SOLOPOS.COM - Ilustrasi wanita berjilbab. (Bisnis-Istimewa)

Solopos.com, JOGJA — Kasus pemaksaan siswi wajib berjilbab yang terjadi di SMAN 1 Banguntapan, Kabupaten Bantul, DI Yogyakarta, tengah menjadi perhatian publik. Siswi tersebut bahkan sempat depresi atas pemaksaan yang dilakukan guru sekolah tersebut.

Kasus pemaksaan berjilbab tersebut kini ditangani Ombudsman RI (ORI) perwakilan DI Yogyakarta. Dalam penjelasannya, pihak SMAN 1 Banguntapan membantah gurunya memaksa siswi tersebut mengenakan jilbab.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Atas pemaksaan itu, sisiwi tersebut depresi dan menangis di toilet. Namun, sekolah menuding masalah keluarga menjadi penyebab depresi siswi tersebut.

Namun, ibu dari siswi yang menjadi korban pemaksaan berjibab itu berkata lain. Dia juga mempersoalkan tuduhan sekolah mengenai permasalahan keluarga yang membuat anaknya depresi. Ibu siswi itu kemudian melayangkan surat kepada media massa agar disampaikan kepada publik secara terbuka. Berikut ini isi suratnya:

Baca Juga: Suporter PSS Sleman Dianiaya hingga Meninggal, Polisi Bekuk 2 Pelaku

“Nama saya, Herprastyanti Ayuningtyas, seorang ibu, perempuan Jawa, tinggal di Yogyakarta, yang sedang sedih dengan trauma, yang kini dihadapi putri saya, dampak dari memperjuangkan hak dan prinsipnya.

Putri saya adalah anak yang jadi perhatian media di sekolah di SMAN1 Banguntatapan, Bantul. Bagi kami orang tuanya, dia bukan anak yang lemah atau bermasalah. Dia terbiasa dengan tekanan. Saya dan ayahnya bercerai namun kami tetap bersama mengasuh anak kami. Dia atlet sepatu roda. Dia diterima di SMAN1 Banguntapan 1 sesuai prosedur.

Pada Selasa, 26 Juli 2022, anak saya menelepon, tanpa suara, hanya terdengar tangisan. Setelahnya baru terbaca WhatsApp, “Mama ak mau pulang, ak ga mau dsni.”

Ibu mana yang tidak sedih baca pesan begitu? Ayahnya memberitahu, dari informasi guru, bahwa anak kami sudah satu jam lebih berada di kamar mandi sekolah.

Baca Juga: Tak Kenakan Jilbab, Siswi SMPN di Bantul Ditegur Guru, Begini Ceritanya

Saya segera jemput anak saya di sekolah. Saya menemukan anak saya di unit kesehatan sekolah dalam kondisi lemas. Dia hanya memeluk saya, tanpa berkata satu patah kata pun. Hanya air mata yang mewakili perasaannya.

Awal sekolah dia pernah bercerita bahwa di sekolahnya “diwajibkan” pakai jilbab, baju lengan panjang, rok panjang. Putri saya memberikan penjelasan kepada sekolah, termasuk walikelas dan guru bimbingan penyuluhan, bahwa dia tidak bersedia. Dia terus-menerus dipertanyakan, “Kenapa tidak mau pakai jilbab?”

Dalam ruang bimbingan penyuluhan, seorang guru menaruh sepotong jilbab di kepala anak saya. Ini bukan “tutorial jilbab” karena anak saya tak pernah minta diberi tutorial. Ini adalah pemaksaan.

Baca Juga: Meresahkan! Dua Hari, 10 Rumah di Tanjungsari Gunungkidul Kemalingan

Saya seorang perempuan, yang kebetulan memakai jilbab, tapi saya menghargai keputusan dan prinsip anak saya. Saya berpendapat setiap perempuan berhak menentukan model pakaiannya sendiri.

Kini anak saya trauma, harus mendapat bantuan psikolog. Saya ingin sekolah SMAN 1 Banguntapan, Pemerintah Yogyakarta, serta Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, bertanggung jawab. Kembalikan anak saya seperti sediakala.

Beberapa guru menuduh putri saya punya masalah keluarga. Ini bukan masalah keluarga. Banyak orang punya tantangan masing-masing. Guru-guru yang merundung, mengancam anak saya, saya ingin bertanya, “Punya masalah apa Anda di keluarga sampai anak saya jadi sasaran? Bersediakah bila kalian saya tanya balik seperti ini?”

Berita ini telah tayang di Harianjogja.com dengan judul Surat Terbuka Wali Murid SMAN 1 Banguntapan Bantul yang Dipaksa Pakai Jilbab: Ibu Mana yang Tidak Sedih? 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya