SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Madiunpos.com, MADIUN — Sejumlah sumur dalam atau sumur proyek pengembangan air tanah (P2T) di Kota Madiun mangkrak. Padahal sumber air dari sumur tersebut bisa membantu para petani memenuhi kebutuhan air saat masa tanam di musim kemarau seperti sekarang. 

Salah satu sumur P2T yang mangkrak ada di Kelurahan Kanigoro, Kecamatan Kartoharjo, Kota Madiun. Sumur tersebut berada di tengah areal persawahan warga. 

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Bangunan sumur yang dicat biru itu terlihat masih kukuh. Karena memang sumur itu baru dibangun sekitar tahun 2017. Di dalam bangunan sumur itu ada instalasi listrik PLN dan meteran listrik atau kWh meter. Pipa dengan diameter sekitar 15 cm terpasang di luar bangunan. Pipa ini untuk mengalirkan air dari sumur ke irigasi pertanian. 

Setidaknya ada tujuh sumur P2T di Kota Madiun yang mangkrak. Padahal awalnya sumur itu dibuat untuk membantu petani, khususnya saat masa tanam di musim kemarau. 

Pengurus Kelompok Tani Lestari Kelurahan Kanigoro, Kecamatan Kartoharjo, Kasno, 50, mengatakan sudah lebih dari setahun sumur-sumur bantuan Pemkot Madiun itu mangkrak. Hal ini karena daya listrik di sumur itu rendah, tidak kuat untuk mengoperasikan pompa listrik. 

“Uji coba sumur dalam itu pertama kali dilakukan Agustus 2017. Saat itu ya difungsikan petani karena sudah masuk musim kemarau,” kata dia saat berbincang dengan Madiunpos.com di sawahnya, Kamis (22/8/2019). 

Setelah sumur selesai dibangun, pemerintah memasang meteran pascabayar. Sumur bisa difungsikan para petani dan dayanya memadai untuk menghidupkan pompa mesin sumur yang memiliki daya 22.000 kVA. 

Setiap petani yang menggunakan sumur tersebut dikenai biaya Rp40.000/jam. Sementara menggunakan pompa diesel Rp15.000/jam. “Menggunakan sumur P2T ini lebih murah, karena untuk lahan satu kotak hanya waktu satu jam saja sudah penuh sawahnya. Tapi kalau menggunakan sumur diesel, bisa butuh waktu 3 sampai 4 jam baru bisa penuh air sawahnya,” ujarnya.

Dalam satu bulan, kata dia, rata-rata kelompok tani Lestari membayar tagihan listrik sebesar Rp4,5 juta. Uang tersebut diambilkan dari biaya para petani yang menggunakan sumur itu. 

Tetapi, masalah muncul saat musim penghujan. Petani tetap harus membayar abonemen atau biaya langganan listrik senilai Rp2,2 juta per bulan. Biaya ini yang dinilai memberatkan. Padahal saat musim penghujan, mesin sumur P2T tidak pernah digunakan.

“Ya petani keberatan. Masak mesin sumur tidak digunakan tetap disuruh bayar abonemen listrik Rp2,2 juta. Sekitar dua bulan, kami sanggup membayarnya. Tetapi setelah itu, kami tidak sanggup membayar,” jelas dia. 

Hingga akhirnya, petani bersepakat untuk mengganti meteran listrik pascabayar dengan meteran listrik menggunakan token. Dengan harapan, petani hanya dikenai beban saat menggunakan mesin pompa tersebut. 

Selanjutnya, mesin kWh yang awalnya pascabayar diganti dengan mesin prabayar atau token listrik. Namun, daya yang dipasang petugas PLN hanya 16.500 kVA. Padahal mesin pompa tersebut berdaya 22.000 kVA. 

Sejak saat itu, daya listrik tidak mampu menghidupkan mesin pompa. Saat mesin pompa dihidupkan, hanya sanggup menyala sekitar 30 detik. Setelah itu meteran listrik padam. 

Lantaran kondisi tersebut, akhirnya petani kembali menggunakan pompa diesel. Petani harus mengeluarkan biaya hanya untuk air senilai Rp2 juta/kotak. Padahal, dengan sumur P2T ini hanya mengeluarkan biaya sekitar Rp1 juta/kotak. 

Dia mengaku para petani sebenarnya kecewa dengan kondisi sumur yang mangkrak tersebut. Padahal sumur P2T itu sangat penting untuk memenuhi kebutuhan air para petani. 

Kasno berharap pemerintah bisa memberikan solusi atas permasalahan ini. Sehingga sumur P2T yang mangkrak itu bisa segera digunakan petani. Terlebih saat musim kemarau seperti sekarang. 

“Kan bisa saja pompanya diganti dengan yang lebih kecil. Supaya daya yang ada bisa kuat. Sumur ini sangat membantu para petani,” ujar bendahara kelompok tani tersebut. 

Hal senada disampaikan petani di Kelurahan Ngegong, Kecamatan Manguharjo, Kota Madiun, Lamidi. Saat kemarau seperti sekarang, air menjadi barang mahal.

Lamidi menuturkan sebenarnya ada sumur P2T bantuan pemerintah di dekat sawahnya. Tetapi, sumur tersebut mangkrak karena para petani tidak sanggup membayar abonemen listrik. 

“Awalnya petani tidak bisa membayar tagihan listriknya, kemudian sekarang dayanya diturunkan sehingga tidak bisa menghidupkan pompa airnya,” ujarnya. 

Harapannya, pemerintah bisa segera turun tangan untuk memperbaiki atau mengganti pompa air itu. Sehingga petani bisa terbantu untuk memenuhi kebutuhan air. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya