SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Kerukunan umat beragama di Indonesia, Tanah Air tercinta kembali terkoyak. Nyawa melayang sia-sia hanya karena perbedaan yang sebenarnya adalah fitrah kehidupan.

Di negeri ini memang terdiri beranekaragam agama, suku, adat istiadat dan budaya, namun seiring waktu toleransi begitu mahal. Perbedaan menjadi alasan sesama muslin saling membunuh.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Minggu (26/8), bentrok antara kelompok warga dan penganut Syiah di Sampang, Madura, pecah. Seorang tewas, puluhan orang luka-luka, dan 35 rumah dibakar. Perbedaan dalam menjalankan ajaran Islam dinilai sebagai pemicu mengapa ada api yang membakar rumah, kenapa ada pisau yang menghunus perut warga syiah hingga meregang nyawa. Jeritan anak-anak, tangis para wanita dari dua kelompok yang katanya satu agama itu tak lagi berguna. Yang ada hanya keegoisan akan rasa benar sendiri.

Ekspedisi Mudik 2024

Kasus perpecahan antar umat beragama bukan pertama kali terjadi di Indonesia. Kasus warga syiah di Sampang bukan yang pertama, tapi yang kesekian kali terjadi di Bumi Pertiwi ini. Masih ingat, bentrokan warga dengan Jamaah Ahmadiyah di Desa Umbulan, Kecamatan Cikeusik, Kabupaten Pandeglang, Banten pada Februari 2011 silam? Dan masih banyak kasus kekerasan atas nama agama yang terjadi tanpa solusi yang tegas dan efektif meski telah menelan kerugian materi dan nonmateri yang tak sedikit.

Pertanyaan yang muncul, apakah benar agama selalu menjadi sumber perpecahan di Bumi Pertiwi? Padahal bukankah agama dihadirkan di bumi sebagai rahmatal lil alamin bagi seisi alam? Bukankah agama selalu menganjurkan kebaikan? Bukankah tak ada agama yang mengajarkan membunuh manusia lain? Lantas dimana yang salah?

Di Indonesia, agama selalu menjadi isu yang sangat sensitif. Konflik ekonomi dan budaya bisa akhirnya berbuntut menjadi konflik agama. Agama selalu menjadi bulan-bulanan.

Barangkali benar, ikatan toleransi di Tanah Air kita sangat rentan. Isu agama selalu menjadi korek yang siap menyulutkan api. Meski pada kenyataannya di Indonesia ada beranekaragam agama.

Tentu ini bukan tanpa sebab. Konflik horisontal yang selalu membawa-bawa nama agama tidak berdiri sendiri. Kekerasan atas nama agama yang tidak pernah diselesaikan dengan tegas menjadi salah satu faktor penyebab mengapa konflik ini tak pernah mati di Indonesia. Para aktor kerusuhan tak mendapat sanksi yang tegas. Akibatnya, tak ada efek jera.

Di sisi lain, pemerintah selalu gagal untuk menciptakan komunikasi yang konstruktif antar pelaku konflik. Persoalan perbedaan tidak bisa selesai hanya dengan kekerasan. Tapi dibutuhkan dialog sehingga perbedaan itu dihormati. Jika perbedaan tak pernah dihormati, maka selamanya kekerasan yang didasari pemikiran lebih benar dari orang lain akan tetap hidup dan membunuh nyawa-nyawa lainnya.

Kekerasan atas nama perbedaan agama juga wujud kegagalan pemerintah dan ulama untuk mengajak umat berpikir secara logis akan perbedaan. Bahwa perbedaan adalah hak setiap makhluk hidup. Tuhan sebagai pemilik kehidupan tentu lebih mencintai jika umatnya saling menyayangi, bukan saling membunuh antar sesama.

Negara dan ulama adalah milik seluruh umat. Keduanya adalah elemen yang melindungi umat tanpa membeda-bedakan. Bukankah lebih indah hidup dengan kebersamaa, saling menghargai dan penuh toleransi? Karena perang hanya selalu membawa malapetaka…

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya