SOLOPOS.COM - Para petani dari Kabupaten Banyumas belajar pertanian organik terintegrasi di pertanian terintegrasi di Desa Sukorejo, Kecamatan Sambirejo, Sragen, Minggu (18/9/2022). (Istimewa/Pemdes Sukorejo)

Solopos.com, SRAGEN—Desa Sukorejo, Kecamatan Sambirejo, Sragen, mengembangkan pertanian organik terintegrasi dengan prinsip zero waste atau bebas sampah (limbah) dan sentuhan teknologi. Model pertanian terintegrasi tersebut mampu menghemat tenaga sehingga terjadi efisiensi biaya tenaga bagi petani.

Kepala Desa Sukorejo, Sambirejo, Sragen, Sukrisno, mengembangkan model pertanian organik terintegrasi tersebut pada lahan kas desa seluas 2.500 meter persegi sebagai pilot project.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Dia menjelaskan pertanian terintegrasi ini merupakan siklus yang tidak terputus dari pertanian ke perikanan atau peternakan dan kembali lagi ke pertanian. Meskipun baru pilot project, model pertanian yang digagas Pemerintah Desa Sukorejo itu mampu menarik minat petani lainnya dari luar Sragen, yakni dari Kabupaten Banyumas pada Minggu (18/9/2022) lalu.

“Kami menggunakan teknologi springkler untuk menyemprotkan selury dari biogas. Pertanian terintegrasi ini baru pada lahan 2.500 meter persegi dan untuk pertanian padi. Kunjungan dari Banyumas merupakan kunjungan perdana ke Sukorejo. Sistem ini baru kami buat pada Desember 2021 lalu. Ini masih pilot project di tanah kas desa,” ujar Sukrisno saat dihubungi Solopos.com, Senin (19/9/2022).

Dia menjelaskan pertanian terintegrasi itu memadukan pertanian, perikanan, dan peternakan, dan pariwisata dengan prinsip zero waste.

Dia mengatakan model pertanian zero waste merupakan pertanian dengan memanfaatkan semua sumber daya, semua komponen, dan hampir tidak ada yang terbuang sebagaimana dalam pertanian bioindustri.

“Peternakan itu menghasilkan kotoran hewan atau kohe. Kemudian kohe itu masuk ke degester [alat tampungan bahan organik atau limbah kohe] untuk menghasilkan biogas. Lalu gas dari degester itu dimanfaatkan sebagai energi menjalankan mesin alkon [pompa air]. Mesin alkon itu digunakan untuk menyemprotkan selury [produk air hasil pengolahan kohe] cair dari biogas ke sawah. Sawah menghasilkan padi yang dimakan manusia dan jeraminya dimakan sapi. Proses itu terus berputar,” jelas dia.

Dia menerangkan selain selury cair, mesin alkon juga mendistribusikan air limbah dari kolam untuk mengairi padi. Dia mengatakan sistem ini membuat penasaran orang sehingga banyak orang ingin berwisata untuk melihat sistem tersebut.

Dia menjelaskan ide inovasi pertanian ini muncul lantaran adanya analisis usaha tani yang memunculkan biaya yang besar pada tenaga kerja petani. Dia menerangkan pupuk kandang itu dulu berasal dari proses petani merumput dibawa pulang untuk pakan sapi, sapi menghasilkan kohe, lalu kohe dimasukan ke degester.

“Ketika memupuk maka petani mengangkut kohe itu dari rumah ke sawah. Biaya angkut ini membutuhkan biaya tinggi sehingga petani organik menjadi malas karena mengangkut kohe yang banyak. Selain itu, dalam mengairi sawah saat musim kemarau membutuhkan waktu lama karena tanah pecah-pecah,” jelasnya.

Dengan adanya permasalahan itu, terang dia, maka muncul ide menggunakan springler untuk menyemprotkan air dari limbah peternakan dan perikanan untuk menyiram sekaligus memberi pupuk sehingga lebih hemat tenaga dan hemat air.

Dia mengatakan sistem springler ini dibuat seperti air hujan sehingga tanah bisa basah semua tanpa harus membutuhkan waktu lama seperti mengiri dengan teknik irigasi.

Dia mengatakan penyemprotannya tidak perlu pakai tangki atau membawa jeriken dari rumah tetapi langsung bisa dialirkan. Dia mengatakan model ini diharapkan bisa menjadi daya tarik petani milenial karena adanya sentuhan teknologi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya