SOLOPOS.COM - Suwarmin Direktur Bisnis dan Konten Solopos Group

Kota Solo yang kita kenal sekarang lekat dengan jejak sejarah yang kental. Wajah Solo yang modern saat ini dengan bentangan jalur fly over dan gedung-gedung menjulang yang tertanam di beberapa sudut kota, sejak awal berangkat dari elan tradisional keraton. Tata ruang kota ini tidak dibangun secara acak dan intuitif, melainkan melalui bangun konsep yang tharik-tharik.

Para elite Jawa di Keraton, para juragan batik di Laweyan, masyarakat etnis Tionghoa di Ketandan, dan etnis Arab di Pasar Kliwon, masyarakat Eropa di Loji Wetan, juga jejak ekonomi perkebunan di Soloraya, semuanya bisa dirunut jejaknya dalam bentuk dan model bangunan, jalur-jalur pejalan kaki, lintasan kereta api, jembatan, dan sungai. Semuanya menyisakan jejak sejarah.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Bukan hanya jejak sejarah secara fisik, Solo punya warisan luar biasa dalam bentuk kekayaan kuliner. Kaya dalam hal rasa dan jenis. Enak, sedap, menyejarah, dan monumental. Tidak banyak kota yang mempunyai kekayaan sejarah kuliner seperti Solo.

Sejarawan Universitas Sebelas Maret (UNS), Prof. Warto, menduga tradisi kuliner Kota Solo berakar dari karakter masyarakat Solo yang bercorak pedagang yang banyak beredar di luar rumah dan mempunyai uang. “Nah, Solo sejak dulu berkarakter sebagai kota dagang, selain pusat kerajaan Jawa, sehingga dikenal tidak pernah tidur. Berarti butuh jajan. Maka lahir istilah keplek ilat, suka jajan,” katanya melalui keterangan tertulis, Senin.

Dekan Fakultas Ilmu Budaya (FIB) UNS ini menambahkan ada dorongan ekonomi yang kuat di daerah Solo dan sekitarnya sejak munculnya kawasan-kawasan perkebunan. Akhirnya muncul-tumbuh warung-warung makan yang berdampingan dengan ekonomi perkebunan.

Penjelasan Prof. Warto sejalan dengan paparan Dosen Universitas Gadjah Mada (UGM) Prof. Soegijanto Padmo dalam sebuah seminar, April 2007 silam. Soegijanto menulis secara khusus derap perkembangan ekonomi perkebunan di Solo periode 1860-1940. Dalam makalah yang mengutip dari sumber Suyatno Kartodirdjo (1982:11), pada tahun 1915 ada hampir 100 perusahaan perkebunan di Solo, Klaten, Sragen, dan Boyolali dengan tanaman yang dibudidayakan, antara lain tembakau, indigo, gula, serat, dan kopi, gula, kapuk, padi, merica, karet, dan kopi.

Sejarawan Heri Priyatmoko mempunyai telaah yang sama. Keunggulan kuliner Solo bukan muncul tiba-tiba, melainkan berakar dan bertumbuh seiring perkembangan kota. Dalam salah satu tulisannya di media ini, Heri menulis tumbuh suburnya angkringan di Solo dipicu kemunculan listrik yang menerangi kota ini pada tahun 1902. Kota Solo pada malam hari padhang njingglang karena listrik dari Solosche Electriciteit Maatschappij. Hari menyebutkan hiburan dan suasana kota yang semarak akhirnya membawa kota ini mendapat julukan “kota yang tidak pernah tidur”.

“Untuk Keberagaman kuliner di Solo sekaligus terkenal karena rasanya yang enak, terbangun sejak Solo menjadi kota multikultural. Di mana beragam etnis tinggal di Solo. Lha mereka hadir di Solo membawa keragaman kuliner sekaligus budaya makan. Jadi sekalipun mereka sudah meninggalkan tanah asal, misalkan orang Eropa meninggalkan negeri induk mereka di Belanda, tapi kebiasaan bersantap mereka tidak hilang. Mereka menyiasati, makanan Eropa kan bahan pokoknya daging sapi, akhirnya mereka membangun tempat penjagalan di Jagalan, namanya Abattoir. Oleh lidah Jawa disebut Batoar,” papar Heri dalam keterangan tertulis, Senin.

Menurut dosen Universitas Sanata Dharma Yogyakarta ini, keragaman etnis di Solo lekat dengan budaya makannya masing-masing yang tetap lestari. Itulah yang menyebabkan kuliner Solo beragam dan rasanya enak.

“Jadi sebutan Solo sebagai surga kuliner atau kota keplek ilat itu bukan datang ujuk-ujuk tetapi ada fakta sejarahnya itu. Ada fakta sosial yang sudah menjadi opini publik bahwa orang datang ke Solo karena kuliner. Fakta kulturalnya ini memang keragaman, pesona akulturasi antar etnis pun terjadi di meja makan. Ada pelangi di meja makan,” tutur Heri.

Nah, alangkah menariknya dari sekadar cerita kuliner, kita bisa menemukan akar sejarah yang dialami nenek moyang. Ada akulturasi budaya, yang oleh Heri disebut “pelangi di meja makan”. Ada tradisi ekonomi perkebunan, ada perjuangan kelas saat tengkleng yang dulu dianggap sebagai olahan hasil sisa tulang kambing, kini justru menjadi makanan favorit. Dan aneka cerita lain yang tak kalah menarik.

Berangkat dari pemikiran itu, Solopos Media Group (SMG) didukung vendor pembayaran digital OVO menggelar program Ekspedisi Surga Kuliner Kota Solo, Senin-Kamis (28-31/3/2022). Acara dibuka Senin dari salah satu ikon kuliner Solo, Gudeg Adem Ayem di Jalan Slamet Riyadi, tidak jauh dari Loji Gandrung, dua penanda kota dengan bangun ceritanya masing-masing.

Ekspedisi Surga Kuliner bukan sekadar jalan-jalan dan makan-makan. Lebih dari itu, acara ini ingin mengulik cerita-cerita di balik sajian masakan Kota Solo yang khas, unik, enak, lezat. Tentu banyak yang bisa dikais dari berbagai warung makan legendaris di kota ini.

Ke depan, alangkah hebatnya jika setiap ikon kuliner ini dilengkapi dengan museum kuliner, atau gimik lain yang bisa menambah daya panggil Solo sebagai destinasi wisata. Aneka makanan seperti tengkleng, gudeg Solo, dawet Pasar Gede, cabuk rambak, bestik, pecel ndeso, sega liwet, wedang donga, timlo Solo, sate buntel, sate kere, dan lain-lain, bukan sekadar soal rasa, tapi soal cerita.

tengkleng masak solo
Tengkleng masak di Warung Satai Kambing Bu Bejo di Jl. Sungai Sebakung Nomor 10 Loji Wetan, Pasar Kliwon, Solo, Kamis (31/3/2022) siang. (Solopos.com/Kurniawan)

Jika tema kuliner ini dikemas dengan baik, length of stay (LOS) wisatawan di hotel-hotel di Kota Solo bisa lebih lama. Saat memberi sambutan pada pembukaan Ekspedisi Surga Kuliner Kota Solo, Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Solo Aryo Widyandoko mengatakan LOS Kota Solo bisa mencapai empat-lima hari jika wisata kuliner ini dimaksimalkan.

Dalam acara Hotel Expo 2022, Januari lalu, Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka mematok target LOS perhotelan di Solo menjadi 1,5 hari. Sementara saat ini masih masih di kisaran kurang dari 1,5 hari.

Perlu kerja keras dan kolaborasi yang kuat dari berbagai elemen masyarakat untuk mewujudkan kuliner Solo menjadi destinasi unggulan yang mengerek naik ekonomi kota. Memang tengkleng atau sate buntel bisa dibuat di kota lain. Tetapi ikatan sejarah dan nuansanya di Solo tidak bisa dipindahkan ke kota lain. Dan bukankah itu syarat utama destinasi wisata?

Esai ini telah diterbitkan di Koran Solopos edisi 30 Maret 2022, ditulis oleh Suwarmin, Direktur Bisnis dan Konten Solopos.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya