SOLOPOS.COM - Ilustrasi Cerpen Tabebuya (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO—Tiga hari yang lalu aku menerima gempuran foto-foto darimu, lima belas foto dan itu membuatku tersenyum. Tadi pagi aku membaca WA group alumni yang mengabarkan kau meninggal dunia. Pangerang yang mengekspos kabar duka itu di grup alumni. Aku membaca postingan itu tanpa rasa percaya.

Pangerang tidak mungkin asal mem-posting sesuatu. Pangerang bukan tipikal seperti itu. Kalian adalah dua orang anak daerah dari Makassar yang datang untuk melanjutkan kuliah di Surabaya.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Setelah grup WA alumni berjalan, Pangeranglah orang pertama yang memberi kabar tentangmu. Aku yang seperti berada di Gurun Sahara terpuaskan begitu tahu bahwa kau baik-baik saja. Aku tidak tahu apakah Pangerang memikirkan sesuatu tentangku saat dia mem-posting kabar tentangmu. Bisa jadi Pengerang mencium aroma bunga di antara kita.

Kedua lututku serasa lepas dari tempurungnya. Aku benar-benar terpuruk: bahkan untuk sekadar menangis. Bibir tak kuasa untuk digerakkan, bahkan hanya untuk menyebut nama Tuhan.

Pikiran rasionalku menolak kenyataan yang datang hari ini. Hidup ini jadi sederhana sekaligus rumit. Kita tersambung kembali setelah Pangerang memberi kabar tentangmu. Aku memberi respons berupa gambar hati pada postingan itu.

Dua hari kemudian kau sendiri yang mengirim WA padaku. Apakah rindu atau rasa ingin tahu dirimu yang belum berubah? Aku menyambut gembira dengan membalas WA-mu begitu cair. Jadi aneh, sepuluh tahun rentang jarak justru membuat kita lebih mengalir dibanding saat masih kuliah dulu. Malam-malam lebih bergairah karena obrolan-obrolan kita. Sebatas obrolan seperti dulu, tidak berarti apa-apa.

Ekspedisi Mudik 2024

“Ah! Kau di sini rupanya, Dod!” Ibu terlihat lega waktu melihatku. Rambut ibu acak-acakan, bentuk sanggul ibu masih setengah jadi.

“Dody, tolong telepon Pakde, katakan jangan lupa membawa antaran turun-temurun keluarga. Pakde yang menyimpan antaran itu. Tolong kamu ingatkan ya Dod?”

Aku mengangguk walau sebenarnya aku tidak paham yang ibu maksud. Ibu segera masuk, melanjutkan sasak rambut yang setengah jadi. Beberapa petugas salon sengaja didatangkan. Memang ada acara penting hari ini. Aku dan keluarga hendak melamar Vira sebagai calon istriku. Suhu badanku seketika menyusut. Kau tidak kuberitahu akan ini.

Pakde berhasil kuhubungi beberapa saat kemudian. Pakde tidak begitu menghiraukan segala pesanan Ibu. Pakde malah mengubah obrolan-obrolan tentang kesiapanku untuk acara lamaran sore nanti. Sepertinya Pakde memiliki indra lain sehingga perlu menanyakan itu padaku.

Aku meladeni Pakde sebisanya. Sebab, pikiranku sendiri berkelana jauh hingga Makassar. Bersyukur akhirnya percakapan itu selesai. Aku lega.

Bahwa kau gadis yang tak pernah jauh, tetapi juga tak dapat benar-benar tinggal dalam bilik hatiku adalah sebuah kesakitan yang berakar. Kau menerangkan bahwa sebatang pohon tumbuh selayaknya ditunjang akar yang merambat jauh ke dalam tanah.

Pohon akan kokoh dan hidup bertahun-tahun. Kau suka sekali memberi kiasan. Aku kau jadikan pohon lalu memastikan apakah aku pohon yang kokoh atau pohon rapuh yang dalam waktu singkat bisa tumbang? Kau tidak menyukai sebatang pohon rapuh.

Wajah tirus, pipi halus, rambutmu lurus, dan senyummu tulus adalah titik lemah bagiku. Di luar semua itu, alangkah betahnya aku berjam-jam berada di sampingmu. Sesekali kita terpisah oleh kelas. Oleh hari di mana aku kuliah pagi dan kau libur.

Sebuah perjuangan berat membunuh waktu demi waktu agar kuliah itu selesai. Lalu, aku mengejarmu ke taman kota. Taman Mundu terletak di Jalan Juwet, Tambaksari, Surabaya bagian timur. Tidak terlalu jauh dari lokasi kampus kita. Sebuah tempat teduh berpayung pohon-pohon besar.

Baca Juga: Semangkuk Mi Instan yang Bercerita

Nyatanya, aku dirangkul kecewa. Tidak sulit menemukan sosokmu. Yang tak terduga adalah kau bersama komunitasmu yang tidak pernah aku sangka sebelumnya. Kau sosok yang tidak mudah ditebak. Punggung kausmu bergambar pohon rindang. Kau tahu kehadiranku. Bahkan kau memberi lambaian. Aku merasa kau senang atas kehadiranku.

“Apa yang kau lakukan?” tanyaku berbisik. Kau menoleh heran.

“Pertanyaan apa itu? Lebih merdu didengar, ayo, aku ikut bantu,” jawabmu terkekeh.

Aku mengerutkan kening. Caramu membuat aku tersindir. Tangan kalian memegang karung ukuran besar. Jumlah kalian sangat banyak. Aba-aba disampaikan dengan bersahabat. Aku mengambil langkah cepat. Aku ingin membuatmu tersenyum. Berharap selalu.

“Senang hati, aku siap membantu,” ujarku semangat.

Tidak ada rindang pohon apalagi angin sepoi. Matahari memanggang kulit. Kelopak mata berubah sipit oleh sengat siang. Sukarela kau dan komunitasmu bertindak nyata. Memungut segala sampah di lokasi Taman Mundu. Aku turut merasakan geloranya.

Tadinya aku berpikir kesukaan sesaat. Sayangnya aku salah besar. Kau diciptakan Tuhan untuk itu. Mencintai alam. Kuliahmu berjalan baik. Bahkan lebih dari aku. Padahal setiap hari kau mewujudkan satu-satu mimpimu. Melukis alam. Membuat keindahan di dalamnya.

Nutrisi kau menyebutnya. Tidak manusia saja yang butuh itu, alam juga, katamu. Titik lemahku menjadi. Aku ingin menyatu dalam gelombangmu. Masuk dalam segala mimpimu. Memberiku nutrisi dari senyum tulusmu untuk meringankan hari-hariku. Duh!

Alam memilihmu, itu penilaianku. Tidak perlu sikap berlebihan saat kau ingin menyuarakan sebuah kebaikan. Kau mendekati orang tiap orang bermodal senyum tulusmu. Kau melayani mereka dengan lembut. Kau tuturkan segala sesuatu sehingga mudah untuk dimengerti. Kau suarakan sesuai suaramu yang lembut. Kau memiliki sihir. Sepertinya langit memberi itu padamu.

Aku takjub, orang-orang mengikuti layaknya semut di batang-batang pohon. Mereka berbaris, tak perlu saling mendahului. Sinyalnya ada padamu, dari sepuluh, berubah seratus, berubah hampir setengah kampus menyambut niatmu untuk berbuat sesuatu pada Ibu Bumi.

Kau menggali liang tak kenal lelah. Kening berpeluh tak berarti bagimu. Aku mengulurkan bibit-bibit pohon hasil donasi dari berbagai pihak. Akasia, mahoni, suren sukun, dan glodokan. Ada juga yang memberikan tabebuya, flamboyan, tanjung, dan sengin.

Telapak tanganmu sangat luwes memainkan linggis. Tempat-tempat yang akan digali sudah diberi tanda. Aku tidak membiarkan dirimu bertindak seorang diri. Aku menggali di tempat-tempat lain. Orang-orang lain ikut melakukan. Bergotong-royong, berbuat tindakan baik. Sarat gembira, bergerak ritmis seakan melodi di siang bolong yang putih.

Kau menaruh akar-akar itu sangat lembut. Seperti kasih sayang seorang ibu pada anaknya. Dari kejauhan aku mengamati wujud kasih sayangmu. Kau memang benar-benar berbeda. Satu lagi, titik lemahku meruntuhkanku di depanmu.

“Hasilnya tidak langsung terlihat. Tidak! Butuh waktu panjang juga kesabaran. Paling tidak ada niat dari pemerintah kotamu untuk kegiatan ini. Bersyukurlah kau tinggal di kota yang mau mengasihi Bumi. Besok, begitu aku kembali ke Makassar, aku akan meneruskan kegiatan ini. Semoga aku bisa.” Aku terhenyak mengagumi kesungguhanmu.

Aku mengikutimu meraih tabung air untuk menyiram bibit-bibit itu. Kau senyum-senyum merasakan kelegaan. Apa yang mengisi benakmu? Apakah kau dapat merasakan akar bibit-bibit itu langsung menyesapnya dengan rakus.

Sengin menggeliat dan mendesis, mengembuskan napas baru. Akar-akar menyerap air dengan bahagia. Oh! Aku mampu merasakan cerita di balik senyum tulusmu. Kau berharap mereka segera tinggi dan rindang.

Pakde datang lebih cepat dari perkiraan. Kami menerima kedatangan Pakde di ruang tamu. Beragam antaran sudah disiapkan untuk dibawa ke rumah Vira. Ibu muncul di depan pakde diikuti saudara-saudara lain. Aku ikut berkumpul di ruang tamu.



Aku lebih banyak terpaku. Sekujur tubuhku terasa dingin. Pakde meletakkan satu set perhiasan di atas meja. Perhiasan milik nenek yang memang dihibahkan untuk cucu pertama dari tiap anak nenek yang kelak menikah. Ibu menatap perhiasan itu lama.

Duka yang menggumpal sejak pagi kini mencair. Aku menangis sedangkan udara telah bebas dari jarum air. Aku bersandar ke sofa dan sekaligus menjadi perhatian semua orang. Pakde menarik napas dalam. Ibu menoleh dengan bingung. Ayah tidak lagi bersama kami sejak lima tahun lalu. Ayah mungkin kebingungan dari surga. Air mata itu kian deras setiap ingatan kembali dan kembali pada postingan Pangerang di grup alumni.

“Pangga!” Suara pakde bergetar.

“Pangga harus ke Makassar, Pakde. Sore ini juga. Ada yang harus Pangga selesaikan di sana. Tolong bantu Pangga mewakili lamaran ini agar jauh dari salah sangka. Pangga harus ke Makassar.” Kuusap air mata dengan tabah. Seluruh yang berkumpul bergeming.

“Bagai….”

“Sstth!” Pakde memotong suara Ibu. “Selesaikanlah kalau itu membuatmu lega. Urusan ini beres di tangan Pakde. Pergilah Pangga, berangkatlah!”

Sepuluh tahun lalu kau begitu bahagia mengenakan toga. Kita lulus sama-sama. Harapanku muluk berharap kau tinggal di Surabaya. Kita merintis pekerjaan di sini. Rupanya, lusanya, kau pulang bersama kedua orang tuamu.

Kau berpamitan baik. Kita menghabiskan malam dan ada Pangerang juga. Malam perpisahan megah, tidak tersisa waktu untuk hati penuh tanya. Walaupun pelukanmu di Juanda terasa berbeda. Kau tetap pulang ke tanah asalmu. Melanjutkan mimpimu. Kita berpisah dan cinta belum jelas warnanya.

“Wah, luar biasa! Cantik sekali.” Suara Umar supir pakde menggema.



“Ada apa?” Aku terkejut.

“Pohon-pohon di sepanjang jalan berbunga,” jawab Umar terkesan.

Mobil bergerak lambat pengaruh jarak di depan. Orang-orang terlihat megah berfoto-foto di Jalan Ahmad Yani. Aku mendekatkan pipi ke kaca. Pohon sepanjang jalan serupa barisan prajurit. Di pucuknya penuh bunga mekar.

Aku teringat kiriman fotomu tiga hari yang lalu. Secepat kilat aku membukanya. Kau tetap lebih dulu tahu dari aku. Tabebuya berbunga. Ucapanmu dulu tergiang. Tuhan sayang padamu. Kau diberi kesempatan menyaksikan wujud dari mimpimu. Ibu Bumi memberimu hadiah. Tabebuya berbunga, putih, kuning, dan merah muda menghiasi Bumi. Aku ingin membawanya untukmu. Buah hasil kesabaranmu.

Aku cinta padamu, cinta padamu, sejak sepuluh tahun yang lalu. Tunggu aku, Ullin.

Ricardo Marbun datang dari Pematang Siantar, menetap di Surabaya walau lahir di Jakarta. Lulusan Universitas Negeri Surabaya, sangat mengidolakan Budi Darma. Bahkan menganggap dirinya adalah Budi Darma berikutnya. Belajar menulis secara autodidak sejak 2010. Banyak karya sederhananya dimuat media nasional, seperti Femina, Pesona, Kartini, Gadis, Hai, Aneka, Nova, Jawa Pos, Suara Pembangunan, Jurnal Nasional, Republika, Detik, Kompas Digital, dan media online. Berencana ingin menulis sampai ujung usia. Boleh ditemui pada IG @ricardo_mrb.

 





Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya