SOLOPOS.COM - Ilustrasi prostitusi. (Dok. Solopos.com)

Solopos.com, SOLO — Sejak puluhan tahun lalu, tepatnya tahun 1960 hingga 1961, Kota Solo mulai dikenal sebagai surganya kaum lelaki hidung belang. Citra itu muncul seiring berdirinya kawasan resosialisasi Silir di Semanggi, Pasar Kliwon, yang pada praktiknya berubah menjadi lokalisasi.

Kawasan lokalisasi di Silir itu didirikan atas inisiasi Pemkot Solo yang kala itu dipimpin Hutomo Ramelan.Tapi sejatinya, jauh sebelum munculnya lokalisasi Silir, bisnis esek-esek sudah eksis di wilayah ini.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Hal itu diungkapkan Ketua Solo Societeit, sebuah komunitas pecinta sejarah Solo, Dani Saptoni, kepada Solopos.com, Senin (22/11/2021). Menurut dia jauh sebelum lahirnya Silir, ada tiga tempat di Solo yang menjadi lokalisasi para pelaku seks komersial (PSK). Tiga kawasan lokalisasi atau tempat prostitus di Solo itu yakni Kratonan, Serengan; seputaran Kestalan, serta kawasan Gilingan.

“Yang lokalisasi di Kratonan muncikarinya seorang Tionghoa, namanya Nyah Jengkel itu. Kalau yang Gilingan letaknya paling di sekitaran utara Balapan. Karena prostitusi Solo zaman dulu sumbernya pusat-pusat keramaian,” ujar dia.

Baca juga: Prostitusi Solo Tak Akan Hilang Hanya Dengan Razia, Terus Apa Solusinya?

Pusat keramaian tersebut menurut Dani seperti pasar dan simpul-simpul sarana transportasi masyarakat. Sebab tempat-tempat tersebut menjadi lokasi pertemuan banyak orang, sehingga memicu munculnya praktik prostitusi.

Dani mengisahkan tiga lokalisasi tersebut dilegalkan oleh Pemerintah Hindia Belanda dan pemerintah praja setempat. Pemerintah praja yang dimaksud yakni baik Keraton Kasunanan Surakarta, serta Pura Mangkunegaran. “Yang oleh Kasunanan itu di wilayah Kratonan, sedangkan yang oleh Mangkunegaran di Kestalan dan Gilingan,” kata dia.

Menurut Dani, tiga lokalisasi atau tempat prostitusi di Solo itu dulu banyak dikunjungi oleh para prajurit militer pemerintah Hindia Belanda. Sebab banyak di antara prajurit Hindia Belanda itu yang bertugas di Solo tanpa didampingi istrinya. “Konsumen tiga lokalisasi ini para prajurit militer dan pedagang dari luar kota,” papar dia.

Baca juga: Prostitusi Online di Semarang Diungkap, Indekos Jadi Tempat Esek-Esek

Dani menjelaskan, kendati tiga lokalisasi itu dilegalkan, tetap ada norma-norma atau aturan hukum yang berlaku. Hal tersebut merujuk buku Pranatan Pasundelan tahun 1858 yang berisi regulasi dalam mengatur prostitusi di Solo.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya