SOLOPOS.COM - Ilustrasi (JIBI/Bisnis Indonesia/dok)

Suap panitera PN Jakpus membuat lembaga peradilan termasuk MA disorot. Diduga, ada beberap penyebab ada permainan perkara di pengadilan.

Solopos.com, JAKARTA — Merubah mindset hakim dan panitera pengadilan tak semudah membalikkan telapak tangan. Reformasi kultural (watak) para pengadil itu berbeda dengan proses reformasi birokrasi di lembaga peradilan. Perlu waktu dan tak mudah.

Promosi Tenang, Asisten Virtual BRI Sabrina Siap Temani Kamu Penuhi Kebutuhan Lebaran

Kalimat itu terlontar dari mulut Hakim Mahkamah Agung (MA) Salman Luthan dalam sebuah diskusi di Jakarta, Rabu (25/5/2016) kemarin. Dia mengakui masalah yang muncul akhir-akhir ini merupakan cerminan sebagian wajah lembaga peradilan.

Namun, hal itu tidak bisa dijadikan tolok ukur untuk melihat kondisi dunia peradilan secara keseluruhan. Salman menganggap skandal suap sejumlah hakim dan panitera pengadilan belakangan ini bukan suatu yang perlu dikhawatirkan. Rentetan kasus itu merupakan suatu yang alamiah untuk pembenahan lembaga peradilan yang lebih baik.

Dia memaparkan proses reformasi birokrasi di lembaga peradilan terus berjalan. Berbagai pembenahan sudah dilakukan. Hasil pembenahan itu bisa dirasakan saat ini, terutama jika dibandingkan dengan masa Orde Baru. Dia mencontohkan, lama pengurusan perkara pada masa pemerintahan Soeharto bisa bertahun-tahun. Namun sekarang hal itu bisa dicapai dalam waktu tiga bulan.

“Itu merupakan kemajuan dalam reformasi birokrasi di lembaga peradilan,” kata Salman saat itu.

Salman menambahkan, carut marutnya lembaga peradilan juga tak bisa dilepaskan perkembangan lingkungan di luar lembaga peradilan. Kasus hukum cenderung meningkat. Terutama dengan maraknya pejabat serta kepala daerah yang menjadi tersangka kasus korupsi.

Proses hukum yang berlangsung terkadang sampai ke tingkat kasasi dan memberikan tantangan tersendiri bagi para penentu keadilan. Dia mengakui, dari sejumlah kasus, tak jarang para hakim itu tergoda iming-iming yang ditawarkan oleh sejumlah pihak.

Hakim MA tersebut juga menjelaskan setiap tahun rata-rata perkara yang masuk ke MA sebanyak 13.000 kasus. Kondisi itu memaksa para hakim agung bekerja keras menyelesaikan perkara tersebut. Dari 13.000 perkara itu, saat ini tiap tahunnya hanya 3.900 perkara yang tertunggak.

M

    antan Ketua Komisi Yudisial (KY) Suparman Marzuki justru berkata lain. Dia menyatakan kecenderungan terbaru permainan perkara dilakukan di MA. Orang memilih ke MA karena tahapannya lebih mudah. “Kalau kalah kasasi bisa PK,” tutur Suparman.

    Menurut dia, berdasarkan aduan yang dia terima selama menjadi Ketua KY, ada beberapa tipologi yang dijalankan oleh mafia peradilan. Beberapa tipologi itu di antaranya memperlambat mengunggah putusan, memperlambat putusan, hingga menunda pengeluaran salinan putusan kasasi. Kasus yang menjerat Kasubdit Kasasi dan PK Perdata Khusus MA Andri Tristianto Sutrisna menjadi contoh proses permainan perkara dengan model tersebut.

    Selain itu, dia juga melihat modus lainnya termasuk membocorkan putusan sebelum putusan tersebut secara resmi dibacakan. Penundaan dan pembocoran informasi soal putusan tersebut bukannya tanpa embel-embel. “Ada itung-itungannya,’ imbuh dia.

    Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
    Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya