPR Soloraya. Saya jadi sekretarisnya. Saya bilang, BPR ini ladang kita. Kita enggak boleh bersaing sesama BPR. Kita bersaing dengan bank umum.

Kita mulai ada training untuk komisaris. Bisa kok BPR itu kita buat bagus bukan hanya setor modal.

Bagaimana cara Anda agar nasabah loyal kepada BPR Artha Sari Sentosa?

Ada hal-hal yang juga dilakukan lainnya seperti hadiah dan mengundang ke acara. Namun, ada hal di mana kami sebagai pemegang saham menjadi “ruh”. Orang melihat Artha Sari orang melihat siapa sih? Bukan BPR, tapi siapa yang di belakangnya.

Apalagi setelah ayah saya meninggal, semua tertumpu kepada saya. Saya harus bisa menjaga kepercayaan ini.

Baca Juga: UMKM Indonesia Dinilai Susah Ekspor, Ini 5 Biang Keladinya

Selain itu, apalagi?

Ada empati. Saya selalu tanamkan ini kepada karyawan. Ini sangat kuat sekali. Saya lahir dari orang tua yang bekerja, berdagang, sehingga pada waktu kecil saya diasuh oleh pengasuh. Saya dekat pengasuh. Ini yang membuat saya tergerak.

Orang tua juga selalu menanamkan jadi orang yang bersosial atau charity. Kini, setiap 2,5 persen laba kami zakat kan setiap tahun. Kalau laba Rp1 miliar, ada Rp25 juta yang bukan hak kami. Kami berikan dalam bentuk sembako di sekitar BPR, anak-anak juga mendapatkan santunan. Ketika ada sesuatu kejadian kemudian empati muncul. Kedekatan dengan masyarakat ini menjadi awal hubungan yang lebih baik.

Kalau membangun hubungan dengan karyawan bagaimana?

Saya sering main ke kantor kas dan cabang. Pas main ke kantor, saya bawa makaan sendiri. Saya yang nyuguh mereka gantian sambil ngobrol. Awalnya, mereka [karyawan] keberatan karena khawatir merepotkan. Saya enggak ngerepotin karena saya bawa makanan sendiri. Tapi, lama-lama mulai bisa mengatur waktu.



Dari kunjungan-kunjungan itu saya tahu permasalahan-permasalahan mereka. Kantor kas, misalnya ada teller komputernya kadang trouble. Kalau kita gak ke situ kan kita gak tahu.

Baca Juga: OJK Ungkap Orang Indonesia Belanja Asuransi Hanya Rp145.000 Per Bulan

Di tengah-tengah kesibukan mengelola beberapa perusahaan, bagaimana tip Anda membagi waktu dengan keluarga?

Awalnya, kalau diatur enggak bisa. Mengalir saja. Seperti di sini sudah ada direksi. Saya percaya sama mereka. Kadang ketika ada meeting besar, saya hadir. Progresnya ada.

Sekarang anak-anak belajar dari rumah. Ini mendekatkan kami. Jadi akhirnya, kadang saya ajak anak pergi bareng saat weekend. Sekarang malah bisa gara-gara pandemi. Sebelumnya enggak bisa. Sekarang jadi bisa antar anak-anak.

Apakah anak-anak tidak protes soal kesibukan Anda memimpin sejumlah perusahaan?

Awal-awalnya mereka protes. “Mom, kok gak pernah ada pas kita butuh.” Tapi, sekarang dengan adanya teknologi beda ya. Meeting bisa Ms. Team [Microsoft Team]. Mereka sudah mulai paham. Kalau saya agak lama di Jakarta, saya harus ngijoli. Ngajak jalan, nginep di hotel cuma untuk menemani mereka berenang…ha-ha-ha.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya