SOLOPOS.COM - Ilustrasi mainan anak (JIBI/Solopos/Antara/Dok.)

Madiunpos.com, SURABAYA — Penerapan Standar Nasional Indonesia (SNI) pada produk mainan belum sepenuhnya dilakukan oleh pengusaha industri mainan terutama industri skala kecil lantaran masih terkendala perizinan.

Asosiasi Pengusaha Mainan Indonesia (APMI) memperkirakan dari total industri mainan kecil menengah dan besar di wilayah Jawa Timur, hingga kini baru 70% yang sudah menerapkan Standar Nasional Indonesia alias SNI itu sejak diberlakukannya pada akhir 2014.

Promosi Pegadaian Buka Lowongan Pekerjaan Khusus IT, Cek Kualifikasinya

Ketua Bidang Mainan Kayu APMI Jawa Timur Winata Riangsaputra menjelaskan masih banyak pelaku industri mainan yang kesulitan mengurus Standar Nasional Indonesia atau SNI karena ada beberapa peraturan perizinan usaha yang tidak sinkron.

“Syarat mendaftarkan SNI adalah harus memiliki Izin Usaha Industri (IUI), tetapi untuk mendapatkan IUI harus ada surat izin gangguan atau Hinder Ordonantie (HO) yang prosesnya cukup lama,” jelasnya kepada Bisnis, Minggu (8/3/2015).

Padahal, lanjut Winata, diketahui pemerintah pusat telah mengeluarkan atau merevisi peraturan mengenai persyaratan mendapatkan IUI tanpa perlu menggunakan HO. Namun, katanya, sekitar dua bulan lalu asosiasi telah mengonfirmasi Disperindag soal IUI tanpa HO. Hanya saja, menurut Disperindag, peraturan tersebut terbentur dengan peraturan Kementerian Lingkungan Hidup.

“Antar kementerian ini tidak ada koordinasi. Sedangkan membuat HO saja cukup lama, lalu bagaimana bisa ajukan SNI kalau HO tidak keluar?,” imbuh Winata.

Meski begitu, kata Winata, sebagian industri mainan Jatim yang sudah menerapkan SNI cukup mengalami peningkatan usaha, terutama banyak para importir yang mengalihkan ordernya ke perusahaan mainan yang ada di Indonesia. “Peningkatan ini juga dikarenakan masih sedikitnya laboratorium uji di luar negeri yang ditunjuk oleh pemerintah Indonesia,” jelasnya.

Dia mengatakan industri mainan tahun ini diperkirakan tumbuh cukup bagus dan pasar dalam negeri cenderung meningkat. Namun, untuk pangsa pasar ekspor diperkirakan melambat akibat kenaikan upah karyawan sehingga kalah bersaing harga dengan negara lain seperti China, Vietnam, Bangladesh, India dan Kamboja.

Tahun ini, industri juga telah menaikan harga produk mainan untuk pasar lokal yang mencapai 15% akibat kenaikan upah karyawan yang mencapai 23%. Sedangkan akibat penerapan SNI, pengusaha hanya menaikan harga produk paling tinggi 1%. “Untuk market lokal mungkin kami masih bisa bersaing dengan pengusaha daerah lain, tapi kalau ekspor kami naikkan harganya maka akan kalah. Padahal China, Vietnam dan Bangladesh kalau naik maksimal 1%-3-% saja,” jelas Winata.

Asosiasi berharap pemerintah pusat maupun daerah memberikan dukungan untuk meningkatkan kualitas produk melalui pelatihan agar nanti mampu bersaing dengan saat Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) berlangsung, meski pada dasarnya APMI mengaku siap menghadapi pasar bebas.

Dia menambahkan dengan adanya kenaikan harga tahun 2015 ini diperkirakan bakal mempengaruhi daya beli masyarakat. Konsumen akan lebih selektif membeli mainan tersebut sesuai kegunaan, baik yang menggunakan Standar Nasional Indonesia ataupun tidak.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya