SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Stephanus Setiadji Anugrah Hendranoto, demikianlah nama lengkap pria ini. Ia mencintai musik rock sejak kecil. Baginya, musik cadas adalah kekuatannya untuk melakukan pemberontakan terhadap kemapanan. Tahun 2004, Adji bersama rekan-rekannya mulai merintis konser musik rock bertaraf internasional di Kota Solo. Saat itu, ia ingin menawarkan musik alternatif di tengah kejenuhan musik-musik mainstream yang membanjir di jagat hiburan. Upaya Adji itu sungguh di luar dugaan. Konser Rock in Solo rupanya mampu membius masyarakat. Bahkan, para musisi rock dari mancanegara menaruh simpatik atasnya, lantaran Rock In Solo dinilai berhasil menyuguhkan pertunjukan musik rock yang sarat dengan konten budaya dan agama. “Band-band rock dari mancanegara sempat tak percaya ketika tahu bahwa musisi Rock in Solo tetap sembahyang dan menghentikan aktivitas begitu terdengar azan berkumandang,” jelas Adji saat berbincang dengan Espos, pekan lalu.

Adji merupakan salah satu aktor yang membidani lahirnya Rock In Solo, salah satu perhelatan musik rock terbesar di Tanah Air yang digelar secara berkala di Kota Bengawan. Majalah Rolling Stone Indonesia (2007) bahkan menyebut Rock In Solo sebagai konser musik rock terbesar di Jawa Tengah karena dihadiri lebih dari 5.000 metalhead saat itu. “Pentas saat itu digelar di area outdoor Velodrom Manahan. Mungkin karena tiketnya murah itu ya sehingga dibanjiri penonton,” canda Adji.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Pria kelahiran Jakarta, 19 Juli 1977 ini memang tak bisa dilepaskan dari Rock In Solo. Selain menjadi vokalis kelompok musik Down For Life, Adji rupanya seorang penyiar radio. Namun, di balik identitas yang melekat padanya itu, Adji sebenarnya pemberontak atas kemapanan. Ketika musik rock dicap sebagai musik anak muda penuh hura-hura, Adji membalik anggapan itu. Melalui tangan dinginnya, Adji mendaur ulang konsep musik rock menjadi santun, berbudaya dan religius. “Anda simak spanduk atau simbol-simbol Rock In Solo. Semua memakai simbol budaya Jawa, Keraton atau keseimbangan alam,” kata putra sulung dari empat bersaudara ini.

Di lokasi perhelatan musik pun, sambungAdji, panitia juga menyediakan musala lengkap dengan peringatan break ketika azan berkumandang. Konsep pementasan seperti itu, kata Adji, adalah bagian tak terpisahkan dari cara dia bertanggung jawab dan menjaga nilai-nilai budaya dan agama. Padahal, para musisi yang diundang berasal dari kelas nasional dan internasional seperti Psycroptic, Death Metal Australia, Death Angel, Kataklysm, Deranged, Enforce, Oathean, Ishtar, Burgerkill dan lain-lainnya.

”Saat pentas di Alun-alun Utara Keraton Solo, kami juga menggelar jumenengan dulu. Kami ingin tunjukkan bahwa Rock In Solo memiliki konten budaya,” ungkapnya.

Selain melalui pertunjukan Rock In Solo, Adji pun giat menyebarkan nilai-nilai pluralisme melalui lirik-lirik lagu yang ia bawakan dalam pertunjukan bersama band Down For Life. Baginya, musik adalah cara dia menyuarakan kegelisahan melihat realitas sosial politik di masyarakat. “Lirik-lirik lagu kami memang lebih banyak berisi pesan toleransi beragama dan menghargai perbedaan.”

Kesuksesan Rock In Solo, diakui Adji, memang tak bisa terlepas dari peran stakeholders di Kota Solo, termasuk Walikota Solo, Joko Widodo [sebelum jadi Gubernur DKI] dan Wakilnya FX Hadi Rudyatmo. Setelah Jokowi Widodo ikut berjingkrak-jingkrak di kerumunan penonton di Alun-alun Keraton 2011 lalu, musik rock kian berkibar. Perizinan pentas musik rock pun kian mudah. “Pendek kata, rock itu seolah menjadi musik paling seksi. Tak hanya kalangan anak muda, pejabat pun menggemarinya,” ungkapnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya