SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Terorisme di negeri ini bak selebritis, kian populer. Setelah serangkaian penembakan polisi di Solo, muncul ledakan di Depok, lalu penggerebekan oleh Tim Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror di Bojonggede Bogor yang diduga sebagai tempat penyimpanan bahan peledak.

Serangkaian penembakan dan penggerebekan di Solo beberapa hari lalu masih berlanjut ke Beji, Depok. Tiga orang terluka, satu di antaranya luka parah. Jarak ledakan hanya lima meter dari menara jaringan listrik tegangan tinggi itu menjebol atap, pintu dan dinding rumah.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Ledakan ini juga hanya berselang tiga hari setelah penangkapan teroris, Firman, di Perumahan Anyelir 2, Depok. Dalam penangkapan itu, polisi menemukan bahan peledak dalam jumlah besar. Selain itu juga bom aktif, pistol pietro baretta dan dua senjata rakitan jenis mitraliur.

Soal ledakan di Depok, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) menolak disebut bahwa pemerintah khususnya BNPT kecolongan. Kepala BNPT Ansyaad Mbai menyebut telah melakukan pemantauan sebelum ledakan terjadi.

Bahkan pihak BNPT dikatakan sudah masuk ke dalam rumah yang dikamuflase menjadi Yayasan Yatim Piatu Pondok Bidara dan pengobatan bekam. Intel juga sempat mengikuti pengobatan bekam untuk memantau aktivitas di dalam rumah. Ansyaad Mbai mengatakan tak ditemukan bukti fisik, namun ketika intel keluar tiba-tiba terjadi ledakan.

Tentu saja pernyataan ini membuat kening berkerut. Tak ingin disebut kecolongan, namun berulang kali pemerintah dibuat kecele dengan ulah teroris. Pertanyaan lain yang juga muncul di permukaan adalah kenapa kasus teror di negeri ini hampir selalu berdekatan waktunya dengan peristiwa politik lainnya?

Sebut saja kasus penembakan di Solo yang berdekatan dengan pemilihan Joko Widodo atau Jokowi sebagai Gubernur Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta. Sebagian menyebut penembakan itu adalah untuk mencoreng citra Jokowi, yang notabene masih menjabat sebagai Walikota Solo. Kasus di Depok juga disebut sebagai bentuk kekacauan menjelang pemilihan Gubernur DKI.

Belakangan Densus 88 memang makin getol memutus jaring terorisme. Pengamat terorisme menyebut bibit-bibit teroris kini telah dipetakan oleh aparat keamanan. Meski demikian, pemerintah disebut perlu strategi yang lebih tepat sasaran.

Pendekatan yang dilakukan adalah dengan deradikalisasi. BNPT diminta lebih gencar menggerakkan program ini, yaitu membidik kaum muda radikal yang berpotensi menjadi teroris. Caranya tentu dengan mengajak berdialog dan disadarkan menjauhi jalan kekerasan.

BNPT tentu tak bisa tinggal diam dengan hanya memantau para teroris yang sudah “jadi”. Bibit atau sel-sel baru dan “calon sel” teroris potensial juga diputus sejak dini. Negeri ini tampaknya menjadi lahan subur tumbuhnya para teroris. Jika tak segera membidik lebih awal bibit atau sel, tak pelak lagi terorisme akan makin subur.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya