SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Peristiwa tragis yang mengoyak rasa kemanusiaan kembali terjadi di Jogja. Seorang gadis pemandu karaoke, pada Rabu (12/9) dini hari menjadi korban pemerkosaan oleh empat orang laki-laki yang belum diketahui identitasnya. Yang lebih biadab, setelah diperkosa secara beramai-ramai, sang gadis dibuang di tengah jalan dalam keadaan telanjang bulat! Sungguh perbuatan yang telah menginjak-injak rasa kemanusiaan.

Rifka Annisa, lembaga swadaya masyarakat yang bergerak pada isu penghapusan kekerasan terhadap perempuan di Jogja mencatat, sepanjang  2011, telah terjadi 43 kasus perkosaan di wilayah Jogja. Data tersebut didukung pula oleh laporan dari Komnas Perempuan bahwa selama kurun waktu 1998 hingga 2010 terjadi 4845 kasus perkosaan di Indonesia. Bahkan pada 2010 kasus kekerasan seksual mencapai angka 3.090 kasus per tahun.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Di Indonesia, kasus perkosaan bahkan dilaporkan menempati peringkat nomor kedua  setelah pembunuhan. Tingginya kasus perkosaan di Indonesia menunjukan bahwa masih belum terjaminnya perlindungan terhadap perempuan dari segala bentuk kekerasan seksual dan perkosaan.

Pada tataran hukum, banyak terjadi praktik-praktik hukum yang tidak menguntungkan bagi korban kasus perkosaan. Jika menilik pada Pasal 285 KUHP disebutkan ancaman hukuman bagi pelaku tindak pidana pemerkosaan adalah selama-lamanya duabelas tahun penjara. Sementara  pada prakteknya, sangat jarang hakim yang menjatuhkan vonis hukuman maksimal pada para pelaku.

Di Indonesia, kasus perkosaan sejauh ini masih dimasukan dalam pasal kesusilaan KUHP.  Sebagai konsekuensinya, jerat hukum yang diberikan untuk pemerkosa hanya sebatas hukuman tindakan asusila. Padahal, perkosaan bukan lagi sekedar tindakan asusila, perkosaan merupakan pelanggaran HAM dan kejahatan terhadap kemanusiaan (crime against humanity). Korban akan mengalami trauma fisik terlebih-lebih psikis yang akan berlangsung sepanjang hidupnya.

Sensitivitas aparat penegak hukum dalam menangani korban aksi pemerkosaan juga masih perlu dikritisi. Tak jarang terjadi, korban justru menjadi korban dua kali saat menjalani pemeriksaan di kepolisian. Anggapan bahwa perempuan kerap turut andil dalam terjadinya aksi pemerkosaan, dengan memakai pakaian mini misalnya atau bersikap yang memancing birahi masih sering muncul dalam proses pemeriksaan. Hal inilah yang seringkali memicu kekerasan baru dalam bentuk verbal maupun yang menekan psikologis korban.

Untuk itu kami sepakat, tingginya angka kasus pemerkosaan di masyarakat harus menjadi perhatian lebih dari berbagai elemen masyarakat khususnya aparat penegak hukum. Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan harus menindak dan menghukum, pelaku kejahatan perkosaan seberat-beratnya. Aparat juga diwajibkan memberikan perlindungan, rehabilitasi kepada korban, hal ini bisa diawali di tahap pemeriksaan dimana aparat hukum wajib menjalankan pemeriksaan hukum yang aman dan nyaman bagi korban dengan menghindari sikap dan perilaku yang membuat korban merasa menjadi korban untuk kali kedua.

Pemerintah bersama masyarakat juga perlu secara terus menerus melakukan upaya pencegahan terjadinya aksi perkosaan, caranya dengan berbagai model edukasi dan promosi kepada masyarakat termasuk menginformasikan ancaman hukuman yang diarahkan kepada pelaku. Yang paling penting dan kadang terlewat adalah perlu dibangunnya lembaga-lembaga atau pusat pelayanan pendampingan untuk korban perkosaan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya