SOLOPOS.COM - Ilustrasi debt collector. (Freepik)

Solopos.com, JAKARTA –– Mahkamah Konstitusi (MK) memperjelas posisi lembaga pembiayaan (multifinance) atau leasing, penagih atau debt collector, dan debitur dalam kondisi penarikan objek jaminan fidusia tanpa proses pengadilan.

Sekadar informasi, pada kisaran awal 2020, MK menafsirkan ulang ketentuan berkaitan kondisi eksekusi sendiri oleh pihak kreditur di dalam UU No. 42/1999 tentang Fidusia, lewat Putusan No. 18/PUU-XVII/2019. Ketika itu, pemohon merupakan sepasang suami-istri yang menerima kerugian dari praktik penarikan objek jaminan fidusia yang sewenang-wenang.

Promosi Layanan Internet Starlink Elon Musk Kantongi Izin Beroperasi, Ini Kata Telkom

MK mewajibkan eksekusi objek jaminan fidusia yang tidak diserahkan ‘sukarela’ oleh debitur harus mengikuti prosedur hukum berdasarkan putusan pengadilan. Hal ini demi menjamin kesetaraan posisi antara kreditur dan debitur.

Terkini, perwakilan pihak kolektor atas nama Joshua M Djami memohon MK untuk mempertimbangkan kembali keputusan lamanya. Namun, kini telah resmi ditolak MK lewat putusan No. 2/PUU-XIX/2021.

Baca Juga: Penerimaan Pajak, KPP Pratama Sukoharjo Tertinggi KPP Madya Surakarta Terendah

Sebelumnya, Joshua mengungkap bahwa keputusan MK membuat multifinance dan kolektor di lapangan menjadi kesulitan mendapatkan haknya ketika menagih kewajiban yang harus dipenuhi oleh debitur atau pemberi hak fidusia.

MK menyebut telah jelas dan terang benderang sepanjang debitur telah mengakui adanya ‘cidera janji’ (wanprestasi) dan secara sukarela menyerahkan benda yang menjadi objek dalam perjanjian fidusia, maka menjadi kewenangan sepenuhnya kreditur untuk dapat melakukan eksekusi sendiri (parate eksekusi).

Adanya ketentuan tidak bolehnya pelaksanaan eksekusi dilakukan sendiri melainkan harus mengajukan permohonan pelaksanaan eksekusi kepada Pengadilan Negeri, pada dasarnya telah memberikan keseimbangan posisi hukum antara debitur dan kreditur serta menghindari timbulnya kesewenang-wenangan dalam pelaksanaan eksekusi.

“Sedangkan terhadap debitur yang telah mengakui adanya wanprestasi dan secara sukarela menyerahkan objek jaminan fidusia, maka eksekusi jaminan fidusia dapat dilakukan oleh kreditur atau bahkan debitur itu sendiri,” tulis MK dalam amar putusannya.

Baca Juga: Kredit Macet? Begini Tips Agar Kendaraan Tidak Ditarik Leasing

Artinya, apabila kolektor bisa memberikan bukti bahwa debitur melanggar perjanjian awal, misalnya terlambat membayar melewati batas dan telah diberikan surat peringatan, penarikan barang secara sendiri boleh dilakukan. Kemudian, apabila debitur masih ngotot, maka tak perlu menggunakan ‘pemaksaan’ karena pengadilan yang nantinya akan memutuskan.

Bahkan, MK menambahkan baik eksekusi sendiri oleh kreditur karena telah ada kesepakatan awal dengan pihak debitur, maupun eksekusi yang diajukan melalui pengadilan negeri, tetap dimungkinkan bantuan dari kepolisian dengan alasan untuk menjaga keamanan dan ketertiban dalam proses pelaksanaan eksekusi.

Adapun, untuk menjawab keluhan berkaitan dampak keputusan No. 18/PUU-XVII/2019 yang disebut membuat proses eksekusi yang makin lama, biaya eksekusi lebih besar dibanding pendapatan barang fidusia, dan berpotensi hilangnya objek jaminan di tangan debitur, MK menyebut hal ini sesungguhnya lebih kepada persoalan-persoalan konkret.

MK menyarankan apabila hal-hal yang dikawatirkan multifinance dan kolektor terjadi karena debitur memang berniat nakal, maka kasus tersebut bisa diselesaikan secara hukum karena jelas adanya pelanggaran perdata.

Baca Juga: Tak Perlu ke Kantor Samsat, Ini Syarat dan Cara Bayar Pajak Motor Online

Tetap Berhati-Hati

Menanggapi hal ini, Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI) Suwandi Wiratno menjelaskan bahwa lewat keputusan ini, industri multifinance akan terus berhati-hati dalam hal eksekusi.

“Setiap hari itu ada jutaan aktivitas collection di seluruh Indonesia. Terpenting, para pemain berhati-hati dan tidak melanggar aturan main. Karena kasus-kasus yang mengemuka itu biasanya karena ada oknum yang melakukan upaya penagihan semaunya sendiri. SDM yang berkualitas pasti akan menjaga kredibilitas perusahaan,” jelasnya kepada Bisnis belum lama ini.

Apalagi, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) akan memberi sanksi kepada perusahaan pembiayaan yang tidak memenuhi ketentuan, mulai berupa sanksi peringatan, pembekuan kegiatan usaha, hingga pencabutan izin usaha.

Perlu dipahami, bagi leasing, eksekusi sendiri di lapangan pun urung dilakukan apabila debitur bisa diajak komunikasi baik-baik, mudah dihubungi, dan mau menerima proses restrukturisasi atau rescheduling.

Baca Juga: Bantuan Subsidi Upah Rp1,8 Juta untuk Guru Hononer Sudah Cair Hlo, Ini Cara Ceknya

Eksekusi terpaksa digelar apabila telah mencapai kondisi di mana debitur ada tapi barang sudah tidak ada, atau sebaliknya ketika debitur ‘lari’. Terlebih, yang paling parah, yaitu apabila keduanya sudah tidak diketahui keberadaannya dalam waktu lama.

Selain itu, Suwandi menegaskan bahwa setiap multifinance yang menggunakan jasa debt collector dalam penagihan, wajib memastikan mereka memiliki sertifikasi, dan sebelumnya telah mengirimkan surat peringatan terlebih dahulu kepada nasabah, sesuai aturan yang berlaku.

“Semua penagih internal, perusahaan collection, pengurus, sampai debt collector yang terjun ke lapangan, itu pasti semua kita awasi sertifikasinya. Berlaku tiga tahun, diperpanjang seperti SIM [surat izin mengemudi]. Kita juga evaluasi kinerja mereka secara profesional,” tambahnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya