SOLOPOS.COM - Bernando J. Sujibto (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO — Satu di antara banyak produk konflik sosial yang masif adalah stigma. Jika merujuk Kamus Britannica, stigma diartikan sebagai seperangkat anggapan negatif dan sering kali tidak adil yang dimiliki masyarakat atau sekelompok orang tentang sesuatu.

Dalam kajian sosiologis, seperti ditulis Erving Goffman (1963), stigma selalu dipahami sebagai atribut yang sangat mendiskreditkan (an attribute that is deeply discrediting). Stigma benar-benar menjadi momok bagi terbentuknya integrasi sosial di tengah masyarakat, tetapi konflik terbuka, apa pun bentuknya, senantiasa akan memproduksi stigma demi stigma secara liar.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Saya ingin berfokus kepada aspek stigma ketika melihat hal urgen di balik bentrokan yang terjadi di Babarsari pekan lalu. Seperti banyak diberitakan berbagai media massa, bentrokan antarkelompok di Babarsari, Sleman, cukup mencekam dengan ongkos kerusakan fisik seperti ruko dan motor yang dibakar.

Kerusakan fisik seperti ini bisa diatasi secara cepat dan relatif mudah. Tetapi akibat-akibat lain seperti trauma, stigma, dan potensi spiral kekerasan menjadi hantu yang tidak mudah diatasi. Ini sekaligus membutuhkan langkah persisten dan berkelanjutan dari semua elemen, dari pemangku kebijakan, aktor-aktor yang terlibat, hingga masyarakat sendiri. Konflik sejatinya berperan besar pada aspek-aspek invisible [tak terlihat] seperti itu, karena yang terganggu (rusak, jika bisa menggunakan istilah ini) adalah sistem sosial masyarakat.

Jika ditengok ke belakang, bentrokan di Babarsari dan sekitarnya sudah acap kali terjadi dan terus berulang. Bahkan konflik di tempat ini sudah terjadi dalam dua dekade terakhir. Aksi-aksi kekerasan yang terjadi sudah bukan lagi menjadi konflik insidental yang biasanya hanya lahir karena amarah dan salah paham. Tetapi mereka sudah menjadi problem identitas etnis dan sekaligus jaringan di dalamnya.

Secara gamblang, kita tentu saja bisa melihat aspek struktur komunal (bisa berwujud dalam sistem preman ataupun kelompok etnis) menjadi pelecut masifnya konflik dan kekerasan yang terus terjadi secara berulang di Babarsari. Artinya, karena ada “bensin” berupa komunitas etnis, kekerasan yang awalnya terjadi dalam lingkup kecil mencuat menjadi kekerasan atau perkara komunal. Tipe kekerasan begini sudah tipikal bagi kita sebagai negara dengan rasa komunalisme yang kuat, baik termanifestasi ke dalam etnosentrisme, atau bentuk lain yang lebih cair.

Kenapa dengan Babarsari?

Harus diakui bahwa letak geografis sangat berperan dalam eskalasi konflik dan kriminalitas. Babarsari yang masih berada dalam proses transisi dan peralihan–jika merujuk pada sosiolog Ernest Burgess tentang zonal hypothesis (1925). Babarsari masih “mencari bentuk” dalam konteks urbanisme. Ciri-ciri yang paling mudah ditandai adalah menjamurnya zona industri dan manufaktur ringan seperti bisnis-bisnis karaoke, kafe, kos-kosan, restoran, supermarket, plus daerah hunian di beberapa titik.

Sebenarnya saya jengah sendiri ketika melihat sebuah kota yang selalu dinisbatkan sebagai zona transisi. Betul ada proses ini dalam perkembangan pembangunan kota, tetapi kapan sebuah kota bisa settle menjadi zona area yang aman? Jawabannya tentu rumit karena pembangunan sebuah kota di Indonesia tidak mengindahkan proses dan analisis tata kelola kota yang tepat.

Babarsari menjadi contoh tentang “kesemrawutan” zona transisi: apakah akan menjadi pusat bisnis atau hunian? Sebelum telat, problem ini harus disikapi secara tepat karena kondisi zona Babarsari akan menyediakan ruang yang lebih masif bagi terjadinya kriminalitas dan kekerasan.

Untuk itu, terlepas dari letak dan zona daerah, kekerasan demi kekerasan harus dihadapi secara serius. Saya melihat ada beberapa hal yang perlu direnungkan dalam mengantisipasi kemungkinan kejadian serupa di masa-masa selanjutnya. Pertama, konsentrasi hunian bagi satu kelompok etnis. Saya sadar bahwa pilihan rumah indekos bagi mahasiswa akan selalu mengutamakan lokasi terdekat sekitar kampus.

Aspek ini susah untuk dikontrol. Tetapi kebiasaan adanya asrama daerah, yang biasanya didukung dan disumbang oleh pemerintah daerah masing-masing, menjadi jalan negosiasi yang cukup strategis untuk membuat mereka menyebar, tidak terkonsentrasi dalam satu tempat. Political will pemerintah Jogja dan pemerintah daerah bisa mengatasi problem ini.

Saya meneropong aspek ini karena belajar dari pengalaman bahwa “pertemuan organik” dari semua elemen etnis harus dibiasakan, setidaknya bagi kalangan mahasiswa sendiri. Tempat-tempat berupa warung kopi dan tempat menongkrong lainnya bisa menjadi arena multikultural di mana “Indonesia mini”–yang diklaim sebagai identitas Yogyakarta–menemukan cara untuk proses implementasi.

Cara ini juga membuka ruang untuk melebur eksklusifitas mahasiswa yang sudah mengeras sedemikian rupa dalam satu dekade terakhir. Apalagi, setiap asrama daerah, biasanya juga dikenal sebagai anjungan daerah, didukung untuk mengadakan acara semacam festival yang didesain untuk mempertemukan semua kelompok etnis para pelajar dan mahasiswa di Jogja. Ada dana istimewa dan sokongan pemerintah daerah masing-masing. Sekali lagi, jika political will itu ada, mereka sangat bisa mengeksekusi acara seperti ini.

Kedua, adalah aspek stigma yang sudah saya sebutkan di atas. Penyakit laten di tengah masyarakat multikultural seperti kita adalah stigma dan stereotip. Pembentukan stigma paling masif terjadi adalah karena kekerasan masif yang terjadi. Stigma sendiri, sebagai anak kandung dari kerusuhan dan konflik sosial, adalah bentuk lain dari kekerasan itu sendiri. Beban stigmatik seperti ini akhirnya harus dihadapi oleh mahasiswa yang tidak tahu-menahu dan tidak terlibat dengan kekerasan di Babarsari. Stigma ini biasanya bertahan lama dan bahkan menjadi bahan bakar bagi kekerasan dan konflik selanjutnya.

Dua aspek di atas adalah satu kesatuan untuk melerai potensi stigma sosial yang harus dihadapi oleh beberapa kelompok etnis yang selalu muncul sebagai pelaku maupun korban kekerasan yang terjadi di Yogyakarta.

Esai ini ditulis oleh Bernando J. Sujibto, dosen di Program Sosiologi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya