SOLOPOS.COM - Sri Lanka bangkrut akibat krisis ekonomi parah disebut tak begitu berdampak bagi Indonesia. (Bisnis)

Solopos.com, JAKARTA – Sri Lanka sedang bangkrut dilanda krisis ekonomi yang menyebabkan krisis pangan, bahan bakar hingga pemadaman listrik, lantas apa dampaknya bagi Indonesia?

Krisis ekonomi Sri Lanka berawal pada 2019 akibat tumpukan utang luar negeri yang besar. Keadaan itu lalu diperburuk oleh pandemi Covid-19 pada awal 2020 yang menghancurkan industri pariwisata, hingga akhirnya ekonomi Sri Lanka bergerak menuju inflasi.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Dengan kondisi ekonomi yang tak kunjung membaik, membuat perdana Menteri sebelumnya, yaitu Mahinda Rajapaksa mengundurkan diri akibat protes besar-besaran yang dilakukan warga Sri Lanka.

Dua hari setelah pengunduran diri Perdana Menteri pada tanggal 9 Mei, terjadi kerusuhan antara warga sipil, warga pro-pemerintah dan aparat. Hingga akhirnya pemerintah mengirim militer dengan perintah tembak di tempat untuk mengekang kerusuhan sipil.

Ekspedisi Mudik 2024

Penderitaan Sri Lanka pun terus berlanjut dengan menghadapi pemadaman listrik, akses media sosial terbatas dan jam malam yang diberlakukan dalam beberapa bulan terakhir.

Baca Juga: Didera Berbagai Masalah, Sri Lanka Dilanda Krisis Ekonomi Parah

Sementara itu, nilai rupee Sri Lanka masih sangat rendah sehingga orang tidak mampu membeli kebutuhan dasar atau mengakses layanan.

Akhirnya pada Jumat (17/6/2022) Sri Lanka mengumumkan bahwa mereka hanya memiliki stok bahan bakar hanya untuk lima hari saja dibarengi kekurangan kebutuhan pokok yang membuat hampir 22 juta penduduknya berada dalam kesulitan.

Dilansir Bisnis.com dari Junkee pada Kamis (23/6/2022), Menteri Luar Negeri Sri Lanka, Penny Wong mengatakan bantuan keuangan akan membantu memenuhi kebutuhan pangan, perawatan kesehatan, dan bahan bakar yang mendesak bagi negaranya.

Lantas pada dampak krisis ekonomi Sri Lanka bagi Indonesia?

Baca Juga: Krisis Global Membayangi, Negara Mana Punya Utang Terbanyak di Dunia?

Jika melihat dari segi perdagangan, krisis Sri Lanka secara langsung tidak memiliki efek besar bagi Indonesia. Karena kontribusi baik untuk ekspor maupun impor, tidak mengganggu neraca perdagangan dan cadangan devisa negara.

Ekspor Indonesia ke Sri Lanka tercatat US$ 379,9 juta atau Rp 5,43 triliun (kurs=Rp 14.300/US$), sekitar 0,16% dari total ekspor Indonesia pada tahun 2021. Barang yang diekspor dari Indonesia ke Sri Lanka antara lain minyak kelapa, karet, besi, hasil minyak, dan lainnya.

Sementara Indonesia membeli barang dari Sri Lanka sebesar US$ 53,35 juta atau Rp 762 miliar. Nilai tersebut sama dengan 0,03% dari total impor Indonesia pada tahun 2021.

Barang yang diimpor dari Sri Lanka oleh Indonesia banyak berhubungan dengan tekstil. Seperti bahan sulaman atau rajutan, kain beludru, mesin untuk tekstil, dan lainnya.

Baca Juga: Perang Ukraina Berlanjut, Ketum Kadin Ajak Antisipasi Krisis Global

Lantas apakah dengan kondisi perekonomian Indonesia saat ini dibandingkan dengan Sri Lanka yang sedang bangkrut?

Posisi utang pemerintah saat ini masih berada pada level yang aman, terutama dengan penerimaan yang meningkat akibat lonjakan harga komoditas global.

Rasio utang pemerintah bahkan mengalami penurunan, di mana posisi utang pemerintah pada April 2022 tercatat sebesar Rp7.040,32 triliun, atau mencapai 39,9 persen dari PDB.

“Dengan penerimaan kuat yang kita nikmati karena commodity boom, rasio utang kita terhadap PDB sebenarnya sekarang turun menjadi 38 persen dari PDB,” kata Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam acara UI International Conference on G20, yang dikutip Bisnis, Senin (20/6/2022).

Baca Juga: Ingatkan Krisis Global Bisa Berlanjut Hingga 2023, Ini Pesan Jokowi

Sri Mulyani menjelaskan, banyak negara di dunia harus meningkatkan utang secara drastis karena tidak memiliki pilihan lain, terutama untuk menangani dampak dari pandemi Covid-19 yang menyebabkan terhentinya kegiatan perekonomian.

Dalam hal ini, defisit anggaran juga menjadi tidak terhindarkan. Kondisi ini menyebabkan peningkatan utang, bahkan termasuk negara yang sebelum pandemi Covid-19 telah memiliki rasio utang yang tinggi.

“Beberapa negara sudah [mencatatkan rasio utang] di atas 60 [persen], bahkan ada yang 80 persen, bahkan 100 persen. Jadi mereka sekarang memiliki rasio utang terhadap PDB yang lebih drastis,” katanya.



Itulah ulasan tentang Sri Lanka yang bangkrut akibat kondisi krisis ekonomi yang ternyata tidak terlalu berdampak pada ekonomi Indonesia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya