SOLOPOS.COM - Salah satu pegiat budaya Desa Ngebung, Wakimin, 33, menimba air sumur Mendungsari Pangersa/Weling di Dukuh Ngebung RT 004, Desa Ngebung, Kecamatan Kalijambe, Sragen, Minggu (6/3/2022).

Solopos.com, SRAGEN — Klaster Ngebung merupakan bagian dari Kawasan Situs Manusia Purba Sangiran di Kalijambe, Sragen. Situs Ngebung memiliki nilai sejarah yang tak ternilai karena merupakan lokasi pertama penggalian fosil manusia purba secara sistematik.

Penemuan pada situs Ngebung berupa fosil binatang, artefak, dan sisa-sisa kehidupan manusia di masa lalu. Selain itu, masih banyak hal yang bisa dipelajari ketika berkunjung ke Klaster Ngebung.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Bukan hanya soal fosil purba, namun kebudayaan dan kearifan lokal warga setempat menjadi hal menarik bagi wisatawan. Di Desa Ngebung ini terdapat sumur yang dikeramatkan warga. Sumur di Dukuh Ngebung RT 004, Desa Ngebung, Kecamatan Kalijambe ini bernama Mendungsari Pangersa.

Lokasi Sumur Mendungsari Pangersa berlokasi di persawahan, tepatnya barat daya Museum Manusia Purba Klaster Ngebung. Jarak keduanya cukup dekat, hanya sekitar 50 meter.

Baca Juga: Warga Sragen Simpan Wayang Berusia 100 Tahun, Disebut Ada Penunggunya

Dari pantauan Solopos.com, Minggu (6/3/2022) sore bibir sumur dari batu bata dan semen itu memiliki diameter sekitar dua meter. Pada musim hujan seperti saat ini, permukaan air sumurnya setinggi permukaan tanah. Sehingga warga dapat dengan mudah menimba air. Airnya terasa segar untuk mencuci muka.

Sumur yang menjadi sumber air bagi warga Desa Ngebung ini dipercaya masyarakat setempat dijaga oleh makhluk halus. Warga biasa menyebutnya danyang. Bentuknya belut putih.

“Menurut informasi masyarakat sekitar, penjaga sumur ini adalah seorang perempuan cantik yang bernama Siti Murni yang dapat berubah menjadi seekor belut putih,” kata salah satu pegiat budaya Desa Ngebung, Wakimin, 33.

Baca Juga: Wayang Tua di Jenar Sragen Disimpan di Kotak, Kalau Malam Gemlodak

Ritual

Dari keterangan Wakimin, saat membangun sumur tersebut, warga melakukan sejumlah ritual. Ritual pertama adalah bertapa 40 hari tanpa makan dan minum. Ritual ini dilakukan sebagia masyarakat.

“Setelah melakukan tapa tersebut, mereka mendapat petunjuk atau ilham bahwa masyarakat sekitar harus melakukan bancakan/syukuran. Barulah sumur tersebut mengeluarkan air,” ujar Wakimin.

Ritual sebagai syarat pembangunan sumur tak hanya sampai itu. Warga juga harus menggelar pentas tarian tradisional yang sekarang dikenal sebagai klenengan. Kemudian masyarakat sekitar sebelum melakukan hajatan harus memberikan sesaji ke sumur tersebut.

“Konon katanya apabila seseorang yang sedang hamil mandi atau membasuh mukanya saat gerhana bulan maka anaknya apabila wanita akan menjadi cantik dan jika pria menjadi tampan,” sambung Wakimin.

Baca Juga: Keunikan Jengglengan, Dukuh dengan Umat Hindu Terbanyak di Sragen

Masih menurut Sukimin, sumur ini dibuat dengan hanya menggunakan tumpukan batu besar yang tertata rapi. Tidak menggunakan bata maupun semen. “Sumur ini masih kuat sampai sekarang. Namun setelah tahun 1997 masyarakat sekitar baru membuat tanggul sumur yang agak tinggi. Hal itu dilakukan agar keaslian sumur itu tetap terjaga,” ungkapnya.

Mayoritas warga memakai air sumur untuk kebutuhan sehari-hari sebelum beralih ke layanan penyediaan air minum dan sanitasi berbasis masyarakat. Namun, warga setempat tetap menjaga tradisi yang biasa dilakukan di sumur Mendungsari Pangersa. Salah satunya membasuh muka saat hamil.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya