SOLOPOS.COM - Y Bayu Widagdo, Wartawan SOLOPOS (Dok.SOLOPOS)

Y Bayu Widagdo, Wartawan SOLOPOS (Dok.SOLOPOS)

Seorang kenalan saya, Jeng Wati, dengan semangat bercerita kepada saya. ”Si Ani, temanku barusan melahirkan, pekan lalu. Kasihan lho…”

Promosi Mudik: Traveling Massal sejak Era Majapahit, Ekonomi & Polusi Meningkat Tajam

”Lha kenapa kasihan?,”tanya saya.

Ani, cerita Jeng Wening, tidak merasakan kalau bayi dalam kandungannya akan lahir. Sekitar waktu Subuh, Ani seperti biasa pergi ke kamar kecil dan tiba-tiba merasakan perutnya sakit dan tidak lama kemudian sang jabang bayi sudah hampir nongol.

”Lha suaminya terus pergi ke tetangganya yang kebetulan seorang dokter minta bantuan persalinan. Ruwetnya si dokter tidak mau membantu, alasannya tidak membawa peralatan,” jelas Jeng Wati dengan berapi-api.

“Hah, mosok sih dokter tidak mau menolong orang mau melahirkan?” kata saya terheran-heran.

”Kata Ani, karena si dokter tidak mau datang akhirnya suaminya pergi ke dusun seberang perumahannya untuk mencari dukun bayi. Ya akhirnya dukun bayi itu yang menolong proses persalinan Ani dan merawat bayinya hingga tuntas di rumah. Baru setelah semua beres, Ani dan bayinya dibawa ke rumah sakit…Jiaannn, kebangeten tenan si dokter…,”pungkas Wati menutup ceritanya.

Dipikir-pikir betul juga Jeng Wati. Kebangeten benar bila dokter itu, dengan alasan apa pun tidak mau membantu proses persalinan. Tanpa alat pun seharusnya seorang dokter—bila benar-benar lulus Fakultas Kedokteran—tentu bisa membantu proses kelahiran bayi.

Hipokrates, bapak ilmu kedokteran, bila masih hidup bisa terbengong-bengong mendengar seorang dokter tidak mau membantu seorang perempuan melahirkan. Bisa jadi Hipokrates akan berucap,”Jangan-jangan dia tidak mengucapkan sumpah sebagai seorang dokter saat dilantik…”

Isi sumpah dokter memang sangat mulia. Coba simak sebagian kutipannya berikut ini.
”Saya bersumpah bahwa saya akan membaktikan hidup saya guna kepentingan perikemanusiaan. Saya akan menjalankan tugas saya dengan cara yang terhormat dan bersusila sesuai dengan martabat pekerjaan saya. Saya akan memelihara sekuat tenaga martabat, tradisi luhur jabatan kedokteran. Saya akan merahasiakan segala sesuatu yang saya ketahui karena pekerjaan saya dan karena keilmuan saya sebagai dokter. Kesehatan penderita senantiasa akan saya utamakan dalam menunaikan kewajiban terhadap penderita. Saya akan berikhtiar dengan sungguh-sungguh, supaya saya tidak terpengaruh oleh pertimbangan keagamaan, kebangsaan, kesukuan, politik kepartaian atau kedudukan sosial.”

Ya, sesuai sumpah itu seharusnya dokter tetangga Ani bersedia datang membantu proses persalinan karena kesehatan seseorang senantiasa diutamakan. Jangan-jangan sumpah Hipokrates yang diucapkan setiap kali seorang dokter dilantik hanya jadi seremonial saja. Cukup diucapkan keras-keras dan setelah itu dilupakan.

Menurut Konsil Kedokteran Indonesia, seorang dokter setidaknya harus memiliki tujuh standar kompetensi,  yaitu memiliki komunikasi efektif, keterampilan klinis yang tajam, landasan ilmiah kedokteran, manajemen masalah kesehatan, pengelolaan informasi, perbaikan terus-menerus serta memiliki etika, moral dan profesionalisme dalam bekerja.

Dokter di Indonesia mungkin lebih mengutamakan standar kompetensi nomor dua dan tiga. Kompetensi terakhir, soal etika, mungkin saja dinomorsekiankan. Harap maklum, mungkin karena kompetensi soal etik dan moral itu diletakkan pada nomor buncit.

Selingkuh

Saya jadi teringat liputan koran ini beberapa waktu lalu yang menyorot betapa praktik pengguguran kandungan dengan mudah dilayani oleh sejumlah dokter.  Lantas juga soal main mata antara dokter dan detailer dalam memberikan obat untuk pasien.

Sudah jadi rahasia umum, untuk membuat sebuah produk obat laku keras, industri farmasi melalui detailer memberikan imbalan yang berlimpah-limpah kepada dokter, tentunya setelah resep untuk pasien berisi daftar obat yang telah dititipkan.

Seorang dokter yang enggan disebut namanya, dalam laporan utama SOLOPOS,  menyebut praktik fee untuk dokter dari yang biasa hingga menyimpang sudah lazim terjadi. Itu seperti lingkaran setan.

Memasang tarif tinggi hingga peresepan obat yang makin membebani pasien, imbuh dia, memang kesempatan yang sudah ditunggu-tunggu sejumlah dokter sejak awal membuka praktik.

”Setelah di universitas disembelih (ditarik biaya tinggi-red), saatnya kini ganti menyembelih,” tandasnya.

Soal selingkuh dokter dengan industri farmasi ini bukan hanya monopoli Indonesia. Hal ini juga di Amerika Serikat sana, negara yang selalu mengagungkan dirinya sebagai penjaga etika.

ProPublica, sebuah kantor berita independen yang fokus pada isu-isu publik, pada Oktober 2010 menerbitkan laporan investigasi mengenai persoalan etika yang muncul saat dokter menerima kucuran dana dari produsen obat untuk mempengaruhi isi resep obat yang diberikan kepada pasien.

Lewat serial laporan bertajuk Dollars for Docs, pada tahun itu diketahui setidaknya US$220 juta telah digelontorkan industri farmasi kepada para dokter, supaya mau meresepkan obat produksinya.

Investigasi yang intensif dari ProPublica akhirnya bisa memaksa industri farmasi untuk membuka laporan keuangan dan memublikasikan berapa nilai uang yang telah dibagikan kepada para dokter di setiap negara bagian di Amerika.

Coba Anda masuk situs ProPublica, dan kita bisa geleng-geleng kepala melihat jumlah bagi hasil yang diterima para dokter.



Gencarnya pemberitaan soal itu mendorong para pembuat kebijakan di negara Paman Sam mengeluarkan Physician Payment Sunshine Act yang mewajibkan semua industri farmasi melaporkan secara terbuka berapa dana yang diberikan kepada para profesional kesehatan, baik untuk kepentingan entertainment, riset atau pendidikan.

Profesional kesehatan di sini termasuk dokter, Fakultas Kedokteran maupun lembaga riset kesehatan. Aturan tersebut tentunya sangat positif bagi masyarakat, karena kita jadi tahu secara jelas betapa mahalnya harga obat yang harus kita bayar salah satunya karena ada selingkuh industri farmasi dengan profesional kesehatan.

Profesi dokter yang telah bersumpah mengutamakan perikemanusiaan tentunya akan bisa terjaga lagi.

By the way, itu baru di Amerika sana…Di sini, ya selingkuh jalan terus, hingga muncul anekdot kalau miskin jangan sakit.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya