SOLOPOS.COM - Astrid Prihatini WD (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO – Saya  ingat momentum yang tak pernah terlupakan itu. Pada suatu sore yang cerah, Oktober 2010, saya duduk di balkon salah satu apartemen di Sukhumvit, Bangkok, Thailand, menikmati suasana senja. Oh, ya, Sukhumvit adalah kawasan elite di Bangkok.

Tinggal di area Sukhumvit serasa tak berada di Bangkok yang panas, semrawut, bising, dan macet. Kawasan ini penuh gedung-gedung pencakar langit dengan fasilitas mewah dan canggih, ruas jalan super lebar dan mulus, mobil-mobil mewah hingga mobil sport bebas berlalu lalang, serta bebas dari pedahang kaki lima atau PKL.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Maklumlah, Sukhumvit adalah kawasan elite tempat tinggal para ekspatriat dan orang kaya di Negara Gajah Putih itu. Sukhumvit adalah kawasan dengan jalan terpanjang di Bangkok dan rumah bagi pusat perbelanjaan kelas atas, restoran kelas dunia, dan kondominium mewah dengan unit-unit seharga ratusan juta baht.

Ekspedisi Mudik 2024

Beberapa area mewah di Sukhumvit yang bersebelahan dengan stasiun Bangkok mass transit system atau BTS adalah Chidlom, Ploenchit, Asoke, Phrompong, dan Ekkamai. Sore itu, banyak helikopter mondar-mandir dari satu gedung ke gedung lain. Awalnya saya pikir pemerintah Thailand sedang mengadakan latihan perang.

Ternyata pemandangan serupa selalu terlihat setiap pagi dan sore. Akhirnya saya tahu bahwa helikopter itu bukanlah untuk latihan perang melainkan taksi udara yang mengangkut para pekerja dan ekspatriat dari apartemen ke tempat kerja mereka, begitu pula sebaliknya saat jam kantor usai.

Sukhumvit memang bebas dari macet, namun begitu kita keluar dari kawasan tersebut, kemacetan langsung mengadang. Mereka yang tak mampu membayar taksi udara biasanya harus meninggalkan mobil di apartemen dan beralih ke kereta api. Jalur kereta api perkotaan di Bangkok sudah menjangkau hampir semua wilayah dan terintegrasi dengan baik.

Maklumlah, sama seperti Jakarta, Bangkok juga macet parah pada jam-jam sibuk! Waktu itu yang terlintas di benak saya apakah kelak taksi udara juga bakal jadi alternatif sarana transportasi di kota-kota di Indonesia untuk mengatasi kemacetan parah pada jam-jam sibuk?

Apakah Kota Solo, kota kelahiran saya, bakal mengalami kemacetan parah seperti Bangkok dan Jakarta? Lalu bagaimana nasib warga yang tak mampu membayar taksi udara? Karena itulah,  sebelum terjadi kemacetan parah, sebaiknya mulai dipikirkan langkah pencegahan mulai sekarang.

Salah satunya adalah dengan membatasi populasi kendaraan. Saat ini jumlah kendaraan di Indonesia meningkat cukup pesat. Berdasarkan data Korps Lalu Lintas Polri, pada Januari 2023 tercatat 152.565.905 unit kendaraan atau bisa dibilang sudah lebih dari setengah populasi penduduk Indonesia saat ini.

Jumlah tersebut bersumber dari jumlah kendaraan bermotor yang melakukan registrasi sampai tanggal 3 Januari 2023. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada periode yang sama,  jumlah penduduk di Indonesia saat ini 276 juta jiwa.

Dari jumlah kendaraan bermotor di Indonesia saat ini, Pulau Jawa menjadi yang terbanyak dengan 91.085.251 unit.  Posisi kedua Pulau Sumatra yang memiliki data registrasi kendaraan sebanyak 31.453.504 unit. Selanjutnya adalah kendaraan bermotor di Pulau Kalimantan berjumlah 10.998.291 unit.

Kemudian data kendaraan bermotor di Pulau Sulawesi berjumlah 9.252.464 unit. Di Pulau Bali berjumlah 4.714.807 unit dan Nusa Tenggara sebanyak 3.087.927 unit. Di Pulau Papua terdata jumlah kendaraan 1.283.351 unit dan di Pulau Maluku serta Maluku Utara jumlah kendaraan per Januari 2023 sebanyak 690.310 unit.

Angkutan Umum

Sepeda motor menjadi jenis kendaraan yang paling banyak digunakan. Berdasarkan data Korps Lalu Lintas Polri tersebut, sepeda motor yang digunakan sebanyak 127.082.370 unit. Jumlah tersebut berbanding terbalik dengan jumlah mobil penumpang sebanyak 19.278.023 unit. Kemudian mobil barang yang teregistrasi pada sistem Polri sebanyak 5.759.709 unit.

Salah satu cara membatasi populasi kendaraan roda empat atau lebih maupun roda dua adalah dengan mempersulit izin kepemilikan dan menerapkan pajak tinggi, sama seperti yang dilakukan pemerintah Singapura dan Jepang. Singapura memberlakukan kuota kenaikan jumlah kendaraan per tahun sekitar 0,25%.

Di Singapura, misalnya, jika berencana membeli mobil, calon pemilik harus lebih dulu punya certificate of entitlement/COE yang masa berlakunya hanya 10 tahun. Biaya yang harus dikeluarkan untuk mengurus COE ini Rp250 juta-Rp300 juta.

Bila masa berlaku sertifikat kepemilikan ini habis, bisa diperpanjang selama lima tahun atau 10 tahun lagi. Persetujuan perpanjangan COE ini bergantung pada uji kelayakan mobil itu sendiri. Jika memenuhi standar emisi dan kelayakan, perpanjangan izin COE bisa keluar.

Sebaliknya, jika mobil tidak memenuhi standar emisi, mobil dihancurkan di alat perontok mobil seperti yang sering terlihat di film-film. Hal yang sama juga terjadi di Jepang. Dikutip dari Kementerian Perhubungan, pemerintah Jepang sangat ketat dalam menerbitkan buku kepemilikan kendaraan bermotor (BPKB) dan surat tanda nomor kendaraan (STNK).

Pemilik kendaraan bermotor harus dapat menunjukkan bukti telah memiliki tempat parkir untuk kendaraan yang akan dibeli atau telah menyewa tempat parkir kendaraan yang lokasinya maksimum sejauh dua kilometer dari  rumah pemilik dengan biaya sewa sekitar 30.000 yen sampai 40.000 yen per bulan (bila diasumsikan satu yen=Rp115 maka biaya sewa Rp3,45 juta-Rp4,6 juta per bulan).

Tempat parkir milik sendiri atau hasil menyewa harus dapat dibuktikan keberadaannya oleh pejabat yang berwenang. Ide Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka bahwa pemilik mobil harus memiliki garasi sendiri sebenarnya bisa menjadi salah satu syarat kepemilikan kendaraan bermotor.

Dengan demikian, warga akan berpikir 1.000 kali ketika hendak membeli lebih dari satu unit mobil sementara mereka tak punya garasi di rumah. Kebijakan ini juga harus kompak diterapkan di semua daerah. Pemerintah juga harus proaktif seperti Jepang yang menyediakan gedung parkir dengan sistem sewa bagi warga yang tak memiliki garasi.

Dengan demikian warga yang memang butuh mobil, tapi tak punya garasi, punya tempat untuk menyimpan kendaraan mereka. Tentu saja dengan sistem kontrak bulanan seperti di Jepang. Aturan lainnya untuk mempersulit kepemilikan mobil dan motor bisa dipikirkan bersama.

Membatasi populasi mobil di jalan bukan hanya mencegah kemacetan, melainkan juga bisa memperbaiki kualitas udara perkotaan. Pertanyaan besarnya adalah bisakah pemerintah Indonesia secara tegas membatasi populasi mobil seperti dilakukan Singapura dan Jepang?

Pemerintah harus menyediakan sarana transportasi umum yang aman, nyaman, dan menjangkau semua wilayah. Sambil menunggu langkah nyata pemerintah dalam menekan populasi mobil, mari kita membayangkan terlebih dulu nikmatnya tinggal di daerah bebas macet dengan jalan super lebar dan mulus seperti Sukhumvit.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 24 Januari 2023. Penulis adalah wartawan Solopos Media Group)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya