Masyarakat yang kerap melintasi ruas tol Trans Jawa Pejagan-Pemalang tentunya sudah tidak asing lagi dengan keberadaan bangunan arsitektur kuno yang terletak di Rest Area KM 260B ini.
Krisis Malaise mengguncang dunia, termasuk Hindia Belanda pada 1929. Akibatnya, 131 pabrik gula (PG) di Jawa mengalami bangkrut yang berdampak pemutusan hubungan kerja (PHK) besar-besaran.
Lahir di Semarang, Oei Tiong Ham (1866-1924) menjadi raja gula sekaligus sosok terkaya di Asia Tenggara. Bahkan, Koran De Locomotief pernah menulis bahwa ia adalah orang terkaya di kalangan pengusaha di Shanghai dan Australia.
Kelima pabrik gula baru tersebut, antara lain PT Rejoso Manis Indo di Kabupaten Blitar; PT Kebun Tebu Mas di Lamongan, Jawa Timur; dan PT Pratama Nusantara Sakti di Kabupaten Ogan Komering Ilir; Sumatra Selatan. Kemudian, PT Muria Sumba Manis di Kabupaten Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur; dan PT Prima Alam Gemilang di Kabupaten Bombana, Sulawesi Tenggara.
Soloraya atau Karesidenan Surakarta tercatat memiliki puluhan pabrik gula yang mengecap manisnya komoditas itu pada masa kolonial, dimana kini, kabar pabrik-pabrik itu mayoritas nelangsa karena berhenti beroperasi, mangkrak, dijual hingga disulap menjadi destinasi wisata bangunan cagar budaya (BCB).
PG Karanganom yang kini menjadi permukiman penduduk di Desa Karangan, Kecamatan Karanganom, Klaten, memiliki keunikan karena punya empat cerobong asap.
Bangunan utama pabrik gula yang memiliki empat cerobong asap tak lagi terlihat dan menyisakan bangunan seperti fondasi serta saluran air di tengah permukiman.
Temuan harta karun berupa arsip dan buku kuno yang tersimpan di perpustakaan Pabrik Gula Mojo menyibak misteri terkait sejarah kelam industri gula di Pulau Jawa.
Gagasan ini dimuat Harian Solopos edisi Rabu, 24 Maret 2021. Esai ini karya Jojo, kandidat Doktor Ilmu Ekonomi Pertanian Institut Pertanian Bogor atau IPB University.